Cerpen Ilham Wahyudi
Aelfric Wicaksono atau yang biasa dipanggil Wicaksono akhirnya memutuskan masuk kelas menulis. Pilihan itu ia tempuh setelah nyaris lima tahun menulis puisi. Namun, tak kunjung jua puisinya diterbitkan surat kabar, majalah, atau media online. Sebenarnya ia sudah ingin resign atau mungkin pensiun dari dunia tulis menulis puisi. Tetapi kekasihnya, Gabriel Morla Wati, sambung-menyambung membakar kayu semangat Wicaksono agar terus marak berkobar dan tentunya pantang pula padam.
“Sayang, aku pernah mendengar temanku bercerita, yang cerita itu dia dengar pula dari temannya yang punya teman seorang teman penulis puisi, bahwa banyak penulis puisi atau penyair hebat-hebat yang membuka kelas menulis puisi.”
“Lalu?”
“Cobalah ikuti kelas seperti itu, mungkin karyamu akan lebih bertaji; lebih bergigi! Dan yang paling penting, setelahnya kau pun pasti akan langsung diakui sebagai seorang penyair.”
“Wah, ide menarik, Sayang. Apakah kelas serupa itu berbayar?”
“Sudah pasti, Sayang. Tapi kau jangan khawatir, soal biaya aku yang tanggung. Terpenting, kau serius belajarnya, Sayang!”
Maka, mendaftarlah Aelfric Wicaksono pada kelas menulis puisi seorang penyair hebat yang konon katanya, semua murid-murid kelas menulisnya sukses menjadi penyair yang menelurkan buku-buku puisi bestseller.
Seminggu setelah mendaftar, Wicaksono mendapat kabar kalau namanya masuk salah satu murid yang diterima dalam kelas menulis puisi. Sungguh gembira Wicaksono. Ia sebenar tidak menyangka, sebab sebelum diterima, Wicaksono mestilah diwajibkan mengirim tiga puisi sebagai bentuk uji kelayakan ikut dalam kelas menulis puisi tersebut.
Pada hari pertama kelas menulis puisi itu, pendiri kelas menulis yang tak lain adalah penyair hebat, tidak bisa hadir karena sedang diundang dalam sebuah perhelatan sastra internasional. Sehingga beliau pun terpaksa diwakili oleh murid kesayangannya yang telah pula masyhur di jagat tulis menulis puisi.
“Baiklah murid-murid peserta, hari ini kelas menulis puisi akan kita mulai. Mohon terus serius menyimak dan jangan malu pula bertanya sekiranya belum paham!” kata si mentor. Melihat semua murid mengangguk paham (termasuk Wicaksono), ia pun melanjutkan khotbahnya, “Hari pertama kelas ini, kita akan membahas perihal menulis secara mendasar dan menyeluruh. Harapannya dengan kita berikan ilmu tersebut, murid-murid sekalian memiliki dasar yang kuat tentang tulis menulis yang tentu saja dapat dipraktikkan saat menulis puisi. Nah, judul materi yang akan kita bahas hari ini adalah Menulis: Pengertian, Tujuan, Fungsi, Manfaat, dan Teknik Menulis.”
Wicaksono mengeluarkan buku dan penanya. Khusyuk ia menyimak semua penuturan dari sang mentor yang sedang berdiri di hadapannya. Begitu pula peserta yang lain. Hari itu sekitar lima belas orang mengikuti kelas menulis puisi tersebut. Dan bila dilihat dari tampang semua peserta, wajah Wicaksono-lah yang tampak paling tua. Ya, saat mengikuti kelas itu, umur Wicaksono memang nyaris empat puluh tahun. Namun, adakah ukuran usia bagi seseorang untuk sukses dalam dunia tulis-menulis puisi?
