Friday, January 31, 2025

Cerpen Khairul A. El Maliky | Sejak Kapan Semur Punya Agama?

Cerpen Khairul A. El Maliky



Seperti biasanya, Yu Sumi pagi ini sedang memasak buat keluarganya. Ia memasak sendirian di dapur. Suaminya, Kang Sofyan, sudah berangkat kerja sejak tadi setelah sarapan secangkir kopi dan sepotong roti goreng. Kedua anak mereka, Aldi dan Johan juga sudah berangkat ke sekolah sejak pagi tadi karena hari ini mereka berdua akan mengadakan upacara bendera. Pagi ini Yu Sumi tidak tampak pergi belanja ke tukang sayur yang biasanya mampir di halaman rumahnya. Saat si tukang sayur bertanya tadi, Yu Sumi mengatakan kalau hari ini ia tidak belanja ikan atau tempe untuk lauk. 


Di dapur rumahnya, Yu Sumi tampak sedang meracik bumbu-bumbu untuk semur. Cabai merah, cabai keriting, bawang putih, ketumbar, garam dan bumbu penyedap rasa bersatu padu di atas cobek, kemudian ia menggilingnya dengan ulekan hingga menjadi bumbu halus. Setelah itu, wanita paruh baya itu mencuci daging yang kemarin habis dikasih oleh Bu Kris, dokter spesialis kandungan yang rumahnya hanya berjarak lima wuwungan dari rumahnya Yu Sumi. Dengan telaten, wanita itu mencuci daging yang tadi dikeluarkannya dari dalam kulkas tersebut. Ia berniat bahwa pagi ini ia akan memasak semur daging "spesial" buat keluarganya. Ia sama sekali tidak pernah tebersit sedikit pun soal daging pemberian dari tetangganya itu. Tapi yang jelas, kata Bu Kris kemarin ia habis membeli daging kebanyakan sehingga harus dibagi dengan orang lain. Takut mubazir katanya.


Selesai dicucinya, Yu Sumi merebus daging tersebut di dalam panci hingga airnya mendidih. Sambil menunggu daging matang, wanita itu mencuci kentang sisa kemarin yang juga disimpannya dalam kulkas. 


Yu Sumi adalah seorang ibu rumah tangga yang fulltime tinggal di rumah. Pekerjaannya adalah mengurus rumah dan belanja ke tukang sayur. Dulu, sewaktu masih muda, ia pernah bekerja sebagai karyawati sebuah pabrik tekstil di kota kecilnya. Kala itu gaji yang diterimanya cuma Rp125.000 tiap bulan. Setelah 10 tahun bekerja, ia mengajukan pengunduran diri. Ia pun cuma dapat uang pesangon Rp300.000 dari Jamsostek. Kini ia mendengar kalau gaji karyawan pabrik tekstil tempatnya bekerja dulu sudah lebih tinggi dari pada gaji guru yang kadang tak dibayar sampai 5 bulan. Pernah sih ia terbetik untuk kembali melamar kerja. Tapi kemarin, dari televisi ia mendengar kalau seluruh pabrik tekstil mengadakan efesiensi karyawan secara besar-besaran untuk menghindari gulung tikar. Banyak pula buruh yang dirumahkan. Konon penyebabnya adalah semakin berkurangnya jumlah produk yang terjual karena imbas dari harga rupiah yang anjlok. Hal itu pula yang ditakutkan oleh suaminya, Kang Sofyan yang sudah 30 tahun menjadi karyawan tetap di PT Rimbayana Abadi Plywood, sebuah perusahaan yang mengolah tripleks berkualitas. Sejak kariernya naik daun dan menjadi juru ukur kayu yang akan dijadikan tripleks, lelaki itu menganjurkan kepada istrinya agar berhenti kerja dan fokus mengurus rumah. 


Dari hasil bekerja menghambakan diri kepada pengusaha asing, Kang Sofyan bisa merenovasi rumah peninggalan mertuanya yang kini mereka tempati. Selain itu ia juga bisa mencicil dua unit sepeda motor matic  keluaran terbaru. Bisa membeli kulkas dan televisi. Dan yang lebih membuatnya bangga adalah ia bisa menyekolahkan kedua anak lelakinya yang kini sudah duduk di bangku SMA. 


"Masak apa hari ini, Yu Sumi?" tanya Mawarni yang pagi itu sedang menyuapi anaknya yang berumur tiga tahun. 


