Puisi Selendang Sulaiman
Sumpah Puisi
penyair mati di tangan puisi
lautan berkabung – ombak berhenti
penyair lahir akhir desember
awal januari meninggal bunuh diri
“innalillahi”
tinggal puisi yang abadi
di dinding teknologi
tanpa bingkai cyber scurity
Jakarta 2016-2024
Candu (1)
kutuang kopi kental panas ini
kutatap permukaannya
wajahmu ada, tersenyum manis
kurasakan zat rindunya
kutiup sekali desah
kuseduh sampai tuntas
birahi cium ini
2014/2025
Candu (2)
seduhan kedua; hangatnya sabtu malam
memeluk jiwaku, wajahmu susupi darah,
paru-paru, dan urat-urat hijau nadi
hadirmu, semayup udara segar di jantung
tunailah lidah sampai seduhan ketiga
pada seduhan keempat; genap sungguh buku rindu
tiap lembarnya kubaca benar, untuk satu amsal: kita
seperti kopi, terseduh setiap candu membisik
maka kubaca ulang, kupahami sekali lagi,
sampai tak ada jarak walau seinci
antara aku dan kamu
walau kita nyata sebagai detak
tapi kita telah saling percaya pula
sesekali kita tidak dapat dipercaya
2014/2025
Melankolia Kefanaan
sebab hidup sebatas memerankan takdir
nasib yang tiba mesti terus berbiak
tak peduli seberapa dalam dan lebar
luka hidup mengaga
bukankan setiap bunga pasti mekar
di musim kuntum tiba
dan gugur jua di waktu yang tepat?
setiap tangis sedih dan bahagia
hanyaah melankolia kefanaan
yang dikultuskan sebagai duka
atau suka cita yang lekas berlalu
dan kenangan disematkan
menjadi perlambang biak manusia.
begitulah sisi lain dunia bergerak
tumbuh di halaman kabar berita
yang dicari, dicipta, diproduksi
disiarkan bertubi-tubi, diteruskan
sampai viral—fyp
dan akhirnya, lahir kepuasan,
kengerian, keriangan, kebencian
hasrat mencoba, penasaran, meniru
menerapkannya, terjadi lagi
menjadi berita lagi, diteruskan lagi
viral kembali.
di balik segala yang viral
hidup hanyalan bertarung dengan nasib
masing-masing dan sendiri
tanpa perlu menjadi pohon besar
jika ambruk diterpa angin
tanpa perlu menjadi api
jika harus terbakar sendiri
cukup menjadi seperti bocah
riang-gembira di segala musim
dan cuaca
2024
Pagi Bening
jika petir datang tiba-tiba tanpa hujan
dan langit menetaskan tanda dalam genggaman
percayalah ranggas ranting pohon gersang
hanya belaian musim tabiat kita yang sableng!
kita tak perlu buru-buru merebus risau sialan
pagi masih teramat bening untuk dipanggang
cukup kita teguk sisa embun di kuntum mawar
sebelum fajar menelan sepotong mata dendam.
lihat kumbang juling itu tersangkut duri
sayapnya nyaris patah dan gagal terbang
usai tuntas melumat habis putik sari kesadaran.
apa yang bisa kita persembahkan pada udara
selain tabiat baik manusia dan tabah menerima
sambaran petir di tubir pagi yang tiba-tiba?
2024
Menunaikan Pulang
ringan tubuh duduk di jendela
karena pacar mewanti-wanti
ingatan mengintai kereta tanpa doa
tanpa kembali padanya jika hampa
hangat tubuh sebelah kiri rapat jendela
“sunrise!” kicau seekor burung dara
dalam peluk wanita bermata rindu
merentangkan sinar matahariku
“aku ingin masuk ke dadamu,”
pintaku tak sampai, sampai hangat elus
menyusun rindu pada keteduhan pulang
“kamu pulang kemana?”
pertanyaan menubruk dari belakang
kereta berangkat diam-diam di tubuhku
2013/2024
______
Penulis
Selendang Sulaiman, lahir di Sumenep, 18 Oktober 1989 dan kini mukim di Jakarta. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media massa cetak dan elektronik serta di sejumlah antologi puisi bersama. Antologi Puisi Tunggalnya: Omerta (Halaman Indonesia, 2018). Buku puisi keduanya segera terbit pertengahan tahun 2025. Bisa dijumpai di IG @selendangsulaiman dan YouTube Channel @selendangsulaimanofficial
Kirim naskah ke