Friday, January 3, 2025

Cerpen Aris Kurniawan | Orang Gila yang Kutemui

Cerpen Aris Kurniawan



Aku celingukan di pojok pasar yang sepi itu. Melihat lapak yang telah kosong, serakan sisa sayuran busuk di kolong lapak yang ditinggalkan pemiliknya. Hari memang sudah sore. Pasar ini bahkan sudah ditinggalkan penjual dan pembeli sejak lepas zuhur. Aku bergerak lebih ke dalam, masuk ke los-los pasar, menyisir kolong-kolong lapak. Berharap mendapati orang gila itu tidur di kolong salah satu lapak, atau duduk memeluk lututnya yang ditekuk. Yang kulihat hanya seekor anjing yang sedang melamun. Dia tak mungkin kuajak bicara tentang orang gila. Aku merasa sangat perih.


Sejak berminggu-minggu yang lalu aku melihat orang gila itu duduk di lapak ini setiap aku melintas di jalan depan pasar ini saban menjemput anakku ke sekolah. Namun, berminggu-minggu pula aku selalu mengabaikannya. Mengurusi telur-telur sampai ke tangan pelanggan dengan baik, menyelamatkan masa depan anak-anak, dan segunung urusan rutin lainnya telah menyita perhatianku dari orang gila itu.


“Ayah, lihat orang gila itu,” kata anakku dari atas motor saat kami lewat pasar itu.


“Iya, biarkan saja, Nak.” Aku hanya sekilas memandang seorang laki-laki berambut mulai gimbal karena lama tak tersentuh air, dan celana kumal, duduk di sisi lapak. Tetapi, apa yang aneh dengan orang gila di pasar. Hal yang biasa saja bagi kita orang dewasa, bukan? Bahkan orang-orang dewasa di kantor dinas sosial tidak memandangnya sebagai persoalan yang serius. 


“Dari kemarin dia keluyuran di pasar, Ayah. Seperti mencari sesuatu,” kata anakku. 


Aku tetap saja tak menganggap penting informasi itu. Apakah yang dianggap penting oleh orang dewasa? Kita tak sempat memikirkan untuk mendapatkan jawabannya karena kita tak boleh berhenti melakukan hal-hal rutin agar semuanya berjalan baik-baik saja seperti kemarin-kemarin, supaya besok dan besoknya lagi persis seperti hari ini. Jangan sampai keluar dari kebiasaan. Sesuatu yang tidak biasa sungguh bisa mengganggu kenyamanan, menimbulkan ketakutan. 


“Ibu, orang gila yang kuceritakan kemarin masih ada di pasar,” kata anakku kepada ibunya. Seperti orang dewasa lainnya, istriku tak terlalu merespons cerita anakku. Hanya menanggapi seperlunya, “Oh orang gila yang kamu bilang makan sisa sayuran dan buah busuk itu?”


“Kasihan dia, Bu,” kata anakku.


“Sudah sana ganti baju. Lalu makan. Ibu masak tongseng.”


Usai makan, anakku kembali bercerita, orang gila yang dia lihat di lapak itu, berjalan terseok lewat di depan pintu gerbang sekolahnya.


Waktu aku kecil aku juga melihat orang gila di pasar dan di jalanan. Bahkan aku pernah melihat orang gila berpakaian compang-camping tak sanggup menyembunyikan jembut dan kelaminnya yang terayun-ayun. Aku juga menceritakannya kepada Ayah dan Ibu, tetapi mereka tak menganggap penting cerita itu. Paling jauh mereka hanya berpesan supaya jangan dekat-dekat, jangan mengganggu mereka kalau kamu tidak mau diganggu. “Urus saja pelajaran sekolahmu,” kata Ibu dan Ayah. Itu pula yang kukatakan pada anakku waktu anakku bercerita tentang orang gila di pasar itu. Aku melakukan apa yang seharusnya kulakukan.


“Kenapa ada orang yang menjadi gila, Ayah?”


Aku tidak bisa menjawab pertanyaan anakku. Bagaimanakah menjelaskan kepada bocah sepuluh tahun betapa banyak hal yang membuat orang menjadi gila?  


Kemarin, pertanyaan itu membuatku serius menanggapi cerita anakku, memikirkan orang gila itu, dan kenapa seseorang menjadi gila. Aku teringat seorang temanku, Mahdi—dan ingatan itu, telah menghentikan bahkan mengganggu rutinitasku, membuatnya berantakan seperti yang dia lakukan pada keluarganya puluhan tahun lalu. Ya, puluhan tahun lalu Mahdi pergi dari rumah orang tuanya, dan tak pernah kembali. Orang tua dan saudara-saudaranya sudah lelah mencari sampai akhirnya tidak peduli lagi, sibuk mengerjakan hal-hal rutin untuk menyelamatkan hidup masing-masing. Setiap pulang kampung libur semester aku masih rajin berkunjung ke rumah orang tuanya, menanyakan kabar Mahdi. Sampai kulihat mereka bosan menjawab untuk menjelaskan. Entah kesal entah sedih. Mungkin dua jenis perasaan itu campur aduk, hingga aku merasa tak enak sendiri dan memutuskan sebaiknya tak bertanya lagi kabar tentang Mahdi. 


