Esai Bandung Mawardi
Pada saat bergerak dengan nama-nama, pembaca mengetahui beragam situasi dan konflik-konflik. Ketegangan dan kelegaan bergantian atau bercampur.
Pembaca berada dalam “perjalanan” mengesankan setelah melewati halaman demi halaman buku cerita. Pamrih segera mengadakan ringkasan mungkin terwujud. Pembaca tak mau sia-sia memilih mengadakan resensi meski mengharuskan pilihan ingatan dan keterikatan berpusat nama-nama.
Tahun-tahun berlalu, pembaca tetap “memiliki” buku-buku cerita pernah terbaca. Ia berada dalam pusaran ingatan tak utuh. Penggalan-penggalan bisa “mengembalikan” cerita. Ingatan nama-nama dalam buku cerita mungkin “petunjuk” penting untuk memanggil semua halaman.
Pembaca tak selalu mendapat nama mudah dibawa dalam album ingatan. Buku cerita mungkin sekadar menghadirkan “sosok” tanpa pemberian nama terang. Kita membuka buku cerita berjudul The Hen Who Dreamed She Colud Fly (2020) gubahan Hwang Sun-Mi. Cerita datang dari Korea Selatan. Nama ditaruh di halaman-halaman awal: Daun. Pembaca lekas diberi petunjuk oleh pengarang: “Daun adalah ayam petelur. Ia adalah ayam yang dirawat supaya terus menghasilkan telur. Sudah setahun lebih berlalu, sejak daun masuk ke ruang ternak ayam, terus bertelur setiap hari.”
Duka menjadi milik Daun. Ia tak pernah bisa keluar dari kandang. Daun mengimpikan bisa mengerami telur tapi majikan selalu mengambil telur-telur untuk kepentingan berbeda. Daun “kehilangan” telur, tak pernah mengetahui nasib-nasib telur setelah diambil majikan.
Daun pun “iri” dengan dunia di luar kandang. Di celah kadang, ia melihat dunia disangka indah. Kita mendapat pengalaman dan deskripsi: “Daun iri dengan dedaunan pohon akasia. Dau memicingkan matanya melihat dedaunan hijau-kekuningan yang tanpa disadari telah bertumbuh menjadi bunga mengharum.
Daun sudah menyadari kehadiran pohon akasia sejak hari pertamanya di ruang ternak ayam. Awalnya, Daun mengira pohon akasia hanya memiliki bunga. Namun, beberapa hari kemudian, bunga-bunga mulai berguguran meninggalkan dedaunan hijau. Dedaunan hijau terus bertahan hidup sampai akhir musim semi, sebelum akhirnya berubah menjadi kekuningan. Kemudian, ia juga berguguran dengan perlahan. Daun mengagumi dedaunan yang terus bertahan di bawah empasan angin dan terjangan hujan lebat, sampai akhirnya harus gugur setelah berubah menjadi kekuningan. Lalu, ia juga merasa kagum ketika melihat dedaunan hijau yang terlahir kembali pada musim semi tahun berikutnya.”
Tokoh bukan melulu memikirkan nasib diri. Ia mereferensikan pohon akasia.
Daun justru memahami takdir pohon akasia meski berjarak dengan kandang.
Amatan dan kesaksian memudahkan membuat pengertian hidup dan mati. Daun tak selalu benar dengan sangkaan-sangkaan. Ralat kadang dibuat agar pengenalan pohon, angin, hujan, dan tanah tak salah.
Pembaca mulai bingung: Daun mengartikan dedaunan. Daun itu binatang.
Daun menanggung iri janggal. Kita bermasalah dengan nama. Pengarang memberi paragraf meredakan dan menjawab ragu pembaca: “Daun iri dengan dedaunan pohon akasia, sehingga ia menamai dirinya sendiri dengan nama Daun.
Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu, hidupnya juga tidak seperti dedaunan pohon akasia. Namun, ia merasa nama itu cocok untuk dirinya. Ia merasa bagai tengah menjaga sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh dirinya.”
Cerita perlahan dinikmati pembaca dengan nama dan tata cara pembentukan nasib tokoh. Kita mula-mula mengenali binatang dan pohon. Dititian bacaan, kita sadar sedang mengenali manusia-manusia dalam selubung-selubung cerita. Daun itu nama puitis. Daun tak selesai mengisahkan diri. Ia memberi ruang pengisahan untuk pohon menampilkan dedaunan berwarna dalam hidup-mati.
Kita beralih memangku buku cerita terbuka berjudul Where the Mountain Meets the Moon (2010) gubahan Grace Lin. Novel berlatar Tiongkok. Sejak mula, kita bertemu manusia-manusia. Sosok terpenting bernama Minli. Gadis kecil hidup dalam keluarga miskin, tinggal di desa beribu prihatin. Pengarang membekali pembaca: “Minli tidak cokelat dan suram seperti segala sesuatu di desa. Dia berambut hitam berkilauan dan berpipi merona. Mata tajam yang selalu haus akan petualangan. Senyum sering tersungging di wajahnya.” Pembaca mungkin kagum dikenalkan sosok Minli, sebelum bergantian sedih dan girang mengikuti petualangan.
Pembaca belum sempat bertaruh tafsir, pengarang telanjur sodorkan kalimat-kalimat: “ Setiap kali melihat tingkahnya yang ceria dan sekehendak hati, orang-orang berpikir bahwa namanya, yang berarti ‘berpikiran sigap’, sangat cocok untuknya.” Nama telah diperoleh pembaca. Segala keterangan memastikan nama itu menjadikan cerita “terpegang”. Pembaca tanpa khawatir cerita berlepasan atau merucut.
Nama itu makin penting dengan lakon ibu (Ma): “Ma sering mendesah, wujud kekesalan yang biasanya ditemani kernyitan untuk baju mereka yang compang-camping, rumah mereka yang reyot atau makanan mereka yang seadanya. Minli tidak bisa mengingat satu waktu pun ketika Ma tidak mendesah.
Itu kerap membuatnya berandai-andai dirinya diberi nama yang bermakna emas atau kekayaan. Sebab, Minli dan orangtuanya seperti desa dan tanah di sekeliling mereka, sangat miskin.”
Nama melampaui pengisahan diri. Nama itu menguak nasib keluarga dan desa. Minli terbukti membuat petualangan bermula nama. Ia berani bertualang dipengaruhi kisah-kisah biasa dituturkan bapak (Ba) setiap makan malam. Cerita-cerita memberi kebahagiaan dalam keseharian bergelimang derita. Di hitungan waktu sejenak, cerita “menumpas” derita. Cerita selalu menakjubkan tentang gunung dan pohon: “Ba, ceritakanlah kepadaku tentang Gunung Nirbuah lagi.
Ceritakanlah lagi mengapa tidak ada tumbuhan yang hidup di sana.” Bapak biasa menggoda jika cerita itu berulang diberikan. Minili dipastikan merengek:
“Ceritakanlah lagi, Ba. Kumohon.”
Kita bersama buku-buku cerita: mengenali nama-nama mengesankan derita-derita untuk dirampungkan. Halaman-halaman di buku cerita membuat kita terus bergerak dalam jalinan ketegangan dan kejutan-kejutan. Bermula nama, pembaca mengenali manusia, binatang, pohon, dan lain-lain. Pembaca mengenal dan mengingat nama-nama. Sejak awal sampai akhir, nama menjadi pembuktian (keutuhan) cerita agar teringat dan “termiliki” sepanjang masa. Begitu.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com