Puisi Imam Khoironi
Balon Udara
Di negeri rimba
Bukit-bukit memasang pasak
Hutan berteriak meminta hujan
Di perbatasan
Perempuan berhenti dari perjalanan
Seusai melempar rindu
ke dasar jurang
di pangkal senja
Sambil meniupkan angin
Di daunan yang runtuh ke padang
Ia menulis stanza yang pada baris terakhir
Menghapus dirinya sendiri
Karena kaki-kakinya patah
tak kuat menyangga makna
Di kenafian itu
Ia enggan berjalan pulang
Ia memilih maju dan menembus
awan di daerah rawan
Meski senapan dilarang berbicara
Dan pekik luka di tanah perang
sudah berakhir
Setelah berkemas, ia setia menyaksikan
Waktu menghidupkan api
Karena setiap detik
Terbang dengan percuma
Di perbukitan berselimut mimpi
Di langit hampa penuh balon udara
Di sana, ia bertanya
Apakah mimpi bisa pulang
saat ia terjaga?
Di Cappadocia?
Bandar Lampung, Agustus 2022
Ramalan Cuaca
Ternyata, ada yang lebih buruk
Dari ramalan nasibku
Menurut pawang hujan
Badai akan melintas, karena
Di tempat ia lahir, politikus sedang berpesta
"Bagaimana bisa wakil Tuhan percaya padanya?"
Tapi menurut kalender, istriku ingin melahirkan
Jadi, aku mencoba beriman pada Affandi
badai tak mungkin mengerami angin
kamusnya tak semalas itu
“Lagipula ini mei, Jun”
Ucap istriku
Trotoar masih berdebu dari awal bulan
Ketika ia menggerakkan buruh-buruh
dan meninggalkan pekerjaan bagimu
Benar, tak ada ramalan cuaca
Bagi yang nasibnya seperti badai
Bandar Lampung, Oktober 2022
Belajar Membaca Engkau
Kuterima sabda yang tiba
Sebagai jawab dari jalan buntu
Pertanyaan yang lancar mengulur sulur
Apakah pada tiap-tiap malam
Matamu terpejam tanpa menikmatiku?
Lelapku hanya mengurai engkau
Menjadi serat-serat lembut
menuju kesadaran paling dalam
Mengikatnya menjadi simpul,
meruwatnya, lalu menebarnya di perigi tua
Ingatanmu memutarku di bangsal gelap
yang penuh jebakan
penuh kecewa
Salah langkah sekali kalah selamanya
Pernahkah kau bersaksi pada gaib yang raib?
Adakah hikayat turun temurun berkisah tentangnya?
Kau terlalu mustahil untuk mengurai tanya-tanya
Dan aku masygul menyemai jawabannya
Lampung, April 2022
Jika Aku Jadi Debu
Jika aku jadi debu, maka kau adalah angin
yang membawaku singgah
ke dedaunan
menerbangkan tubuhku
hingga berlabuh ke tembok geribik
menyimak percakapan ibu
yang sedang menenangkan perut bayinya
yang kelaparan
Jika aku jadi debu, maka kau adalah jalanan
yang sibuk mengalirkan
pilu ke seluruh tubuh kota
meninabobokan aku setiap malam
meredam mimpi buruk
yang tiba-tiba datang
Jika aku jadi debu, maka kau adalah terik
yang mengobarkan nyala api
di kepala anak adam
melangsamkan denyut nadi dalam dadaku
menegasikan kematian yang buru-buru
Jika aku jadi debu, maka kau adalah tanah basah
tempatku pulang dan rebah
menerima ajal dengan tabah
Bandar Lampung, September 2023
Aku Dawam Padamu
Setelah dua puluh delapan ribu langkah
kita terbiasa
melantunkan lagu sendu
diiringi birama satu perempat
dalam daftar putar favorit
untuk memulai hari berkabung
Adakah cinta yang terpendam
di lubuk pilu, detak jantungmu?
Setelah sembilan ratus kali purnama
Setelah kapal-kapal melayari samudera
meriam-meriam memadamkan apinya
senapan memilih redam suara
Lagu sedih itu tetap diperdengarkan
kadang, anak-anak tanpa ragu
ikut riang menyanyikannya
Begitu pula mayat-mayat di selokan
yang tersumbat popok tanpa kain kafan
Setelah tiga puluh sembilan kemarau
angin yang singgah di pelabuhan hijrah
ke negeri jauh, mencari ujung dunia
tapi aku tetap di sini
Menikmati hujan, menghirup aroma daun kering
sesekali mendengarkan lagu sedih
yang diputar menjelang pesta
Setelah tigapuluh delapan titik perhentian
Aku pasrah dan mengamini segala doa
dari jalan-jalan yang panjang dan sunyi
dari rimbun pohon yang berselawat
menentang tumbang
dari padi-padi yang menolak tunduk
dari nyanyian yang bersandar pada air mata
Sebelum seabad kita bercengkrama
Ada hal dalam palung rinduku
Aku dawam padamu
pada duka-duka, luka-luka, yang riuh mengguruiku
Aku dawam padamu
pada terik-hujan, pada anyir-busuk bau kata-kata
Aku dawam padamu
pada fajar dan senja, pada pantai dan lanskapnya.
Aku dawam padamu
Bandar Lampung, Agustus 2023
________
Penulis
Imam Khoironi, lahir di Desa Cintamulya, 18 Februari 2000. Mahasiswa S-1 Pendidikan Bahasa Inggris UIN Raden Intan Lampung. Pemenang 3 Duta Bahasa Provinsi Lampung 2024. Suka nulis puisi, kadang-kadang cerpen, juga esai.
Buku puisinya berjudul Denting Jam Dinding (2019). Karya-karyanya pernah dimuat di pelbagai media online dan cetak. Puisi-puisinya juga terhimpun dalam beberapa buku antologi puisi bersama.
Ia bisa disapa melalui laman Facebook : Imam Imron Khoironi, Youtube channel: Imron Aksa, Ig : @ronny.imam07 atau sila kunjungi www.duniakataimronaka.blogspot.com.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com