"Aku hari ini masak semur daging, War," jawab Yu Sumi. 


"Pantesan tadi nggak belanja ke abang-abang sayur langganan. Ternyata masak semur daging. Dapat dari mana, Yu?" tanya kembali Mawarni yang selalu kepo.


"Kemarin sore aku habis dikasih sama Bu Kris, War."


"Dari Bu Kris?!" 


Yu Sumi mengangguk. Wajah Mawar terlihat pucat pasi. 


"Lho itu bukannya daging yang awalnya mau dikasihkan ke Bu Rahma, Yu? Tapi, Bu Rahma malah menolaknya."


"Kenapa memangnya, War? Dagingnya masih segar kok! Tapi, barusan saat aku mencicipinya, tekstur dagingnya agak lain dan nggak kayak daging sapi seperti biasanya aku beli."


"Iya mungkin karena itu alasannya, Bu Rahma tidak mau, Yu. Tapi aku sempat nanya sama Bu Kris, buat apa beli daging sebanyak itu. Katanya buat pesta Natal."


"Ooo …"


***

Aldi dan Johan memuntahkan semur daging yang telanjur dikunyahnya ke tanah di halaman rumahnya. Lalu, kedua remaja yang belajar di Madrasah Aliyah Negeri itu berkumur-kumur hingga sisa-sisa daging di mulut mereka hilang. 


"Sebenarnya daging yang Ibu masak itu daging apa?" tanya Aldi, kakaknya Johan. 


"Daging sapi. Kenapa memangnya? Dan kenapa kalian memuntahkannya? Apakah semur daging yang ibu masak tidak enak?!" Yu Sumi kecewa dan memarahi kedua anaknya. "Mbah Kakung kan sudah pernah bilang, jangan suka memuntahkan makanan. Bila tidak suka jangan dimakan. Jangan buang-buang rezeki yang diberikan oleh Allah!"


"Tapi, apakah Ibu tahu, daging apa yang telah ibu buat semur itu?" tanya Aldi lagi. 


"Itu daging sapi."


"Ya Allah, apakah ibu bisa membedakan mana antara daging sapi dengan daging hewan lain?" 


"Itu daging sapi!" Yu Sumi mengotot. 


"Oke. Ibu mendapatkan daging tersebut dari mana?" 


"Jangan banyak tanya. Mumpung ada daging makan! Tidak perlu ditanya dapat dari mana! Kayak kalian sudah bisa cari uang sendiri saja sok menampik makanan!" ucap Yu Sumi dengan ketus. 


Lantas Aldi dan Johan yang kesal dengan sikap keras kepala ibunya main ke rumah Mawarni. Kepada perempuan itu keduanya menceritakan soal semur daging yang telanjur mereka makan. Awalnya mereka berdua menyangka kalau itu adalah semur daging sapi. Tapi, setelah dikunyah dan dirasakan kok beda dengan daging sapi yang familiar di lidah mereka. Mawarni yang mendengarkan cerita mereka langsung mengatakan kalau daging tersebut berasal dari pemberian Bu Kris. 


"Bu Kris kan hari ini Natalan, dan dia kemarin habis membeli daging babi banyak banget. Karena kebanyakan, lantas ia bagikan ke tetangga. Awalnya dia mau ngasih ke Bu Rahma. Karena Bu Rahma menolak, ya akhirnya dikasihkan ke ibu kalian," ujar Mawarni memberitahu. 


"Ya kan dugaanku benar. Tadi yang kita makan adalah daging babi!" seru Aldi. 


Setelah rasa kesal yang melonjak-lonjak di dada mereka telah mereda, lalu mereka kembali pulang ke rumah. Saat di rumah, mereka menemukan ibunya duduk di depan televisi sambil makan semur daging tersebut.


"Jangan menyesal kalian kalau tak kebagian lauk buat makan sore nanti."


"Sekarang aku sudah tahu Ibu peroleh dari mana daging tersebut," ujar Aldi kalem. "Dari Bu Kris kan?"


"Memangnya kenapa? Bu Kris kan Islam?" 


"Apakah ibu tidak tahu, siapa nama panjangnya Bu Kris?" tanya Johan yang selama ini pendiam. 


Ibunya menggeleng. Ia hanya lulusan kelas 6 SD. Kemudian dinikahkan dengan suaminya, Kang Sofyan. 


