Cerpen Muhammad Ilfan Zulfani
Bakwan, pisang, sukun, ubi, tahu isi, risoles, tempe, cireng, sesekali cempedak jika sedang musim, demikian yang dijual Siboi di sebuah pertigaan jalan. Jangan membayangkan jalan raya atau jalan utama, pertigaan itu ada di pemukiman dekat pusat kota.
Sembilan belas tahun usianya saat pertama kali berjualan gorengan, meneruskan bapaknya yang tewas di sebuah kecelakaan yang melibatkan satu tiang listrik dan satu truk peti kemas. Jam dua dini hari, Siboi sudah di pasar untuk membeli tepung terigu, minyak goreng, sayuran, dan apa saja yang akan ia masak hari itu. Ibunya yang sudah tua hanya bisa membantunya menyiapkan di rumah. Itu pun hanya sekadarnya. Di jam-jam itu, adik-adiknya masih tidur, baru bangun sekitar pukul lima lalu bersiap pergi ke sekolah.
Sebelum salat Subuh, Siboi sudah mendorong gerobaknya ke pertigaan jalan itu. Menata-nata barang bawaan, menyalakan kompor, menuang minyak dan menunggunya sampai panas, lantas dilakukan proses goreng-menggoreng. Ia hanya berhenti sebentar saat azan Subuh berkumandang, pergi ke langgar tak jauh dari situ, lalu lanjut lagi memasak. Pagi-pagi itu peluhnya dari pelipis sudah menetes padahal langit masih menyimpan sisa malam. Jam lima lewat tiga puluh menit, penduduk sekitar sudah bisa menyantap gurih kriuk berbagai jajanan yang digoreng.
“Boi, gorengan lima! Campur!” Seorang bapak-bapak berbaju koko, bawahan sarung, dan berpeci adalah pembeli pertamanya di hari itu.
Dengan tangkas, Siboi mengambil apa saja menu yang sudah tersedia, meletakkannya ke kertas bekas yang disulap menjadi bungkus, lalu menyerahkannya.
“Berapa?”
“Buat Pak Haji Ibur, tiga ratus lah.”
“Halah. Kan emang harganya segitu!”
Mereka berdua sama-sama tertawa. Haji Ibur tak membawa pulang yang dibelinya. Ia duduk di kursi tak jauh dari situ yang memang disediakan Siboi.
“Gimana ibu lu? Sehat?” ujarnya sambil mengunyah ubi goreng yang masih agak panas.
“Sehat, Pak Haji. Masih lincah. Itu paling lagi marah-marahin adik saya yang letoy, malas-malasan pergi ke sekolah.”
"Oh...."
“Itu mobil, udah kejual, Pak Haji?” Siboi melanjutkan percakapan.
“Belum ada yang cocok nih.”
“Emang mau dijual berapa?”
“Tiga puluh juta.”
“Orang-orang pada nawar berapa?”
“Paling tinggi dua puluh. Mana bisa kita jual segitu.”
“Kalau tiga puluh perak, saya sih punya Pak Haji.”
“Tiga puluh perak pala lu bau menyan, mahalan juga gorengan elu!”
Lalu mereka sama-sama tertawa.
Sepuluh menit Haji Ibur di situ sambil mengobrol dengan Siboi. Pembeli lain mulai berdatangan. Gorengan Siboi adalah salah satu menu utama orang-orang di pinggiran kota itu untuk sarapan. Lebih tepatnya sarapan kecil sebelum memakan sarapan yang lebih “serius”.
***
Lima belas tahun berlalu. Usia Siboi sekarang tiga puluh empat. Kawasan pinggiran itu sudah cukup banyak berubah. Ada minimarket yang dibangun di seberang tempat Siboi berjualan. Sejumlah rumah direnovasi menjadi bangunan yang lebih besar dan lebih tinggi. Rumah-rumah itu sebagian besarnya beralih fungsi menjadi indekos bagi para pekerja dan mahasiswa (ada sekolah tinggi yang baru dibangun di pinggir jalan raya, juga beberapa kantor). Pinggiran kota itu, dan sebagaimana sudut-sudut kota lainnya, menjadi lebih padat. Jalan pemukiman itu pun sekarang sudah diaspal dengan lebih baik karena motor dan mobil sudah banyak yang melewatinya.
