Friday, February 14, 2025

Cerpen Dede Soepriatna | Bahkan Tuhan Tersenyum Saat Kau Tertidur

Cerpen Dede Soepriatna



Aku tahu kau sedang merasa lelah, Nyi. Tapi bisakah kita mengulang hari kemarin sekali lagi? Kau bilang saat usia kita sudah cukup dewasa untuk melakukan hal-hal di luar nalar, itulah kesempatan untuk mengubah takdir. Kau bilang akan banyak waktu untuk saling memahami dan mengasingkan diri. Dan aku percaya, Nyi. Segala sesuatu itu bisa saja terjadi.


Aku tidak tahu harus memulai percakapan ini dari mana, Nyi. Diammu saat ini benar-benar membuat perasaanku membuncah. Sejujurnya aku juga tidak ingin kau terlalu bising oleh kata-kata. Tapi untuk kali ini, izinkan aku memulai cerita ini dengan apa adanya. Halnya kisah-kisah singkat yang kerap kau ucapkan menjelang tidur. Meski mungkin kau malas untuk mendengar, tapi biarlah cerita ini mengudara sampai ke langit.


Bocah itu memang tidak terlalu istimewa, Nyi. Bulu matanya lentik. Bibirnya mungil dan tipis. Orang-orang bilang bocah itu sangat mirip denganmu. Sejujurnya aku cukup kecewa karena pada akhirnya aku kalah dalam hal kemiripan. Tapi sekarang aku paham mengapa Tuhan menciptakan wajahnya serupa denganmu. Semua itu pasti ada hikmat yang tersembunyi.


Penantian kita selama dua puluh tahun tentu bukan waktu yang singkat, Nyi. Mungkin jika diibaratkan sebuah pohon sudah menjulang dan berdaun rimbun. Aku sangat bersyukur karena kau tidak pernah merasa lelah untuk menunggu. Kau begitu sabar dan telaten. Meski kadang kala aku melihatmu terisak di sepertiga malam dengan lantunan doa yang menyayat perasaan. Kadang saat-saat seperti itu aku hanya bisa terenyuh sambil berpikir bahwa aku telah gagal menjadi seorang suami.


Kata orang, kita sudah tidak punya kesempatan untuk memiliki keturunan, Nyi. Setelah masa perkawinan yang begitu panjang dan melelahkan. Aku pun berpikir demikian. Tapi kau selalu menyangkal dan percaya sebuah keajaiban bisa datang kepada siapa saja. Dalam keputusasaan di dalam hati yang paling dalam, masih kusimpan juga harapan-harapan itu. Sorot mata beningmu banyak sekali memancarkan harapan. Untuk itu aku berusaha untuk meyakininya.


“Tuhan hanya ingin tahu seberapa lama kita bisa bersabar!” ucapmu di suatu malam ketika tubuh kita sudah sama-sama terbaring di atas tempat tidur.


“Memang harus berapa lama?” sahutku kemudian. Seketika itu kau menoleh.


“Mungkin sampai kau merasa bosan!” jawabmu sedikit menggoda. Tapi aku tahu bahwa saat itu kau tidak sedang bercanda.


Kau pernah mengatakan hal itu jauh di tahun-tahun sebelumnya. Ketika aku yakin rasa lelah dan pusing mulai menghampirimu. Kau bilang kau telah gagal memberi kebahagiaan sehingga kau memintaku untuk mencari perempuan lain dan melanjutkan hidup dengan takdir yang berbeda. Tentu aku merasa sangat marah ketika itu, Nyi. Karena kau adalah sumber kebahagiaan dan tiada sesiapa pun bisa menggantikanmu.


Nyi, bocah itu memang tidak terlalu istimewa jika dibandingkan denganmu. Hanya matanya saja yang begitu jernih. Sejernih tatapan dan harapanmu yang akan sulit kutemukan lagi. Tatapan ketulusan yang sama ketika kau mendengar perkataan dokter bahwa kau sedang mengandung. Aku nyaris tenggelam dalam bola matamu, Nyi. Air yang menggenang di kelopak matamu tumpah membasahi pipi yang keriput. Kau memelukku sangat erat hingga aku kesulitan untuk bernapas. Namun pada saat itu juga aku merasa telah menjadi seorang pria seutuhnya.


