Friday, January 24, 2025

Cerpen Yuditeha | Kamar Nomor 11

Cerpen Yuditeha



Aku diterima kuliah di Universitas Negeri Malang. Hari itu, usai menyelesaikan daftar ulang, hal penting yang kemudian kulakukan mencari indekos. Seharian aku mencarinya dan tidak kesulitan mendapati indekos yang ditawarkan, tapi semuanya kebetulan indekos mewah yang biayanya cukup tinggi hingga tidak sesuai dengan keadaanku. Aku menyadari keadaan ekonomi orangtuaku pas-pasan. Meski orangtuaku tidak menentukan jenis indekos yang kucari, tapi dari awal aku berjanji akan memilih yang biasa. Dengan begitu kuharap akan mendapat indekos dengan harga terjangkau. 

Hari telah sore aku putuskan untuk melanjutkan pencarian esok. Malam itu aku ingin menginap di tempat Ranti, temanku yang setahun lebih dulu kuliah di kota itu. Pertemuan kami di indekos Ranti membuat kami senang. Sebelum kami melanjutkan berbincang, Ranti menyuruhku bebersih. Selagi aku mandi, Ranti membeli makan untuk kami berdua. Selesai aku bebersih, kami berbincang sembari makan bersama.

Namun perbincangan kami sedikit tidak nyaman karena di sepanjang sore itu ada suara perempuan berteriak tidak jelas, yang berasal dari rumah yang tidak jauh dari indekos Ranti. Karenanya di awal perbincangan, aku sempat menanyakannya kepada Ranti. 

“Namanya Mona. Kakak Noni, pemilik kos ini. Dia Gila,” jawab Ranti.

 “Gilanya sejak lahir atau ...”

“Kabarnya dulu sehat,” Ranti lantas menambahkan penjelasan, tapi bukan penyebab kegilaannya, melainkan tentang kebiasaan Mona yang menurutnya perlu aku ketahui karena aku perempuan. Katanya, Mona tidak menyukai keberadaan perempuan lain di dekatnya. Mona akan menyumpahserapahi.  “Jadi siap-siap saja,” tambah Ranti sembari tersenyum. 

Perbincangan kami terus berlanjut dan saking serunya hingga tanpa terasa malam telah larut. Ketika menyadari hal itu kami sepakat untuk istirahat. Sebelum berangkat tidur, aku izin pipis, di mana letak kamar mandi berada di luar. Pada saat aku menuju ke sana, sempat memperhatikan kamar yang lain. Sekilas aku menghitung, ada sebelas kamar. Bangunannya membentuk huruf U. Ranti menempati kamar nomor 1, yang tentu saja berada di salah satu ujungnya. Selain kamar Ranti, hanya satu kamar yang lampunya tidak menyala, yaitu kamar nomor 11, berada di ujung lainnya, tepat berseberangan dengan kamar Ranti. 

“Teman-teman kosmu banyak yang belum tidur,” kataku sekembali dari kamar mandi.

“Hampir semua suka begadang,” sahut Ranti sembari merapikan seprei.

“Hanya satu yang tampaknya sudah tidur.”

“Kok kamu tahu?” 

Aku tersenyum, “Hanya menduga, karena lampunya tidak nyala.”

Ranti melihat ke arahku lalu berkata, bila yang kumaksud  kamar nomor 11, lampu di kamar itu memang tidak pernah menyala. “Kamar itu kosong,” lanjutnya.

“Tidak disewakan?”

“Lebih tepatnya tidak ada yang berani menempati,” jawab Ranti.

Ketika Ranti mengatakan begitu, spontan pandanganku mengarah ke luar, mengamati kamar itu dari balik jendela. Ketika Ranti selesai menyiapkan tempat tidur, dia mengajak istirahat. Meski aku langsung menurutinya tapi pikiranku belum lepas dari kamar itu. Benakku memikirkan hal-hal yang sekiranya bisa menjadi sebab kamar tersebut tidak dipakai. Hal itu membuatku tidak bisa segera lelap, terlebih suara Mona yang tidak jelas masih belum berhenti. Namun ketika aku melihat Ranti sudah pulas aku justru bangkit, lalu mendekat ke arah jendela dan membuka gorden, kembali mengamati kamar itu.

