Monday, January 13, 2025

Karya Guru | Cinta di Utara | Cerpen Siti Maria Ulfah

Cerpen Siti Maria Ulfah



Hujan turun, aku berdiri di dekat jendela, mengamati derasnya air hujan. Terendus khas aroma tanah kemarau. Aromanya menenangkan. Hidupku didikte usia hingga hujan tak lagi menjadi teman. Hujan membawaku pada perjalanan menyusuri lorong-lorong kenangan. Tiba-tiba bunyi ponselku menjerit tak karuan. Biarkan saja, kehadirannya sudah merenggut sebagian kedamaian hidupku. Anehnya tanganku lebih reflek dibandingkan otak dan sumsum tulang belakangku hingga kututup segala kenangan dan meninggalkan hujanku sendirian. Dengan berat hati kurapatkan jendela karena angin semakin besar membawa hujan masuk ke ruangan. 


“Aya, kamu mau yah besok mewakili aspirasi masyarakat menolak PIK dua,” ujar Aji. 


Aku terkejut dengan tawarannya lewat lubang-lubang kecil ponselku ini. Kalau tawarannya tahu bulat, langsung saja aku ambil, apalagi hujan begini. Aji memang memilih menjadi "budak" desa, sedangkan aku penikmat desa.


“Halo Gemini, apa dampak positif dan negatif pembangungan PIK Dua di Banten?” Tak sungkan-sungkan pertanyaan ini aku lontarkan pada AI Gemini. Sudah tiga bulan ini aku angkat menjadi sekretaris pribadiku, yang bisa kapan saja aku ganggu waktunya dan menjawab setiap pertanyaan dengan informasi yang cukup detail. Aku rebahkan badan beserta kaki-kakinya di atas ranjang. Kornea mata memandang atap-atap kamar dengan hangat yang menyajikan rumah pohon tempatku berkeluh kesah, dengan air selokan yang mengalir di bawahnya. Kadang pandanganku beralih pada aktivitas Ibu dan Bapak yang asyik berdua menanam padi dengan gaya mundurnya. Terkadang berhenti sejenak untuk mengusap keringat akibat terik matahari yang menyengat tajam menembus pertahanan topi rokok mereka. Dengan tegukan air mineral sedikit menyegarkan badan mereka untuk tetap berstamina. Mereka memang pasangan terpopuler bergengsi pada masanya.


“Astaga kompor belum aku matikan,” segera kuhentikan bayang-bayang kenangan. Berlari menuju dapur yang sedikit jauh dari kamarku. Air di teko mengering dan hampir membakar tuannya. Kepalaku berbelok ke kanan dan ke kiri, ternyata ada Bapak yang sedang asyik dengan kopi hitam dan cerutu yang hampir membakar tangan kanannya. Syukurlah aku bisa menyedu cokelat hangat yang hampir diserbu rombongan semut di atas cangkir bening pemberian Ibu. Aku aduk-aduk cokelat dengan sembilan adukan. Pikiranku masih terbelenggu tawaran Aji. Selama ini di usiaku yang setengah muda dan setengah dewasa belum ada kontribusi untuk desaku apalagi seluas Banten ini. Entahlah nyaliku tak sebesar "budak" desa itu.


Sebentar lagi akan ada panen raya. Panen raya selalu menjadi momen terindah para petani terkhususnya aku yang masih seatap dengan petani. Dulu masa kecilku hanya dihabiskan untuk bermain setelah pulang sekolah tentunya. Membuat rumah-rumahan kecil dari jerami, perang jerami bersama teman-teman kecilku, mencari jamur ditumpukan jerami yang sudah dibakar sebelum musim hujan datang untuk kemudian diolah kembali dan ditanam mundur. Pesta layangan dan goangan pascapanen raya, menjadi tontonan yang menyenangkan untuk anak-anak, ibu-ibu, dan semua usia kala itu. 


Hujan berhenti setelah membasahi tanah yang hampir dehidrasi.


Bladide kuuuy Noooook, bladiiid!” teriakan Mang Sarmin memang terdengar khas ditelingaku.


“Mang masih jualan bladid aja,” ujarku sambil mengorek-orek bladid Mang Sarmin di keronjong biru.  


“Kalo bukan Mang Sarmin, Nok gak bisa orek-orek bladid sampe berantakan begini,” aku terkeukeuh malu karena misiku bukan untuk membeli bladid, melainkan mencari klomang di kerumunan bladid


“Tapi kan Ibu membeli bladid, Mang,” sahutku yang tak mau kalah dengan serangan Mang Sarmin. Bukan Aya kalo gak bisa serang balik, hahaha. 


Mang Sarmin terlihat berbeda hari ini. Mukanya sedikit terlipat kaku. Biasanya langsung geguyon setelah seranganku yang mematikan lawan. Aku teringat ajakan Aji kepadaku, mungkin ini salah satu dampak rencana pembangunan PIK dua di Banten, membuat kecemasan para nelayan dan pedagang bladid seperti Mang Sarmin.  Ah ini tidak bisa dibiarkan, masyarakat harus berani menyuarakan keresahan dan kekhawatirannya. Dan aku harus berani menyuarakan aspirasi masyarakat kecil.


