Puisi Imam Budiman
Setengah Dekade Menjadi Juru Balagah
dan Ia Sangat Mencintai Pekerjaannya
semestinya, ia ditunjuk menjadi pemandu labirin anak-anak kalimat di kepala jemaat—yang paham
dan mengerti bagaimana muslihat bahasa bekerja.
makna tiada lahir dari kekosongan
maka terjadilah semacam fatwa kecil:
pertama:
isti’arah mencari alasan logis—dengan perangkat
alaqah dan qarinah dari tingkatan-tingkatan metafora
kedua:
tasybih pada mulanya beroperasi dengan empat rukun
yang utuh dan hilang ketika bermain menjadi simile
ketiga:
aqliy adalah kaifiat menghidupkan seisi kamar, segala yang disebut benda, dalam jurus terakhir personifikasi
ia selalu punya alasan untuk pergi lebih lekas ke ruang kelas, menciumi meja dan kursinya, untuk mengulas hal makna baris kitab suci—serta syair klasik sembilan ratus tahun silam. menyaksikan kata-kata menekuni kaidah
menyusun jisimnya menjadi keindahan yang lain.
dengan bahasa dan puisi— begitu penuh dirinya
ia selalu merasa terkoneksi dengan para penyair
—manusia-manusia luhung yang dicintai nabi.
dan ia merasa bahagia melihat jemaat tumbuh:
menjadi puisi yang membaca dirinya sendiri.
2024
Membeli Kesedihan
Ia manekin keseribu di pasar itu—yang kepalanya
copot di antara copet dan bau matahari. sejak kapan
sebuah toko menjual kesedihan, ketika segalanya
bisa menjadi komoditas dan layak dibanderol.
Apakah ikan-ikan pernah diajarkan
mencintai keranjang pelelangan.
Apakah sayuran sempat pamit
kepada tanah tempat dilahirkan.
Tetapi, air mata tak absah menjadi alat tukar.
Mungkin Ia masih bisa membeli langsung
dengan sepotong kesialan yang terampuni.
2024
Membaca Website
Kubirukan sebuah pranala dari dalam tubuhku
agar kau dapat mengakses kapan pun hal-hal lain
yang kusembunyikan selama ini. selama ini.
Sinyalmu stabil dengan paket bulanan, kautemui
di pojok kanan bawah pranala itu berupa perasaan
yang sudah kedaluarsa, buku-buku belum terbaca
atau langit yang tak berubah: selalu abu-abu.
Kunonaktifkan rubrik yang sengaja tak pernah terisi
dari sepenggal tubuhku yang tersisa. koneksi terputus.
Kau mungkin mengklik berulang kali dan hanya
muncul satu notifikasi yang menghubungkanmu
ke sumir masa lalu—sedang aku tak ada di situ.
2024
_______
Penulis
Imam Budiman, kelahiran Samarinda, Kalimantan Timur. Biografi singkat tentang dirinya termaktub dalam buku: Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017); Ensiklopedia Penulis Sastra Indonesia di Provinsi Banten (Kantor Bahasa Banten, 2020); dan Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930–2020 (Tahura Media, 2020).
Beberapa karyanya tersebar di berbagai media cetak nasional seperti: Tempo, Media Indonesia, Republika, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Nusa Bali, Majalah Sastra Kandaga, dll. Pemenang terbaik pertama dalam sayembara cerita pendek pada perhelatan Aruh Sastra 2015 dan Sabana Pustaka 2016.
Pada tahun 2017 mendapat Penghargaan Student Achievement Award, kategori buku sastra pilihan, dari Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta ia meraih beasiswa kuliah singkat Klinik Menulis Fiksi di Tempo Institute tahun 2018.
Buku kumpulan puisinya: Kampung Halaman (2016) serta Salik Dakaik; Mencari Anak dalam Kitab Suci (2023). Saat ini, mengabdikan diri sebagai Guru Bahasa dan Sastra Indonesia serta Ketua Tim Perpustakaan—Literasi Pesantren Madrasah Darus-Sunnah Jakarta.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com