Pagi hari, saat aku hendak mandi, rasa penasaranku terhadap kamar itu tak bisa kubendung hingga aku memberanikan diri mendekat. Bahkan aku mengintipnya lewat celah gorden jendela yang kebetulan sedikit tersibak. Aku hanya melihat gelap, namun mataku menangkap warna beda di salah satu pojok kamar. Saat itu jantungku berdetak lebih cepat. Sebenarnya dalam diriku ada perasaan takut, tapi entah kenapa justru kepada Ranti aku menyampaikan keinginanku untuk menyewanya. “Menurutmu apakah Noni akan mengizinkan?” tanyaku kemudian.

“Pastinya boleh. Selama ini justru karena tidak ada orang yang berani menempati,” jawab Ranti. “Tapi kamu yakin?” 

Aku mengangguk. Namun, apa yang kupikirkan setelahnya bukan perihal kamar itu, tapi tentang kemungkinan aku bisa mendapatkan indekos dengan harga miring. Karenanya, tak ingin mengulur waktu, hari itu juga dengan ditemani Ranti menemui Noni. Ketika kami berada di rumah Noni, aku baru tahu, ternyata Mona tinggal di situ. 

Setelah aku menyampaikan maksudku, Noni langsung memperbolehkan, bahkan dia berjanji segera membersihkannya. “Agar ketika kamu datang membawa perlengkapan, bisa langsung kamu pakai.”

Kejadian itu sungguh membuatku lega. Tugas mencari indekos selesai, yang hal itu tentu membuatku senang. Tapi pikiranku penasaran dengan perkataan Ranti usai menemui Noni. “Aku heran, begitu kamu masuk rumah itu, Mona yang sebelumnya terus berteriak, tiba-tiba diam, terlebih setelah kamu menyapanya.”

Ketika aku sudah menempati kamar nomor 11, para penghuni indekos lain merasa heran. Namun keheranan mereka bukan karena keberanianku menempatinya, tapi karena sejak itu Mona tidak pernah berteriak dan marah-marah lagi. Bahkan Ranti sampai berulang kali membicarakan hal itu. Seperti yang baru saja dia katakan. “Apa yang kamu lakukan hingga dia tidak teriak dan tidak marah-marah lagi?” 
Sebenarnya aku tidak tahu penyebab Mona berubah. “Masa hanya karena kusapa?” sahutku.

“Mungkin.”

“Tapi setelah itu kadang aku memang mengajaknya bicara.”

“Kamu bicara dengannya?”

Aku mengangguk.

“Nyambung?”

Kembali aku mengangguk, “Bahkan dia suka bercerita tentang dirinya. Karena itu aku tahu ternyata dulu dia sempat bersuami dan punya anak,” terangku kemudian.

Ranti mengiyakan perkataanku, lantas memberi penjelasan bahwa dia memang pernah mendengar kabar itu. Kata Ranti, ketika Mona hamil tua, dan waktu itu sedang sendiri di rumah, tiba-tiba dia merasa bayi yang dikandung sudah waktunya lahir. Mona bingung, lantas menelepon suaminya, meminta kepada suami untuk izin pulang agar bisa mengantarnya ke dokter. “Cuma setelah itu tidak jelas, tahu-tahu kisahnya berlanjut ketika dia sudah ditangani dokter dan bayinya berhasil dilahirkan tapi bayi itu dalam keadaan mati,” sambung Ranti.

Mendengar penjelasan Ranti aku terbengong agak lama. Aku heran karena kisah yang Ranti katakan berbeda dengan apa yang Mona ceritakan. Menurut Mona, tak berselang lama setelah dia menelepon, suaminya datang bersama seorang perempuan, yang diperkenalkan sebagai dokter kandungan yang akan membantunya melahirkan. Karenanya aku bengong karena mempertimbangkan, apakah aku perlu memberitahu hal itu kepada Ranti atau tidak.

“Parahnya, setelah mengetahui hal itu suaminya justru pergi meninggalkannya,” tambah Ranti.

Pernyataan Ranti rupanya membuatku mantap untuk tidak mengatakan perihal kisah yang diceritakan Mona. Jika nanti Ranti menanyakan, aku akan katakan bahwa apa yang Mona kisahkan tidak selengkap dengan cerita Ranti. Padahal kenyataannya tidak begitu, karena menurut Mona, setelah hampir tiga jam dia mengejan, bayi itu berhasil dilahirkan dan dalam keadaan hidup. 

Mona bilang usai bayi itu lahir, tenaganya memang terkuras dan kondisi kesadarannya melemah hingga hal itu menyebabkan dia ambruk tidak sadarkan diri. Namun Mona mengatakan, sebelum pingsan dia masih sempat mendengar suara tangis bayi yang dia yakini suara tangisan itu adalah tangisan anaknya yang baru dilahirkan.