“Menulis adalah sebuah proses menciptakan suatu catatan, informasi, atau cerita yang menggunakan aksara. Menulis bisa dilakukan pada media kerja dengan menggunakan alat-alat seperti pena atau pensil. Tapi awalnya, menulis dilakukan menggunakan gambar seperti tulisan hieroglif zaman Mesir Kuno. Pada akhirnya, tulisan aksara pun muncul sekitar lima ribu tahun lalu. Orang-orang dari Irak juga menciptakan banyak simbol-simbol pada tanah liat. Simbol-simbol itu mewakili bunyi, berbeda dengan huruf-huruf hieroglif yang mewakili kata-kata atau benda. Menulis juga proses menuangkan kreativitas atau gagasan ke dalam bentuk bahasa tulisan, yang biasanya disebut dengan karangan. Karena menulis adalah kerja mengungkapkan isi pikiran, ide, pendapat atau keinginan seseorang melalui tulisan tersebut. Namun murid-murid, begitupun pengertian menulis, juga memiliki banyak makna. Dan hal ini dikembalikan kepada setiap orang atau ahli-ahli dalam mengartikannya. Sampai di sini paham?” tanya mentor kelas menulis itu.
Murid-murid serentak mengangguk kecuali Wicaksono. Penasaran melihat Wicaksono yang tidak mengangguk, mentor itu pun bertanya, “Kamu paham, Wicaksono?”
“Sedikit, Pak.”
“Lalu, apa yang belum banyak?”
“Materinya, Pak.”
Mentor itu tersenyum. Tentu saja belum banyak, kelas saja baru mulai, bisik batin mentor itu.
“O, itu maksud kamu. Ya, kalau begitu, tetaplah fokus dan semangat menyimak pelajaran hari ini, Wicaksono!”
Wicaksono mengangguk. Kelas pun lanjut kembali.
“Sebelum kita teruskan pembahasan tujuan dari menulis, saya ingin bertanya. Menurut kalian apa tujuan menulis? Tentu saja setelah kalian paham pengertian menulis tadi,” tanya mentor itu lagi.
Semua murid diam tak ada yang menjawab. Begitu pula Wicaksono. Tetapi diam-diam dalam hati ia berseru: agar mendapatkan uang banyak sebab sudah keluar uang banyak untuk belajar menulis.
Melihat murid-murid semua diam, mentor itu pun melanjutkan penjelasannya, “Baiklah, karena tak ada yang menjawab, maka akan saya terangkan saja apa tujuan dari menulis. Perhatikan baik-baik, ya!” Mentor itu menarik kursinya kemudian duduk seraya melanjutkan, “Menulis itu bukan hanya sekadar merangkai kata-kata. Seorang penulis semestinya haruslah paham tentang tujuan menulis sebelum akhirnya tercipta sebuah karya tulisan, dalam hal ini tentu saja puisi, sebab murid-murid kan sedang mengikuti kelas menulis puisi. Selain itu, tulisan juga merupakan media komunikasi antara penulis dan pembacanya. Sehingga, oleh karenanya, penulis haruslah menentukan dahulu tujuan dari si penulis: untuk menambah wawasan atau untuk hiburan semata. Sampai di sini paham?”
“Paham,” jawab murid-murid serentak kecuali Wicaksono.
“Tapi kalau tujuannya berbeda dari keduanya bagaimana?” Wicaksono tiba-tiba saja menyemburkan tanya.
“Seperti apa misalnya?” tanya mentor itu balik.
Wicaksono terdiam. Sebenarnya ia pun bingung kalau ditanya contoh apa yang lain dari kedua hal itu. Hanya saja, kalau ia mengingat-ingat tentang semua puisi yang pernah ia tulis, sepertinya sudah mengandung kedua unsur tujuan yang disampaikan oleh mentor itu. Tapi mengapa puisinya tak satu pun yang dimuat media. Tak tahu mau menjawab apa, Wicaksono sekenanya saja berujar, “Belum terpikirkan. Tapi maksudnya kalau ada tujuan yang tidak sama dari kedua tujuan itu, apa masih boleh menulis, lebih spesifik lagi menulis puisi tentunya?”
