Friday, February 7, 2025

Cerpen Heri Haliling | Balada Negeri Sine Qua Non

 Cerpen Heri Haliling


Tiga hari usai badai jamur api itu membumbung ke langit dan mengendap di stratosfer, udara susut ke titik terendah. Kelabu jelaga menjelma halimun mematikan kungkung Negeri Sine Qua Non. Sawung merangkak membuka puing kekalahan. Sesak jelaga kontan remas paru-parunya. Ia tongakkan kepala. Semua rata luluh lantak sejak getaran dahsyat yang mengandung zat radioaktif itu hancurkan bangunan kota. Sawung menyemai wajah tirusnya.


Di bawahnya, sang teman diam tanpa aksara. Terduduk bersandar beton berlumut dengan aroma busuk bangkai-bangkai sahabatnya. Sang teman menatap kaki kanannya yang buntung sebatas lutut. Masih ada serpihan besi atau kaca di dalamnya. Belum rampung dia cabuti serpihan itu sejak negara adidaya tekan picu yang lengkap dengan layar koordinat. 


Sawung turun dari pantauannya. Sebuah baju kebanggaan masih Sawung kenakan. Seselempang laras panjang serbu tipe Ak-47 ia sibakkan ke belakang. Sawung berjongkok.


"Hulu nuklir itu membuat negeri neraka untuk kita. Cih!" Sawung buang ludahnya. "Licik!"


Sawung merangkak dengan tubuh yang tak kalah luka bakaran. Mendekati jeriken air persediaan. Tinggal setengah. Ia cecap seteguk dengan pikiran menyumpah kepada penguasa adidaya yang tentu masih pesta akan kemenangannya. Manakala dirinya dan sahabat meminum air bercampur mikrobesi, pasti di sana mereka tertawa dengan wine-nya.


"Berapa lama?" tanya sang teman.


"Tambora meleburkan abu dan hancurkan setengah peradaban perlu setahun untuk Tuhan sinarkan panas. Aku yakin untuk benda terkutuk ini perlu satu sampai dua dekade."


Sang teman kembali beku. Udara dalam lorong bertambah sesak. Berapa kali Sawung harus menarik hawa itu dengan mulutnya. Lampu senter ia gunakan meski yakin bahwa ini siang.  Ia berjalan menyorot sekitaran menginjak sepleton teman yang gugur tanpa wibawa perang. Sumpah gerilya dari mereka semenjak pertama masuk akademi ialah rela mati di tangan musuh ketimbang binasa tanpa perlawanan. Kini apakah jiwa-jiwa mereka tenteram? Tak mungkin. Harga diri telah jatuh.


Kejadian begitu cepat saat mereka menjaga lingkungan perbatasan. Kabar siaga dari sang Pemimpin beredar. Semua sigap dalam posisi penjagaan. Tapi bedebah di sana gunakan cara pemusnahan massal. Sawung menggeretakkan giginya.


Sekejap mata Sawung melihat sesuatu bergerak. Seekor tikus dalam pendaran lampu. Tak ada hal yang bisa dimakan dalam radius pemusnahan begini. Perutnya sejak dua hari lalu mulai ia biasakan memakan daging tikus di sana. Pikir Sawung sungguh tak akan tega jika nanti sekerat demi sekerat daging sahabatnya yang harus ia santap. Sawung enyahkan itu dan kembali fokus pada buruannya.


Tak lama Sawung kembali menghampiri sang teman. Tangan kirinya menenteng kisaran lima ekor tikus besar. 


"Hanya ini yang ada. Naluri tikus itu tajam, Kawan. Dia sangat peka dengan udara. Kondisi sialan begini pasti insting mereka tak akan mau naik permukaan. Tikus akan bertahan dalam reruntuhan. Minum air yang mereka yakini tak mengandung bijih besi. Tikus hewan pintar. Kita hanya harus bertaruh tentang virus pes yang mendera di antara mereka," jelas Sawung sambil menguliti tikus dengan belati.


Sang teman terbatuk-batuk dalam pendar cahaya senter. 


"Aku tak sanggup lagi. Sungguh, Sawung!"


"Bukan begitu janji prajurit, Saudaraku!"