Beberapa orang kampungku mengatakan pernah melihat Mahdi jadi juru parkir di sebuah mal di kota kabupaten. Beberapa orang yang lain bilang melihat Mahdi duduk di alun-alun dengan baju kumal dan mata menerawang seorang diri.


“Tak mengenaliku dia,” ujarnya.  


“Aku pernah membujuknya pulang. Dia malah lari menjauh,” kata yang lain.


“Kau melihat dia di mana?” tanyaku.


“Di dekat alun-alun, depan Masjid Attaqwa,” sahutnya.


Berdasar informasi itu diam-diam aku berangkat ke kota kabupaten naik angkutan umum. Langsung menuju ke Masjid Attaqwa. Aku kelilingi alun-alun sampai tiga kali, keluar masuk lorong sisi kanan yang penuh deretan warung. Tak juga kutemukan. Aku duduk di bawah pohon beringin di sudut alun-laun dekat persimpangan lampu merah. Menunggu dengan harapan Mahdi akan muncul. Hingga petang dia tak kelihatan. Selepas sallat Magrib di Masjid Attaqwa, aku kembali duduk menunggu di sana sampai lewat Isya. Tak kunjung muncul juga sampai perutku kembali lapar. Aku masuk ke warung makan dan memesan sepiring nasi, dan bertanya kepada Ibu Warung tentang orang gila yang sering duduk di alun-alun.  


“Kemarin Satpol PP mengangkut para gelandangan dan oran gila,” kata Ibu Warung.


“Dibawa ke mana mereka, Bu?” kejarku.


Tetapi tak kudapatkan keterangan berharga yang dapat kugunakan untuk melacak jejaknya. Aku nekat tak pulang malam itu dan menginap di emper Masjid Agung agar besoknya bisa langsung ke kantor pemda mencari Satpol PP. Aku berharap dari mereka aku dapat informasi. Tapi esoknya mereka hanya mengatakan para gelandangan dan orang gila dibawa ke dinas sosial.


“Mereka ditampung di panti-panti sosial,” katanya.


Aku mendatangi panti-panti dinas sosial satu per satu, mengecek para gelandangan dan orang gila yang ditampung di sana. Perasaanku berdebar-debar setiap melihat sosok yang mirip Mahdi. Namun debaran-debaran itu berkali-kali berakhir hampa. Aku tak menemukan Mahdi di antara mereka.


***


Waktu SD sampai SMA aku satu sekolah dengan Mahdi. Saat SMP bahkan kami sebangku selama tiga tahun penuh. Kami hampir selalu berangkat bareng ke sekolah, berboncengan mengayuh kereta angin. Pulang sekolah kadang Mahdi mampir ke rumahku, hingga petang. Sering sampai menginap. Aku kerap minta jawaban soal-soal pelajaran menghitung. Dia tidak hanya pintar pelajaran menghitung, tapi juga sejarah dan bahasa. Nilai ulangannya selalu bagus. Mahdi gemar mengarang, aku membaca karangannya di koran lokal yang ditempel di dinding sekolah. Seharusnya dia melanjutkan ke perguruan tinggi seperti yang dia cita-citakan. Tetapi dia batal mengambil beasiswa itu. Ayahnya, tukang cukur keliling, menyuruh Mahdi langsung bekerja mencari uang untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Sejak itu Mahdi pergi dari rumah. Orang tuanya mengira Mahdi mencari kerja di kota. Namun hingga berbilang tahun dia tak pernah kembali.


Aku sibuk dengan rutinitas perkulihan supaya lulus tepat waktu, mendapatkan pekerjaan, menikah, punya anak, keluar dari pekerjaan, memulai usaha sendiri menjadi agen telur, larut dalam jebakan kerutinan mengurus keluarga yang seolah tak ada ujungnya, dan itu betapa membosankan. Tapi tak ada jalan keluar. Tepatnya aku takut mencari jalan keluar.


Sebuah buku dari rak lawas tempat aku menyimpan buku-buku kuliah dulu, itulah yang mengantar ingatanku pada Mahdi. Buku berisi beberapa lembar kliping koran yang memuat karya Mahdi. Buku  itu bukan hanya mengantar ingatanku pada Mahdi, tapi juga memunculkan ingatan betapa ada sesuatu yang  tersumbat dalam hidupku yang pucat. Buku itu seperti membuka kembali keinginan terpendamku keluar dari jebakan. Membiarkan segalanya lepas sebentar. Aku mengeluarkan motor. 


“Mau ke mana, Pak?” kataku istriku. Terdengar seperti sipir penjara yang selalu mengawasiku. 


“Ke pasar,” sahutku.


“Jam berapa sekarang?”


Aku memacu motorku. Keluar dari kompleks perumahan. Meluncur di jalan beraspal, berpapasan dengan kendaraan dari arah berlawanan, melewati kesibukan menjelang petang, menuju pasar.


“Mencari siapa, Wahab?”


Suara dari ujung lorong pasar mengejutkanku. Aku tak dapat melihatnya dengan jelas karena tubuhnya membelakangi cahaya di luar lorong. Dia terus melangkah mendekat. Aku berdiri menunggu sambil menebak-nebak...       


______


Penulis


Aris Kurniawan menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen terbarunya: Monyet Bercerita (Basabasi, 2019). Link medsosnya: @KepalsuanAris dan https://www.facebook.com/aris.kurniawan.35762/


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com