Friday, February 7, 2025

Puisi-Puisi Lalu Azmil Azizul Muttaqin

Puisi-Puisi Lalu Azmil Azizul Muttaqin



Kairo yang Membeku


Dingin mengalir deras di antara tembikar,

seperti rindu yang tak terucap, menunggu di sudut pasar.


Kairo, 2024



Hikayat Kafe Tua Harat Madrasah


di gang-gang sempit

yang mana bayang-bayang tak lagi terbang,

kafe tua itu berdiri,

menggenggam cangkir berdebu,

haflah tiada lagi di sini,

hanya sisa aroma syai

yang menggeliat tiada henti.

Bisikan suara tiba-tiba menggema;

“kenapa gerangan Basya di sini?”

pembicaraan yang tumpul, tawar tanpa makna,

teman sejiwa, kawan seumur hidup,

kini menguap dalam asap shisha,

tak ada tawa, hanya senyuman pudar.

kursi-kursi bergetar dalam kenangan,

dinding berbisik cerita lama,

yang terkubur dalam ingatan dan waktu.

setiap tetes kopi adalah rahasia,

yang tertinggal di gelas tak terpakai,

menanti suara dari hati yang tak lagi ada.


Kairo, 2024



Sebab Engkau, Kota Ini

Menenggelamkan Dirinya Secara Perlahan


aku tiba di sini,

di mana mercusuar berbicara dengan awan

lebih lama dari siapa pun.

kota ini selalu menyimpan rahasia―begitu juga dirimu―

di dasar lautnya,

seperti nelayan hilang

yang tak pernah kembali pulang.

aku duduk di depan bibliotheca,

buku-buku bisu menatapku,

seolah mereka tahu—kau tak ada.

setiap halaman yang kubuka

hanya menghembuskan pasir dan garam,

dan rindu yang tertinggal di layar perahu.

di corniche nama sebuah dermaga tua,

―tempat biasa seorang kekasih menanti―,

jalan setapak tampak panjang mengulur

seperti jaring nelayan

yang lelah menangkap kenangan

yang tak pernah ia pinta.

langit biru berbisik pada gelombang,

menawarkan warna baru,

tapi aku sudah buta oleh warna—

nyatanya tak ada warna apa pun

yang kutemukan lagi di sini.

aku pernah dengar,

laut selalu menerima,

tak peduli apa yang ditenggelamkannya.

namun di sini,

bahkan pasirnya pun mulai menolak

jejak yang kita tinggalkan.

lalu aku memahami,

kota ini bukanlah kota yang dulu.

ia menenggelamkan dirinya pelan-pelan,

perlahan, kemudian membiarkan ingatan hancur,

di antara karang-karang yang membisu.


Aleksandria, 2023―2024



Khan Khalili


gelak tawar para pedagang

melayang di udara,

dipecahkan denting logam

dan tawar-menawar yang tak selesai.

satu per satu

aroma rempah dan teh

menyapa langkahku,

memanggilku.

cangkir-cangkir kecil

menggigil di atas meja,

kopi mengendap,

seperti sebuah mimpi

yang tak lagi diharapkan.

aku menelusuri warna

pada karpet yang terhampar,

tapi tak ada yang cocok.

aku berdiam sunyi di tengah keriuhan ni—

menyaksikan lampu kaca yang berpendar,

papyrus yang kaku,

lukisan Ra, Tutanchamon, dan

Ummi Kulstum yang merayuku dengan masa lalu.

dan tiba-tiba aku termangu;

apakah aku juga sebuah barang

yang tak pernah laku?


Kairo, 2024



Cinta yang Terbelah


Zulaikha menanti di balik tirai,

cinta terbelah antara harap dan dosa,

sementara Yusuf, cahaya terlarang,

melangkah pergi.


Di ruang sunyi, rindu menari,

dalam hening, hati terkurung;

sebuah kisah terukir dalam linangan air mata.


Kairo, 2024


_______

Penulis 

Lalu Azmil Azizul Muttaqin, lahir di Lombok Nusa Tenggara Barat. Mahasiswa jurusan Linguistik Arab, Universitas al-Azhar, Kairo. Menulis puisi dan cerpen di beberapa media online. Aktif di Komunitas Sastra Mahasiswa Indonesia di Mesir, Art Theis de Cairo, Sifaratul Adab Kairo, dan Lakpesdam PCINU Mesir.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com