Friday, February 28, 2025

Puisi-Puisi Selendang Sulaiman

Puisi Selendang Sulaiman




Sumpah Puisi


penyair  mati di tangan puisi

lautan berkabung – ombak berhenti


penyair lahir akhir desember

awal januari meninggal bunuh diri


“innalillahi”


tinggal puisi yang abadi

di dinding teknologi

tanpa bingkai cyber scurity


Jakarta 2016-2024



Candu (1)


kutuang kopi kental panas ini

kutatap permukaannya

wajahmu ada, tersenyum manis

kurasakan zat rindunya

kutiup sekali desah

kuseduh sampai tuntas

birahi cium ini


2014/2025



Candu (2)


seduhan kedua; hangatnya sabtu malam

memeluk jiwaku, wajahmu susupi darah,

paru-paru, dan urat-urat hijau nadi

hadirmu, semayup udara segar di jantung


tunailah lidah sampai seduhan ketiga

pada seduhan keempat; genap sungguh buku rindu

tiap lembarnya kubaca benar, untuk satu amsal: kita

seperti kopi, terseduh setiap candu membisik


maka kubaca ulang, kupahami sekali lagi,

sampai tak ada jarak walau seinci

antara aku dan kamu


walau kita nyata sebagai detak

tapi kita telah saling percaya pula

sesekali kita tidak dapat dipercaya


2014/2025



Melankolia Kefanaan


sebab hidup sebatas memerankan takdir

nasib yang tiba mesti terus berbiak

tak peduli seberapa dalam dan lebar

luka hidup mengaga

bukankan setiap bunga pasti mekar

di musim kuntum tiba

dan gugur jua di waktu yang tepat?


setiap tangis sedih dan bahagia

hanyaah melankolia kefanaan

yang dikultuskan sebagai duka

atau suka cita yang lekas berlalu

dan kenangan disematkan

menjadi perlambang biak manusia.


begitulah sisi lain dunia bergerak

tumbuh di halaman kabar berita

yang dicari, dicipta, diproduksi

disiarkan bertubi-tubi, diteruskan

sampai viral—fyp 

dan akhirnya, lahir kepuasan,

kengerian, keriangan, kebencian

hasrat mencoba, penasaran, meniru

menerapkannya, terjadi lagi

menjadi berita lagi, diteruskan lagi

viral kembali.


di balik segala yang viral

hidup hanyalan bertarung dengan nasib

masing-masing dan sendiri

tanpa perlu menjadi pohon besar

jika ambruk diterpa angin

tanpa perlu menjadi api

jika harus terbakar sendiri

cukup menjadi seperti bocah

riang-gembira di segala musim 

dan cuaca


2024



Pagi Bening


jika petir datang tiba-tiba tanpa hujan

dan langit menetaskan tanda dalam genggaman

percayalah ranggas ranting pohon gersang

hanya belaian musim tabiat kita yang sableng!


kita tak perlu buru-buru merebus risau sialan

pagi masih teramat bening untuk dipanggang

cukup kita teguk sisa embun di kuntum mawar

sebelum fajar menelan sepotong mata dendam.


lihat kumbang juling itu tersangkut duri

sayapnya nyaris patah dan gagal terbang

usai tuntas melumat habis putik sari kesadaran.


apa yang bisa kita persembahkan pada udara

selain tabiat baik manusia dan tabah menerima

sambaran petir di tubir pagi yang tiba-tiba?


2024 


Menunaikan Pulang


ringan tubuh duduk di jendela

karena pacar mewanti-wanti

ingatan mengintai kereta tanpa doa

tanpa kembali padanya jika hampa


hangat tubuh sebelah kiri rapat jendela

“sunrise!” kicau seekor burung dara

dalam peluk wanita bermata rindu

merentangkan sinar matahariku


“aku ingin masuk ke dadamu,”

pintaku tak sampai, sampai hangat elus

menyusun rindu pada keteduhan pulang


“kamu pulang kemana?”

pertanyaan menubruk dari belakang

kereta berangkat diam-diam di tubuhku


2013/2024


______

Penulis

Selendang Sulaiman, lahir di Sumenep, 18 Oktober 1989 dan kini mukim di Jakarta. Puisi-puisinya tersiar diberbagai media massa cetak dan elektronik serta di sejumlah antologi puisi bersama. Antologi Puisi Tunggalnya: Omerta (Halaman Indonesia, 2018). Buku puisi keduanya segera terbit pertengahan tahun 2025. Bisa dijumpai di IG @selendangsulaiman dan YouTube Channel @selendangsulaimanofficial


Kirim naskah ke 
redaksingewiyak@gmail.com