Sang teman tiba-tiba merangsek untuk merebut sangkur milik Sawung. Dengan refleks Sawung berkelit.


"Jangan jadi pecundang negeri, Saudaraku!"


"Cukup semua instruksi itu, Sawung. Tak akan ada mendali untuk ini. Biarkan sangkur itu menikam jantungku. Setidaknya aku bebas segera!"


Sawung merasakan kekacauan batin sahabatnya. Tapi satu hal yang ia teguhkan bahwa darah pejuang tak akan ternilai dengan harga. Darah pejuang melebihi darah biru. Darah pejuang adalah sejarah. Bagaimanapun Sawung tak akan lakukan teori putus asa. Dirinya bukan bagian dari budaya bermata sipit itu yang anggap bunuh diri sebagai ketaatan dan penghormatan.


"Kau punya keluarga?"


"Jangan tanyakan itu. Kumohon" jawabnya lirih dengan erangan. 


Meski kecil kemungkinan, Sawung tetap mencoba memberi tahu bahwa masih ada yang menunggu dari puing-puing reruntuhan yang lain. Evakuasi akan segera datang dan entah bagaimana mereka akan selamat. Sugesti positif itulah yang menjadikan dirinya tetap terkontrol.


Batuk-batuk kian menggila. Luka bakar tubuh Sawung terasa berdenyutan meski sebaian telah diperban. Tak mau berlama-lama dalam menikmati kebekuan yang mencekik, Sawung langsung membuat api untuk memanggang buruannya.


***


Pusat pemerintahan Negeri Sine Qua Non berkabung. Dari bangunan kokoh yang memang dipersiapkan sebagai tudung jikalau terjadi agresi demikian, Sang Pimpinan gusar. Beberapa jenderal yang hadir telah menjelma bagai penasihat. Mereka melawan ketegasan dan kekokohan sikap lalu melunak untuk memperoleh keyakinan seseorang.


"Ini dosa turunanku! Seharusnya aku tak bersembunyi di sini. Biarkan aku keluar bersama rakyatku. Bagai memakan daging saudaranya, sampai detik ini kalian malah menyiksaku!" 


"Kami mohon. Sekarang adalah masa di mana kita mendiskusikan siasat, Pak. Keluar dan berputus asa  merupakan hal yang sejak berhari-hari lalu mereka tunggu," kata satu jenderal berperawakan tegap dengan cambang kumis tebal lengkap bersama pakaian penuh bintang.


Sang Pimpinan berjalan menuju jendela kaca. Dari matanya yang kering dan nanar ia saksikan kepulan asap di mana-mana menyelimuti semua tempat. Radio aktif akan menebar kematian jangka menengah melaui anomali sel dalam tubuh manusia. Negeri Sine Qua Non tak lama lagi akan panen kanker tanpa perhitungan usia dan apa-apa yang dikenainya. Hatinya makin berantakan  manakala membayangkan pulau dengan titik jatuhnya nuklir. 


Perasaan sesal mendalam mengutuki jiwa Sang Pimpinan.


"Aku ingin kau lakukan evakuasi kali ini."


Jenderal tersebut maju menghadap.


"Dengan segala hormat, Pak. Kami telah susuri pulau itu lewat udara.  Semua rata tanpa sisa. Jika kita kerahkan pasukan darat, semua hanya akan jadi tumbal belaka. Pulau itu tak memungkinkan untuk orang berlindung. Listrik putus. Sungai menghitam. Radiasi di sana lebih kuat bahkan untuk sembunyi di bawah tanah."


Sang Pimpinan berbalik. Sekarang ia tatap jenderal gagah itu.


"Jika pasukanmu berat untuk ke sana, detik ini juga aku yang akan pergi!"


Semua jenderal berpandangan. Melalui taktik yang telah lama mereka pelajari, kenekatan sebuah sikap meski dengan alasan diplomatis tetap dinilai sebagai sebuah ancaman. Dalam sebuah kode anggukan, dua jenderal maju.


Staf kepemimpinan yang menjadi pengawal sigap menghadang.


Dor! Dor! Dor! 


Tiga tembakan terukur dari sepucuk baretta militer membungkam langkah pengawal tersebut.