Akhirnya penantian panjang kita telah Tuhan kabulkan. Kau begitu antusias dengan janin yang ada di dalam perutmu ketika itu. Hingga setiap waktu tak henti-hentinya kau berucap rasa syukur dan mengelus perutmu yang mulai hidup. Kau sangat menjaga pola makan dan gerakan. Setiap pagi kau pun berjemur di bawah matahari yang masih hangat. Sambil bersenandung kau usap perutmu diiringi senyuman yang tak pernah surut. Dari kejauhan aku hanya bisa memandangmu dengan perasaan yang begitu takjub.


Namun, kita memang hanya dua orang dewasa yang tidak tahu apa-apa, Nyi. Di tengah kegembiraan yang kita rayakan justru ketakutan mulai muncul dalam diri kita masing-masing. Saat usiamu menginjak setengah abad, dokter bilang kehamilan menjadi sangat berisiko. Mungkin saja bayi itu akan lahir secara prematur. Atau lebih buruk lagi janin itu tidak akan berkembang secara normal sehingga kau bisa mengalami keguguran. Dan masih banyak lagi ketakutan-ketakutan kita yang lain yang kian menjadi-jadi.


“Aku akan berusaha membuatnya tetap hidup dan lahir dengan selamat!” tegasmu.


Perlahan aku mendekat seraya mengelus perutmu yang mulai membesar. Dalam diamku, aku mencoba mengaminkan segala doa yang kau panjat meski banyak sekali ketakutan yang menjalar ke seluruh tubuh.


“Tidak usah memikirkan hal-hal buruk, sebaiknya kita fokus untuk mempersiapkan kelahirannya. Kalau aku tidak salah hitung, sepertinya tinggal dua puluh minggu lagi. Kita belum beli baju, gendongan, gurita, bedak bayi, minyak telon, popok dan ah… masih banyak lagi!” ucapmu penuh semangat.


Kau tampak berapi-api ketika itu. Tapi aku tahu kau hanya sedang menyembunyikan luka dalam senyumanmu, Nyi.


Saat perutmu mulai membesar dan bocah itu makin aktif bergerak, sering kali aku melihat wajahmu dipenuhi rasa nyeri. Meski aku sering bertanya dengan kata kenapa kau selalu menjawabnya dengan gelengan kepala. Tapi aku tahu, Nyi, kau menyembunyikan sesuatu dan kau bukan orang yang pandai berbohong.


“Hanya sedikit keram. Tidak apa-apa, mungkin memang seperti ini rasanya mengandung!” kau berusaha menutupi kebenaran.


Lalu entah kenapa tiba-tiba kau melaung di atas tempat tidur. Aku yang sudah siap untuk pergi mengajar di hari Senin seketika berbalik badan dan bergegas menemui asal suara. Aku mendengar kesakitanmu, Nyi. Bersamaan dengan suara petir di langit membuat tubuhku terasa terombang-ambing penuh kecemasan. Kau kembali menjerit sekuat daya. Dalam kepanikan itu aku hanya bisa merapal nama Tuhan dalam hati meski badan ikut terasa nyeri. Rasa panik dan takut melebur menjadi satu. Aku berlari minta pertolongan dan segera membawamu ke rumah sakit di tengah guyuran hujan yang lebat. Langit seakan ikut berduka atas apa yang kau alami.


Kepalaku berdenyut-denyut, Nyi. Di balik pintu ruangan operasi aku berdoa tanpa henti. Aku berusaha mengintip melalui celah jendela dan berharap kau baik-baik saja di dalam sana. Sesekali aku melihat ke arah jam dinding, meminta supaya waktu berjalan lebih cepat agar aku bisa memastikan keadaanmu. Namun, setelah tiga jam waktu berlalu aku tak kunjung mendapat kabar.


Aku tahu kau merasa sangat lelah hingga akhirnya kau memilih untuk tertidur, Nyi. Tapi percayalah Tuhan sedang tersenyum karena kau berhasil melahirkan bocah itu dengan selamat. Dan seperti harapanmu sejak dulu, bocah itu lahir sebagai perempuan yang begitu cantik. Dalam genangan air mata aku melihat tubuhmu terkulai di atas tempat tidur dengan darah yang tiada henti mengalir.


Nyi, bocah itu lahir dengan mata yang begitu bening. Kini dalam duka atas kepergianmu, hanya sepasang bola mata itu yang membuatku sedikit lebih baik. Karena di sana, aku menemukanmu, Nyi. 


_______

Penulis


Dede Soepriatna lahir di Bogor. Saat ini bekerja dan tinggal di Bintaro. Karyanya tersebar di media cetak dan media online. Bergabung di Komunitas Pembatas Buku Jakarta.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com