“Oh, saya pikir boleh-boleh saja.”
“Kalau begitu tujuan menulis selain itu adalah apa pun yang kemudian dipikirkan oleh setiap penulis kemudian. Benarkan, Mas?”
Sekarang gantian mentor itu yang bingung mau menjawab apa. Namun, sebagai penulis puisi bestseller dan murid terbaik pula dari penyair hebat, ia pun mudah saja melanjutkan pekerjaannya.
“Baiklah, karena hal yang ditanyakan oleh Wicaksono belum jelas, kita lanjutkan pelatihan kita hari ini,” kata mentor itu sambil berdiri dan berjalan mengelilingi murid-murid pelatihan menulis puisi.
Komposisi duduk peserta pelatihan itu memang serupa komposisi sebuah peristiwa belajar-mengajar di sekolah, yang mana posisi guru berada di depan murid-murid. Sambil berjalan mendatangi meja murid-murid pelatihan menulis puisi, mentor itu melanjutkan materinya, “Nah, setelah kita membahas perihal tujuan menulis, sekarang kita akan membahas soal fungsi menulis. Seperti sebelumnya, saya juga ingin bertanya. Menurut kalian apa fungsi menulis?”
Semua kembali terdiam. Dan Wicaksono kembali ingin menjawab. Sesaat ia mempertimbangkan niatnya. Ia berpikir, kalau terlalu aktif takutnya nanti ditandai oleh mentor kelas menulis puisi itu. Syukur kalau sebagai yang baik, kalau sebaliknya? Kan bisa berabe. Niatnya untuk mendapatkan ilmu mungkin saja akan terganggu. Tetapi kalau diam saja, rugi rasanya sudah membayar mahal. Apalagi yang mengajar bukanlah seperti yang sudah dijanjikan. Duh, Wicaksono dikurung bimbang.
Melihat semua murid diam, mentor itu pun melanjutkan materinya, “Fungsi menulis sendiri adalah sebagai alat komunikasi tak langsung antara penulis dan pembacanya. Sebab, tulisan pada prinsipnya dapat menyampaikan pesan dari penulis kepada pembacanya.”
“Kalau tulisan tidak ada pesan bagaimana?” kata Wicaksono yang akhirnya tak tahan juga—meski ia bukan menjawab pertanyaan malah memberi pertanyaan.
Sejenak mentor itu memperhatikan wajah Wicaksono. Sepertinya dia sedang menyelami Wicaksono—yang sebenarnya mau bertanya atau sedang menguji? Suasana kelas pun seketika menjadi hening, lalu kemudian, “Saya pikir tidak ada satu tulisan pun di dunia ini yang tak memiliki pesan apalagi puisi. Serusak atau sehancurnya sebuah tulisan, pasti memiliki pesan. Hanya saja, pesan itu apakah penting atau tidak. Begitulah murid-murid.”
Wicaksono manggut-manggut. Tapi ia malah semakin penasaran dan bertanya kembali, “Kalau begitu apa ciri dan tanda sebuah pesan pada tulisan dan tentu saja dalam hal ini puisi, bisa dikatakan penting?”
Sang mentor mulai merasa terusik dengan pertanyaan-pertanyaan Wicaksono. Ia pun mulai berpikir kalau Wicaksono seharusnya tidak ikut dalam kelas itu, sebab kapasitas otaknya yang kurang mampu mencerna, tuduh pikiran mentor itu. Namun karena setelah kelas itu, ia pun masih memiliki jadwal untuk kelas lain, yang dia buat sendiri, dia pun tak menggubris pertanyaan Wicaksono dan langsung saja melanjutkan materinya.
“Murid-murid, agar kelas kita ini bisa berjalan sesuai rencana dan tepat waktu, saya pikir pertanyaan-pertanyaan bisa nanti saja disampaikan setelah semua materi saya sampaikan. Setuju?” kata mentor itu sambil kembali duduk di kursinya.
