Friday, January 17, 2025

Puisi-Puisi Imam Khoironi

Puisi Imam Khoironi



Balon Udara


Di negeri rimba

Bukit-bukit memasang pasak

Hutan berteriak meminta hujan

Di perbatasan

Perempuan berhenti dari perjalanan

Seusai melempar rindu

ke dasar jurang

di pangkal senja

Sambil meniupkan angin

Di daunan yang runtuh ke padang


Ia menulis stanza yang pada baris terakhir

Menghapus dirinya sendiri

Karena kaki-kakinya patah

tak kuat menyangga makna

Di kenafian itu

Ia enggan berjalan pulang


Ia memilih maju dan menembus

awan di daerah rawan

Meski senapan dilarang berbicara

Dan pekik luka di tanah perang

sudah berakhir


Setelah berkemas, ia setia menyaksikan

Waktu menghidupkan api

Karena setiap detik

Terbang dengan percuma

Di perbukitan berselimut mimpi

Di langit hampa penuh balon udara


Di sana, ia bertanya

Apakah mimpi bisa pulang

saat ia terjaga?

Di Cappadocia?


Bandar Lampung, Agustus 2022



Ramalan Cuaca


Ternyata, ada yang lebih buruk

Dari ramalan nasibku

Menurut pawang hujan

Badai akan melintas, karena

Di tempat ia lahir, politikus sedang berpesta


"Bagaimana bisa wakil Tuhan percaya padanya?"

Tapi menurut kalender, istriku ingin melahirkan

Jadi, aku mencoba beriman pada Affandi

badai tak mungkin mengerami angin

kamusnya tak semalas itu


“Lagipula ini mei, Jun”

Ucap istriku

Trotoar masih berdebu dari awal bulan

Ketika ia menggerakkan buruh-buruh

dan meninggalkan pekerjaan bagimu


Benar, tak ada ramalan cuaca

Bagi yang nasibnya seperti badai


Bandar Lampung, Oktober 2022



Belajar Membaca Engkau


Kuterima sabda yang tiba

Sebagai jawab dari jalan buntu

Pertanyaan yang lancar mengulur sulur

Apakah pada tiap-tiap malam

Matamu terpejam tanpa menikmatiku?


Lelapku hanya mengurai engkau

Menjadi serat-serat lembut

menuju kesadaran paling dalam

Mengikatnya menjadi simpul,

meruwatnya, lalu menebarnya di perigi tua


Ingatanmu memutarku di bangsal gelap

yang penuh jebakan

penuh kecewa

Salah langkah sekali kalah selamanya


Pernahkah kau bersaksi pada gaib yang raib?

Adakah hikayat turun temurun berkisah tentangnya?

Kau terlalu mustahil untuk mengurai tanya-tanya

Dan aku masygul menyemai jawabannya


Lampung, April 2022



Jika Aku Jadi Debu


Jika aku jadi debu, maka kau adalah angin

yang membawaku singgah

ke dedaunan

menerbangkan tubuhku

hingga berlabuh ke tembok geribik

menyimak percakapan ibu

yang sedang menenangkan perut bayinya

yang kelaparan 


Jika aku jadi debu, maka kau adalah jalanan

yang sibuk mengalirkan

pilu ke seluruh tubuh kota

meninabobokan aku setiap malam

meredam mimpi buruk

yang tiba-tiba datang


Jika aku jadi debu, maka kau adalah terik

yang mengobarkan nyala api

di kepala anak adam

melangsamkan denyut nadi dalam dadaku

menegasikan kematian yang buru-buru


Jika aku jadi debu, maka kau adalah tanah basah

tempatku pulang dan rebah

menerima ajal dengan tabah


Bandar Lampung, September 2023



Aku Dawam Padamu


Setelah dua puluh delapan ribu langkah

kita terbiasa

melantunkan lagu sendu

diiringi birama satu perempat

dalam daftar putar favorit

untuk memulai hari berkabung

Adakah cinta yang terpendam

di lubuk pilu, detak jantungmu?


Setelah sembilan ratus kali purnama

Setelah kapal-kapal melayari samudera

meriam-meriam memadamkan apinya

senapan memilih redam suara

Lagu sedih itu tetap diperdengarkan

kadang, anak-anak tanpa ragu

ikut riang menyanyikannya

Begitu pula mayat-mayat di selokan

yang tersumbat popok tanpa kain kafan


Setelah tiga puluh sembilan kemarau

angin yang singgah di pelabuhan hijrah

ke negeri jauh, mencari ujung dunia

tapi aku tetap di sini

Menikmati hujan, menghirup aroma daun kering

sesekali mendengarkan lagu sedih

yang diputar menjelang pesta


Setelah tigapuluh delapan titik perhentian

Aku pasrah dan mengamini segala doa

dari jalan-jalan yang panjang dan sunyi

dari rimbun pohon yang berselawat

menentang tumbang

dari padi-padi yang menolak tunduk

dari nyanyian yang bersandar pada air mata


Sebelum seabad kita bercengkrama

Ada hal dalam palung rinduku

Aku dawam padamu

pada duka-duka, luka-luka, yang riuh mengguruiku

Aku dawam padamu

pada terik-hujan, pada anyir-busuk bau kata-kata

Aku dawam padamu

pada fajar dan senja, pada pantai dan lanskapnya.

Aku dawam padamu


Bandar Lampung, Agustus 2023



________

Penulis


Imam Khoironi, lahir di Desa Cintamulya, 18 Februari 2000. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Raden Intan Lampung. Pemenang 3 Duta Bahasa Provinsi Lampung 2024. Suka nulis puisi, kadang-kadang cerpen, juga esai. 


Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019). Karya-karyanya pernah dimuat di pelbagai media online dan cetak. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam beberapa buku antologi puisi bersama.


Ia bisa disapa melalui laman Facebook : Imam Imron Khoironi, Youtube channel: Imron Aksa, Ig : @ronny.imam07 atau sila kunjungi www.duniakataimronaka.blogspot.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com