Siboi masih berjualan dan masih suka mengobrol dengan pembelinya. Ia juga tetaplah tokoh penting di kawasan itu, selain sebagai tukang gorengan yang bisa membantu perut menunda lapar selama satu sampai dua jam, ia juga sebagai orang yang ditanya-tanyai jika penduduk hendak tahu sesuatu. Misalnya kabar apakah Tuan Suni sudah kawin lagi, apakah tiga ayam kampung Bu Ijah yang hilang sudah ketemu, atau darimana Daniel –yang jarang sekali keluar kamar kosnya– bisa membeli motor dan kulkas baru padahal tidak pernah kelihatan bekerja.
Jam enam setengah lewat, di pagi itu, seorang perempuan muda yang sepertinya baru lulus kuliah menyinggahkan motornya di dekat gerobak Siboi.
“Eeeeh, Eneng. Mau ke mana?”
“Kerja, Bang.”
“Wih, sudah kerja sekarang?”
“Iya, Bang.”
“Wih, kerja di mana?”
“Guru, Bang.”
“Wih, guru apa?”
“Guru olahraga.”
“Ah masa. Pakaiannya kok seragam dinas begini. Rapi amat. Dulu guru olahraga Abang waktu SMP, pakaiannya training! Eneng ngajar Matematika kali?”
“Tetap wajib pakai seragam dinas, Bang. Hari ini kan upacara. Nanti habis itu baru ganti training.”
"Oh...."
“Eh, mau beli apa nih. Maaf saya malah ngajak ngobrol.”
“Enggak apa-apa, Bang. Saya enggak buru-buru. Eem.. beli gorengan lima. Pisangnya tiga, bakwan dua. Berapa jadinya tuh?”
“Dua ribu lima ratus lah buat Eneng yang cantik, idaman juragan.”
“Kan emang harganya segitu, Bang,” ujar perempuan itu dengan senyum malu-malu dan pipi yang memerah.
***
Lima tahun berlalu lagi, perubahan terus berlangsung. Agak hiruk. Sebuah kawasan perumahan sedang dibangun, gerbang atau pagarnya persis di sebelah minimarket. Adalah seorang pengusaha batu bara dari Kalimantan yang sedang berekspansi usaha dengan membuat perumahan-perumahan kecil di berbagai titik di kota ini.
Kira-kira ada dua puluh rumah yang hendak ia bangun. Awalnya, itu adalah kawasan kolam renang milik pemerintah yang sudah lama terbengkalai dan ia membelinya melalui lelang yang cukup sengit (dan tentu saja dengan dua-tiga kali kedipan mata). Namun, luas tanah itu kurang cukup untuk membuat sebuah perumahan mini. Lagi pula, si pengusaha mau menyaingi perumahan lama. Si pengusaha tambang pun menawari rumah penduduk sekitar dengan harga beli lima puluh persen lebih mahal dari harga pasaran. Tujuh petak tanah akhirnya lekas terbeli dan tujuh keluarga itu boyong entah ke mana.
Sebagian besar dari keluarga itu adalah pelanggan setia Siboi. Ia merasa kehilangan tetangga-tetangganya yang baik. Soal kehilangan pembeli ia tidak terlalu ambil pusing karena pendapatan yang sedikit tak pernah menjadi masalah bagi Siboi yang hidup sendiri. Satu adik Siboi telah merantau ke Surabaya menjadi guru sekolah dasar, dan satunya lagi kawin dengan seorang pemilik toko jahit yang membawanya ke Pekalongan. Sang ibu, orang tua yang melahirkannya itu sudah empat tahun yang lalu wafat dengan cara yang lebih syahdu dibandingkan kematian sang bapak.
Tapi nyatanya dengan dibangunnya kawasan perumahan itu, gorengan Siboi menjadi sangat laku karena kuli-kuli bangunan itu sering dibelikan gorengan oleh mandornya. Jumlahnya banyak sekali yang membuat Siboi bisa tutup dua jam lebih cepat dari biasanya. Ia semakin merasa sepi karena tak tahu harus berbuat apa atas dua jam waktu kosong yang tiba-tiba muncul itu.
***
Perubahan yang sifatnya cepat dan mendadak akan mudah dimengerti dan dirasakan oleh orang-orang. Misalnya, bisa saja pada suatu ketika sebuah tornado menari-nari di perkampungan kota itu dan meluluhlantakkan semua bangunan yang ada. Orang-orang akan sangat mengerti akan ada yang berbeda. Tetapi perubahan yang sifatnya lambat dan sedikit demi sedikit, tak terlalu dirasakan oleh orang-orang. Tapi perubahan itu tetap nyata.