“Setuju!” jawab murid-murid serentak, kecuali Wicaksono yang tampak kecewa sebab pertanyaannya tidak berbalas dengan jawaban. Padahal tadi si mentor mengatakan boleh bertanya bila belum paham. Jengkel, ia pun memasukan buku dan penanya ke dalam tas. Mungkin ia sudah siap-siap kabur dari ruang kelas belajar menulis puisi itu.
“Kita lanjut lagi. Sekarang kita akan membahas soal manfaat menulis. Seperti sebelumnya...,” mendadak mentor itu tidak melanjutkan rencananya yang ingin bertanya juga seperti sebelumnya. Ia pikir, nanti Wicaksono akan bertanya lagi dan akan membuat konsentrasi dia buyar. Maka, ia pun langsung saja menjelaskan materinya, “Jadi manfaat menulis adalah memberikan manfaat kepada pembaca. Namun, manfaat itu ternyata bukan hanya hadir atau timbul pada pembaca, melainkan kepada penulis juga. Sebab dengan menulis, penulis akan terlatih untuk melahirkan dan menciptakan ide. Paham murid-murid?”
“Paham!” jawab murid-murid serentak termasuk Wicaksono. Mentor itu tampak lega, karena melihat mulut Wicaksono juga berucap kata paham. Tapi ada apa dengan Wicaksono? Mengapa ia tidak bertanya? Apa ia sudah benar-benar paham, atau memang sudah malas mau bertanya? Ah, sudahlah! Lagi pula mentor itu sudah pula buru-buru melanjutkan materi kelasnya yang tinggal menjelaskan bagian terakhir dari pembahasan menulis, yakni teknik menulis.
“Sampailah kita pada pembahasan terakhir dalam sesi pembahasan soal menulis. Dan pembahasannya ialah perihal teknik menulis,” kata mentor itu sambil kembali tegak dan kembali mengelilingi meja murid-murid.
Ketika mentor itu berdiri tepat di depan meja Wicaksono, Wicaksono berdiri kemudian dengan sedikit berbisik berujar, “Mas, boleh tidak saya pulang saja. Saya tidak akan minta uang pelatihan menulis puisi ini dikembalikan. Yang penting, setelah kelas menulis puisi ini selesai dan karya para murid-murid akan dibukukan, tolong masukan karya saya juga. Sebab kalau tidak, pacar saya akan mencak-mencak memarahi saya. Soalnya uang pelatihan ini, ia yang bayar.”
“Loh, tidak seperti itu cara kerjanya, Wicaksono. Kamu ya harus ikut sampai selesai, kemudian menulis sebuah karya baru, barulah karya itu bisa dibukukan,” jawab mentor itu dengan wajah serius.
Wicaksono sebal. Tak tahan dengan cara mentor itu mengajar, ia pun memutuskan kabur. Saat meninggalkan kelas, ia pun berteriak, “Pelatihan nggak jelas. Lihat saja, akan aku buat puisi yang menceritakan ketidakjelasan pelatihan ini. Lihat saja nanti!”
Keesokan hari, bahkan sampai kelas belajar menulis puisi itu usai, wajah Wicaksono tak sekalipun tampak batang tengkuknya. Dan ketika buku antologi puisi para murid terbit, karya Wicaksono pun tak tampak dalam buku. Sedangkan janji Wicaksono yang ingin menulis puisi perihal kekesalannya juga tak terlaksana, sebab sehari setelah memutuskan kabur dari kelas menulis puisi, kekasihnya Gabriel Morla Wati memutuskan hubungan mereka. Dan kini, menurut kabar yang tersiar, Wicaksono dalam kondisi koma setelah mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya sehari pasca diputuskan oleh kekasihnya.
Akasia 11CT, 2024
________
Penulis
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya Buku Latihan Menulis Cerpen tidak akan diterbitkan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com