Tengah malam, aku masih bersama AI untuk berdiskusi mengenai dampak postif dan negatif dari PIK. PIK pertama menjadi kaca perbandinganku malam ini. Bagaimana kehidupan warga di sekitar PIK sebelum adanya PIK dan setelah adanya PIK di Jakarta. Jakarta memang terlihat kaya, apalagi para investor pemilik saham terbesar dan para pendatang yang memiliki banyak uang. Kesenjangan di Jakarta antara rakyat penghasilan menengah ke bawah dengan rakyat penghasilan menengah ke atas menjadi fokus utamaku malam ini. AI saja kesulitan menemukan persentase yang tepat mengenai kesenjangan penghasilan antara keduanya dengan berbagai alasan yang dipaparkannya. Tapi setidaknya ada beberapa studi dan laporan menunjukkan bahwa kesenjangan sosial di kawasan PIK merupakan masalah yang serius karena perbedaan yang mencolok antara kawasan elite di PIK dengan pemukiman warga di sekitarnya. Langsung saja aku berlari ke penelitian akademis, LSM, BPS, dan media massa.


Jarum jam sudah berlari di angka tiga, mata sepertinya sudah meminta haknya. Video YouTube yang mempertontonkan kawasan elite dan permukiman warga sekitar berhasil melobi mataku sekarang. Perumahan elite, bangunan menjulang tinggi, adanya jembatan penyeberangan yang menghubungkan dua sisi PIK 2, menengok ke  kawasan perdesaan yang sebagian jalan masih terperangkap genangan air karena saluran mampat, berlubang dan lain sebagainya. Padahal jalan itu penghubung antardesa dan jalan utama warga Salembaran Jati ke Muara di Kabupaten Tangerang (YouTube Harian Kompas). Aku lanjutkan pada berita Kompas oleh Fransiskus Wisnu Wardhana Dany yang memotret fenomena dua dunia dalam satu kawasan antara PIK 2 dengan warga Kampung Melayu Timur, Teluknaga, dan Desa Salembran, Kosambi di Tangerang. PIK dua dengan segala kemewahan, sedangkan warga sekitar mengeluhkan kondisinya yang terusir dari rumah sendiri sehingga kehilangan pekerjaannya (13/11/2024). 


Niatku semakin kuat dengan data dan informasi yang sudah aku dapat. Di gedung kecamatan, semua pihak berdatangan. Warga sepertinya antusias dan bergerak berdampingan. Namun, sangat mengejutkan gerbang dikunci rapat, padahal undangan sudah lebih dulu merapat dan dijamu dengan senyum para pejabat. Hari ini warga dikejutkan dengan kebisuan kantor pengaduan. Kekuatan petani dan nelayan tidak bisa diragukan, kekecewaan menguasai pikiran. Gerbang tinggi menjulang dengan mudah digulingkan. Semua warga masuk menerobos tak sudi membiarkan aspirasi terus terbungkam dan dipaksa diam. 


“Kau kira kami bodoh dan lemah. Keluar kau penghianat,” teriakanku semakin liar. Diikuti oleh semua warga. Ngiung ngiung ngiung, suara di balik mobil yang berderet memasuki lapangan. Dengan seragam hitam dan tameng di tangan. Berdiri seakan siap menerkam. Mengeluarkan gas air hingga kabur segala pandang. Pandanganku hilang, napasku mulai sesak, dada terasa berat, hingga badan bersandar pada rerumputan. Cahaya terang membuat mataku terbelalak. Wajah wanita tua tersenyum menutupi cahayanya. 


“Astaga, ini jam berapa?” 


Kaki beranjak dari tempat tidur dan bersiap-siap untuk menghadiri undangan itu. Ibuku bilang Aji sudah berangkat duluan, karena dia pikir aku memang sengaja ingin menghabiskan hari libur seperti biasanya, rebahan sampai matahari tepat di tengah-tengah. Aku lupa memberitahu Aji semalam karena sibuk mencari informasi ditambah lagi mimpi buruk menyerang lebih awal. 


Aku segera mengeluarkan kuda besiku dari kandang, berlari kencang tanpa hambatan. Akhirnya gedung putih dan pagar besi hitam sudah di depan mata. Tapi aneh, tidak kutemui siapa-siapa kecuali satpam. Mungkin acara sudah berlangsung di dalam. Sapaku pada Pak Satpam. Pandanganku beralih pada jarum jam yang masih berjalan tenang. Sepertinya saya datang terlalu siang, acaranya selesai. Aku enggan masuk ke dalam. Dan benar saja acaranya benar-benar sudah selesai satu jam yang lalu. Pak Satpam yang memberitahuku dengan menahan giginya yang hampir terpampang lebar. Dia memberiku secarik kertas, katanya tergeletak begitu saja digedung pertemuan. 


Tentangmu

Tentang kita

Tentang apa-apa yang tak lagi kita perdengarkan 


Tentangku

Tentangmu

Tentang jarit usang penuh lusuh

Penuh rebut jari tuk basuh keluh


Tentangmu 

Tentang kita

Tentang apa-apa dalam utara

Cinta kita tak terima paksa

Cinta kita bukan dongeng Juliet penuh romansa


Cinta di utara

Cintanya para petani pada sebiji padi

Cinta di utara

Cintanya para nelayan pada seutas jala

Hening rindunya adalah perang dan teriak perlawanan

Cinta di utara adalah tindak

Cinta di utara tidaklah cinta yang melulu diutarakan

Cinta kita penuh diam

Lalu belaiannya penghambatan


Kali ini cinta benar-benar tidak ditawar

Kami tawan segala obral


(Puisi Oki Khaeri Rojab, Singarajan 14 Desember 2024)



_________


Penulis


Siti Maria Ulfah lahir di Serang 20 Juni 1999. Kesibukan kesehariannya belajar bersama anak-anak usia dini di SDIT Ibadurrahman Ciruas yang insyaallah saleh dan salihah, membaca karakter anak-anak dan guru-guru yang random serta unique untuk diambil pelajarannya. Kesibukan terakhirnya menulis ke-random-an yang terjadi hari ini.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com 


This Is The Newest Post