Sang Pimpinan terperanjat. 


"Kalian lakukan kudeta dalam situasi ini!"


"Maafkan kami, Pak. Tak akan kami biarkan Anda tetap pada prinsip itu. Semua yang tersisa butuh arahan Anda. Sekarang yang bisa kami lakukan adalah mengamankan Anda!" tegas jenderal.


Sang Pimpinan terduduk lunglai memegang kepalanya. Penjajahan telah terjadi di depan mata. Kebobrokan keputusan yang berakibat candu dengan alasan pembangunan. Semua terjadi begitu cepat meski prosesnya berpuluh-puluh dekade.


Inilah yang dikhawatirkan para pengkritik itu. Jaminan pangkalan militer musuh dibangun di satu pulau sebagai kontrak cicilan utang merupakan petaka yang nyata. Sepertinya arogansi tanpa perlu nasihat diperlukan lalu-lalu. Seharusnya bukit batu penghasil uranium itu dikelola oleh bangsa sendiri bukan sebagai bahan jarahan atau jatah negeri adidaya. Berani berdiri di hadapan mereka dengan tegakkan dagu itulah yang dulu diperlukan. Agaknya benar kata para tua berkepala licin dan baju putih tempo dulu. Permainan black market harus terlaksana. Tak peduli segala tekanan dari para penggugat diplomat. Nyatanya semua sekarang sama saja. Ketersinggungan sipil berujung pada retaknya hubungan. Sejatinya bankir dengan anak cucunya harus dimuliakan sementara pengutang harus menyadari bahwa kasta terendah itulah statusnya. 


Sang Pimpinan memukul kepalanya sendiri. Setelah peristiwa besar ini apakah yang akan diperbuat sekutu Negeri Sine Qua Non? Memberikan bantuan pastinya, sambil menyeduh kopi di depan televisi. Sudah jelas dalam rapat besar semua negara itu adalah keindipendenan dengan berasas nasionalis. Tak akan bergerak kecuali negaranya turut jadi bagian yang terdampak. Kepedulian adalah bumbu manis dalam simpatik jabat tangan lalu bantuan untuk penanganan. 


***


Di luar hujan timbal tengah berlangsung. Derunya sungguh aneh sambil sesekali berjatuhan nyaring seperti kerikil terempas.  Warna cairan hujan itu hitam pekat dan merembes dari celah puing-puing di atas. Manakala cairan kimia itu jatuh ke bawah, bau zat menyengat langsung menyelinap lubang hidung. Setetes cairan lolos dan membasahi kulit Sawung. Terasa gatal dan lama-lama panas. Dari sandarannya ia beringsut untuk berpindah.


"Aku sungguh akan bertahan dan berkumpul dengan keluargaku, kawan. Sudah banyak baktiku untuk negeri ini. Penjemputan pasti datang. Saat itu akan kusambut mereka dengan tegak hormatku."


Uraian senyum masih tersungging dalam wajah Sawung yang kering. Tergeletak jeriken yang telah kosong. Dehidrasi mulai menjalar sampai ke otot-ototnya. Sawung menatap sadar dengan anggukan dan kini tertawa. Di sampingnya, jasad sang teman yang buntung kaki itu telah tergeletak sejak nuklir dijatuhkan.  


***


"Tuan Pimpinan, kami memperoleh sambungan dari Negeri Alfa," kata satu jenderal setengah berlari.


"Katakan kabar baik untukku."


Jenderal lepaskan salam hormatnya.


"Mereka akan kirim bantuan dari musim dingin mematikan ini. Hanya saja..."


"Tegaslah jenderal!" hardik jenderal lainnya.


"Siap! Tiga bulan dari sekarang!"


______

Penulis

                                

Heri Haliling, merupakan nama pena dari Heri Surahman seorang guru di SMAN 2 Jorong. Lahir di Kapuas, 17 Agustus 1990 karya-karya  yang telah ia telurkan antara lain novelet Rumah Remah Remang (J-Maestro, 2024), novel Perempuan Penjemput Subuh (Juara 2 Sayembara Novel Guru dan Dosen; Aksara Pustaka Media, 2024).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com