"Namanya Bu Kris itu adalah Kristiani Sitorus. Dia itu berasal dari Batak. Dan agamanya Kristen Batak. Orang Batak sebagian ada yang memakan babi, namun ada juga yang tidak meskipun Kristen," kata Johan menjelaskan. "Jadi, tidak semuanya orang Kristen itu mengonsumsi daging babi dan anjing."


Mendengar penjelasan dari anaknya itu, sontak membuat Yu Sumi memuntahkan semur daging yang telah masuk ke dalam perutnya. Ia membaca istighfar sejadi-jadinya. 


"Jadi, daging yang Ibu masak buat semur itu daging babi?!" Yu Sumi bertanya bego.


Kedua anak lelakinya mengangguk. Setelah itu, Yu Sumi pergi ke dapur untuk membuang semua semur daging yang telah dimasaknya dengan susah payah. Ia tak ingin Kang Sofyan memakan semur daging tersebut. Tapi, ketika ia hendak membuangnya, Kang Sofyan telah pulang dari kerja dan melihat istrinya membuang makanan.


"Apa yang Ibu buang itu?" selidiknya. 


"Semur daging, Pak."


"Kenapa dibuang? Kan mubazir?" 


Yu Sumi yang taat pada suaminya pun mengurungkan niatnya untuk membuang semur daging babi tersebut. 


"Aku mau makan."


Tanpa cincong, Yu Sumi mengambilkan piring. Lalu, ia menyentong nasi dan meletakkannya di piring suaminya. Setelah itu, Kang Sofyan makan dengan semur daging itu, sementara Yu Sumi membuatkan kopi. Pada saat itu, Aldi melihat ayahnya sedang makan.


"Pak, kenapa Bapak makan dengan semur daging itu?" 


"Memangnya kenapa?" jawab bapaknya yang makan dengan santai. 


"Bapak tahu itu semur daging apa?"


"Tidak."


"Itu daging babi, Yah!"


"Apa?!" muka Kang Sofyan langsung merah macam bokong wajan yang terlalu lama dibakar api kompor gas. "Jancuk!"


***

"Saya memohon maaf, Kang Sofyan. Sungguh, saya tidak tahu kalau orang Islam itu dilarang makan daging babi," kata Bu Kris merendah.


"Masa Bu Kris yang pernah kuliah di kedokteran tidak tahu soal ini?" tanya Kiai Maksum kalem. 


Bu Kris menggeleng. 


"Daging babi atau hinjir dalam Al-Qur'an kalau dimakan mentah-mentah pasti membuat kita mengendentikkannya dengan hewan babi. Padahal, di dalam ayat tersebut ada makna tersiratnya," ujar Kiai Maksum kepada Kang Sofyan dan Yu Sumi. "Babi, anjing, zina, mabuk, dan judi yang diharamkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an ditujukan untuk sesuatu yang didapatkan dengan cara yang haram. Ayat-ayat itu adalah simbol."


"Apa saja, Kiai?" tanya Kang Sofyan.


"Mencuri, merampok, korupsi, berjudi, melacur, menjual alkohol, tilep, kibul, begal, dan menipu. Ini adalah perbuatan haram yang dilarang oleh Allah khusus untuk manusia. Dan jangan sampai makanan yang dihasilkan dari perbuatan haram ini masuk ke dalam perut kita karena akan menyebabkan hati, pikiran dan lidah kita menjadi rusak, tak bermoral," jelas Kiai Maksum. "Jadi manusia itu yang jujur, dan jangan menipu Allah dengan kemunafikan. Produk apa pun dicap halal, namun isinya berasal dari yang haram? Apakah ini tidak menipu Allah?"


Probolinggo, 2024


______

Penulis

Khairul A. El Maliky, pengarang novel, lahir dan besar di Kota Probolinggo, 5 Oktober 1986. Pernah belajar di kota Pekanbaru, Riau. Bukunya yang telah terbit berjudul Akad, Pintu Tauhid, dan Kalam Kalam Cinta (Penerbit MNC, 2024). Dua buku terbarunya masih proses terbit. Di sela kesibukannya mengarang novel, ia juga aktif sebagai guru Sastra Indonesia. Untuk pembelian buku bisa melalui: mejaredaksiimajinasiku@yahoo.com/ atau WhatsApp:0821-4147-9934.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com