Hari-hari pun berlalu tidak terasa, melewati segala pahit dan manis yang tersembunyi di segala sudut tahun-tahun yang berlalu. Tahu-tahu usia Siboi sekarang sudah lima puluh lima. Ia tetap berjualan di situ karena dagangannya kalaupun sedang sepi, tak pernah benar-benar merugi. Orang-orang yang dikenalnya seperti Haji Ibur sudah lama meninggal. Lagi pula, selama itu ia sudah di sana, berat baginya untuk berjualan di tempat lain.
Sementara seorang pengusaha sawit dari Sumatera, entah bagaimana caranya, bisa membeli dua puluh buah rumah di sekitar pertigaan itu melalui tiga tahun negosiasi yang alot. Satu per satu, dua puluh keluarga minggat ke apartemen berlokasi tiga kilometer dari situ. Kabarnya, mereka ditawari harga pembelian dua kali lipat oleh lima orang bertato yang sering hilir mudik selama tiga tahun.
Dibangunlah lagi perumahan mini di perkampungan itu. Siboi tidak mengerti tahu-tahu dua puluh rumah itu diratakan. Memang, karena keluarga pemilik rumah itu pergi sedikit demi sedikit, maka ia tak merasakan betul-betul kepergian mereka.
Dalam waktu kurang dari delapan belas bulan, sudah berdiri rumah-rumah baru menyusul perumahan lama yang sudah berdiri belasan tahun silam. Perumahan yang baru ini kendatipun sama-sama memiliki pagar yang selalu ditutup dan dijaga satpam selama dua puluh empat jam, terlihat lebih mewah dibandingkan yang lama. Iklannya pun terkesan “menyindir” perumahan lama yang “kolot”. Di pos penjaga yang dibangun tinggi, diletakkan sebuah kamera kecil yang menyorot jalan, juga di sepanjang jalan perumahan. Ada pula anjing penjaga yang suka menyalak sembarang waktu. Tiap-tiap penghuni diberi kunci gerbang elektronik yang memastikan tidak ada yang bisa masuk secara bebas kecuali mereka. Rumah-rumahnya lebih besar dan desainnya lebih modern.
Kejutan apa yang kira-kira akan diberikan perumahan baru itu? Siboi ingat waktu ketika perumahan yang lama itu selesai dan mulai dihuni oleh para pembeli dan penyewa. Pagarnya senantiasa tertutup dan hanya dibuka jika ada penghuni yang keluar atau masuk. Lama sekali Siboi berjualan di sana, tak pernah ada kriminalitas yang sampai pada tingkat gawat sehingga diperlukan pengamanan berlebihan semacam itu.
Ia tak kenal mereka. Hanya sedikit dari mereka yang berminat membeli gorengannya, itu pun sebagiannya para pembantu atau supir.
Suatu ketika seorang bocah berseragam SD keluar dari gerbang itu menggunakan sepeda. Ia menyinggahi gerobak Siboi.
“Bang, beli gorengan. Empat ribu, ya.”
Selagi Siboi membungkuskan, lewatlah mobil hatchback yang juga keluar dari gerbang perumahan itu.
“Joni! Kok beli itu, sih?” seru suara dari dalam mobil setelah jendela dibuka.
“Enggak apa-apa, Mi! Teman-temanku beli gorengan juga kok!”
“Kalo Mami kata jangan, jangan!”
Tangan Siboi berhenti.
“Bang, enggak jadi, Bang!” Si bocah SD itu langsung ngacir menuju sekolahnya.
Tak pernah. Tak pernah ada selama dua puluhan tahun berjualan, didengarnya orang menyebutnya gorengannya sebagai “itu”. Ada yang menamainya “mendoan”, “jajanan”, atau suatu kali seorang bule pembawa kamera yang menyebutnya “fritter”. Tak pernah ada yang meng-itu-kan dagangannya.
Yang juga ia ingat adalah ketika seorang perempuan berpakaian dinas dari perumahan itu membeli gorengannya.
“Pak, beli gorengan. Tiga aja. Bakwan satu, pisang goreng dua.”