Karenanya Mona heran ketika perempuan yang waktu itu membantu memberi penjelasan bahwa bayi yang dia lahirkan sudah meninggal ketika masih dalam kandungan. Oleh suaminya, jasad orok itu kemudian dimakamkan, tapi suaminya belum sempat memberitahu kepadanya tentang tempat bayi itu dikubur. Suaminya keburu pergi meninggalkannya. Kata Mona, terlepas perempuan yang dibawa suaminya itu dokter atau bukan tapi dia merasa perempuan itu adalah kekasih suaminya. Karenanya Mona menduga bahwa mereka memang sengaja membunuh bayinya.

“Sejak itu kondisi kejiwaannya terus menurun hingga sampai pada kegilaan,” kata Ranti menyadarkan lamunanku. “Oya, apakah Mona juga cerita di mana jasad bayinya dikubur?” tanya Ranti kemudian.

“Dia tidak bilang, karena dia sendiri katanya tidak tahu di mana bayinya dikubur,” jawabku.

“Tentu karena itu juga yang membuat dia menjadi gila,” sahut Ranti. “Tapi beruntunglah adiknya masih mau merawatnya bahkan sampai sekarang,” tambah Ranti.

Setelah itu Ranti menceritakan kepadaku tentang perjuangan Noni menghidupi dirinya dan kakaknya itu. Kata Ranti, dia tahu hal itu karena Noni sendirilah yang dulu bercerita kepadanya. Berbekal tanah peninggalan orangtua mereka, Noni membangun indekos ini, yang terdiri dari sebelas kamar. “Eh, ada satu kisah aneh ketika proses mendirikan bangunan ini,” kata Ranti.

“Aneh?” sahutku.

“Ketika pekerja mulai menggarap kamarmu ini, Mona suka teriak dan marah-marah kepada para pekerjanya. Noni heran tapi dia tidak tahu apa yang menyebabkan Mona begitu. “Noni pikir kejiwaan kakaknya semakin parah.”

“Lalu apa yang aneh?” tanyaku.

“Meski begitu pembangunan kamar ini, tetap dilanjutkan,” sahut Ranti tak menjawab pertanyaanku. 

“Terus?”

Kata Ranti, setelah kamar terakhir ini jadi, Mona tetap suka teriak dan marah-marah. Tentu saja bukan lagi kepada pekerja, karena mereka sudah tidak ada, tapi kepada semua orang, terutama kepada perempuan, Terlebih kepada orang yang berniat menyewa kamar ini. Karena itu ketika ada orang ingin menyewanya lalu mendapatkan murka dari Mona, orang itu lantas mengurungkannya. Noni yang tidak tahu penyebab kemarahan kakaknya itu akhirnya menyerah dengan cara tidak lagi menawarkan kamar itu. “Apakah Mona juga bercerita tentang kisah itu?” tanya Ranti kemudian.

Aku menggeleng, sembari benakku mengembara. Pertanyaan Ranti seperti sebuah petunjuk bahwa selama ini belum pernah ada yang tahu perihal kisah Mona yang sebenarnya. Perbincangan kami siang itu terpaksa tidak berlanjut karena aku ada jadwal kuliah. Saat perjalanan ke kampus benakku masih memikirkan hal yang kami obrolkan itu. 

Menjelang sore, usai kuliah aku langsung pulang, bermaksud istirahat dulu sebelum nanti bangun untuk mengerjakan tugas. Mungkin karena cerita tentang Mona masih bersemayam di benakku hingga hal itu terbawa dalam mimpi. Kisah dalam mimpiku itu terjadi pada malam hari. Ketika aku sedang belajar di kamar, tiba-tiba aku mendengar suara tangis bayi, lantas aku mencari asal suara itu. Setelah saksama memeriksa, aku yakin suara itu berasal dari pojok kamarku, tepat di bawah lemari. Ketika aku mendekat bersamaan suara bayi itu terdengar lagi.

Aku terjaga karena kaget dan saat itu Ranti berada di dekatku. Dia bilang sehabis dari kamar mandi, dan ketika lewat depan kamarku dia mendengar aku mengigau. Lantas dia memutuskan masuk kamarku karena pintu tidak terkunci. “Mimpi buruk, ya?” tanya Ranti kemudian. Aku tidak menanggapi pertanyaan Ranti, tapi menyampaikan hal lain, “Aku tahu mengapa Mona suka teriak dan marah-marah saat pembangunan kamar ini.”


_________

Penulis

Yuditeha, penulis yang tinggal di Karanganyar. 


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com