Penerjemah: Eka Ugi Sutikno
Perbedaan mendasar dari teori naratif adalah antara plot dan penyajian atau cerita dan wacana. (Terminologi ini dapat dikatakan bervariasi seperti yang dilontarkan dari satu pakar ke pakar lain.) Ketika dihadapkan dengan sebuah teks (istilah ini mencakup film dan penyajian lainnya), pembaca memahaminya dengan mengidentifikasi cerita. Kemudian melihat teks sebagai satu sajian khusus dari cerita yang khusus pula. Dengan mengidentifikasi ‘apa yang terjadi’, kita dapat menganggap materi verbal lain memiliki cara untuk menggambarkan apa yang terjadi. Kemudian kita dapat bertanya jenis presentasi atau penyajian apa yang telah dipilih dan apa perbedaannya. Sebenarnya ada banyak variabel dan semuanya penting untuk efek penarasian. Banyak teori naratif yang mengeksplorasi berbagai cara untuk memahami variabel-variabel ini. Berikut adalah beberapa pertanyaan kunci yang mengidentifikasi variasi yang bermakna.
Siapa yang berbicara? Menurut konvensi, setiap narasi memiliki narator yang mungkin berdiri di luar cerita atau menjadi tokoh di dalamnya. Para ahli membedakan ‘narasi orang pertama’, di mana seorang narator mengatakan ‘saya’ atau ‘aku’ (penerjemah: I di dalam bahasa Inggris). Namun agak membingungkan ketika mendapatkan ‘narasi orang ketiga’, di mana tidak ada ‘aku’ – narator ini tidak diidentifikasi sebagai tokoh dalam cerita dan semua tokoh yang disebut sebagai orang ketiga, dengan nama atau sebagai ‘dia’ dan ‘ia’ (she atau he di dalam bahasa Inggris). Narator orang pertama memiliki kemungkinan menjadi tokoh utama protagonis dari cerita yang mereka ceritakan. Dapat dimungkinkan mereka merupakan partisipan atau tokoh minor di dalam cerita atau hanya menjadi pengamat cerita yang fungsinya bukan untuk melakukan sesuatu, melainkan untuk menggambarkan berbagai peristiwa kepada kita. Pengamat orang pertama memiliki kemungkinan akan berkembang menjadi individu atau persona yang mempunyai nama, sejarah, dan kepribadian. Sebaliknya, narator-narator ini tidak berkembang sama sekali dan dengan cepat menghilang dari pandangan saat narasi berlangsung, menghapus diri mereka sendiri setelah memperkenalkan cerita.
Siapa yang berbicara kepada siapa? Penulis menciptakan teks yang dibaca oleh pembaca. Pembaca menyimpulkan teks tersebut sebagai seorang narator, yaitu suara atau vois (voice) yang berbicara. Narator berbicara kepada pendengar yang terkadang tersirat atau terkonstruksi dan terkadang diketahui secara eksplisit (terutama dalam cerita di dalam cerita, di mana satu tokoh menjadi narator dan menceritakan kisah batin kepada tokoh lain). Audiens narator sering disebut naratee. Terlepas dari apakah naratee diidentifikasi secara eksplisit atau tidak, secara implisit narasi mengkonstruksi audiens berdasarkan apa yang dianggap wajar oleh narasinya dan apa yang dijelaskannya. Sebuah karya dari waktu dan tempat lain biasanya menyiratkan audiens yang mengenali referensi tertentu dan memiliki asumsi tertentu yang mungkin tidak dimiliki oleh pembaca modern. Kritikus feminis tertarik pada cara penarasian ala Eropa dan Amerika yang sering kali menempatkan pembaca laki-laki: secara implisit pembaca disapa sebagai orang yang memiliki pandangan maskulin.
Siapa yang berbicara ketika itu? Narasi dapat ditempatkan pada saat terjadinya peristiwa (seperti di novel Jealousy karya Alain Robbe-Grillet, di mana narasi mengambil bentuk, ‘sekarang x terjadi, sekarang y terjadi, sekarang z terjadi’). Penceritaan dapat langsung mengikuti peristiwa tertentu, seperti dalam novel epistolari (novel dalam bentuk surat), seperti Pamela karya Samuel Richardson, di mana setiap surat membahas apa yang telah terjadi hingga saat itu. Atau yang paling umum, narasi terjadi setelah peristiwa terakhir dalam narasi, saat narator melihat kembali seluruh rangkaian.
Siapa yang berbicara dengan bahasa apa? Suara-suara naratif dimungkinkan memiliki bahasa tersendiri, di mana suara-suara ini menceritakan segala hal dalam cerita atau mengadopsi dan melaporkan bahasa orang lain. Sebuah narasi yang melihat berbagai hal melalui kesadaran seorang anak dapat menggunakan bahasa orang dewasa untuk melaporkan persepsi anak atau menyelinap ke dalam bahasa anak. Seorang pakar dari Rusia, yaitu Mikhail Bakhtin, menggambarkan novel tersebut secara fundamental dan memiliki polifonik (bersuara banyak) atau bersifat dialogis daripada monologis (bersuara tunggal). Dengan demikian, esensi novel adalah penyajiannya melalui suara atau wacana yang berbeda dan terdapat perspektif dan sudut pandang sosial yang saling berlawanan.
Siapa berbicara dengan otoritas apa? Menceritakan sebuah kisah berarti mengklaim otoritas tertentu, yang diberikan oleh pendengar. Ketika narator di novel Emma karya Jane Austen dimulai, “Emma Woodhouse adalah perempuan cantik, pintar, juga kaya. Ia memiliki rumah yang nyaman dan bersifat ceria, . . .’ kita tidak bertanya-tanya dengan skeptis apakah dia benar-benar cantik dan pintar. Kita menerima pernyataan ini sampai kita diberi alasan untuk berpikir sebaliknya. Narator terkadang tidak dapat diandalkan ketika memberikan informasi yang cukup mengenai keadaan dan petunjuk tentang betapa biasnya narator untuk membuat kita meragukan interpretasi mereka tentang peristiwa atau ketika kita menemukan alasan untuk meragukan bahwa narator memiliki nilai-nilai yang sama dengan penulis. Banyak pakar mengatakan mengenai narasi kesadaran diri ketika narator membahas fakta bahwa mereka sedang menceritakan sebuah kisah, namun ragu-ragu tentang cara menceritakannya, bahkan memperlihatkan fakta bahwa mereka dapat menentukan bagaimana cerita itu akan berubah. Narasi kesadaran diri ini menyoroti masalah otoritas naratif.
_________
Penulis
Jonathan Culler adalah pakar sastra yang lahir di tanggal 1 Oktober 1944. Tulisan di atas diterjemahkan oleh Eka Ugi Sutikno dari sub bab buku Literary Theory (A Very Short Introduction).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com