“Boleh, Neng. Mmm… berangkat kerja, Neng?”
Perempuan yang sedang menyentuh-nyentuh ponselnya itu terdiam. Lalu tanpa menatap Siboi, ia menjawab, “Iya.”
“Kerja apa?”
Ia terdiam lagi. Tiga, empat detik, hening. Masih tak menatap Siboi, ia menjawab lagi, “Guru.”
“Guru apa, Neng?”
“Olahraga.”
“Kok pakaiannya enggak training, Neng? Dulu pas Abang SMP…”
“Pak? Itu gorengannya udah belum? Nanya-nanya mulu kayak infotainment! Terserah saya mau pakai apa, kek! Privasi, Pak! Enggak usah kepo! Kenal juga enggak.”
Lagi-lagi ia tak mengerti bahasa yang digunakan penduduk perumahan itu. Mengapa perempuan itu tak bisa sekadar ditanya-tanya? Privasi? Apa pula itu? Hari itu ia lama memikirkan kata “privasi” sampai-sampai tempe gorengnya gosong. Ditanyakannya pada Bu Ijah apa itu privasi. “Entahlah, Boi. Sepertinya aku pernah mendengarnya di televisi, tapi lupa itu apaan.”
***
Kembali ke masa kini. Siboi baru saja mulai menyiapkan dagangannya pada pukul empat hari. Suara orang mengaji mulai terdengar dari langgar terdekat. Ia tengah memotong-motong tempe ketika sebuah mobil mid-size SUV datang dari arah jalan raya. Mobil itu tersendat-sendat, juga terhuyung-huyung ke kiri dan ke kanan. Sekonyong-konyong, mobil itu melaju cepat lalu hendak berbelok ke arah perumahan berpagar yang baru itu. Tetapi mobil itu terlalu ke arah kiri ketika hendak berbelok. Sisi kiri mobil itu pun menghantam gerobak Siboi dan membuatnya terlempar ke tembok.
Mobil itu berhenti. Seorang perempuan memakai rok ketat di atas lutut dan glitter halter tank sebagai atasan keluar lebih dulu dari mobil. Tubuhnya tak berdiri stabil.
“Tolol! Bisa nyetir ga sih?” ia berteriak sakau.
Seorang pria yang juga sebaya dengannya, berkemeja putih dan dilengkapi outer biru keluar kemudian. Sambil agak melayang, ia menggaruk-garuk kepalanya.
Terdengar suara orang mengaduh tak jauh dari gerobak yang mereka tabrak: seorang pria berumur dengan kepala habis terbentur. Sebuah pisau menancap di pipinya, mengeluarkan darah segar. Di tubuhnya berserakan pisang-pisang belum dikupas. Kemudian, tak terdengar suara rintihan lagi. Siboi hilang kesadaran.
“Panggil ambulans cepat!” seru si perempuan.
“Aku saja yang mengantarnya.”
“Lu kan mabuk, tolol!”
Laki-laki itu tergopoh-gopoh mencari ponselnya di saku, meng-googling, lantas menelepon rumah sakit terdekat.
“Aku tidak ikut-ikut urusan ini, ya. Aku pulang!” ujar perempuan itu. Ia mendekatkan ponsel ke telinganya, “Halo Pak, sesuai titik ya!”
“Goblok lu, tahu gini gue ga ikut!” Perempuan itu tak puas memaki lelaki di hadapannya.
Tak lama kemudian, Taksi daring yang ia pesan datang, mendahului ambulans.
“Eh, sebentar sebentar, gue belum tahu nama lu?” seru laki-laki itu ketika si perempuan membuka pintu mobil. Perempuan itu hanya menoleh sekira satu sampai dua detik, tapi tak menjawab apa pun. Taksi online lalu pergi membawanya, entah ke mana.
______
Penulis
Muhammad Ilfan Zulfani lahir dan tumbuh di Banjarmasin. Menyelesaikan kuliah sarjana di Sosiologi Universitas Indonesia. Sejak 2023, ia mulai menggeluti sastra secara serius. Satu cerpennya terpilih sebagai Juara Utama pada lomba cerpen komedi yang diselenggarakan perpustakaan digital Lentera (Desember 2024). Karya-karyanya yang lain bisa dijumpai melalui akun Instagram (@ilfanzulfani98).
Kirim naskah ke
redaksingewiyakgmail.com