Di dunia rimba, yang tercepatlah sang pemenang. Tetapi bagi Palko, sang alap-alap kawah yang bisa menjelma manusia, bukan sekadar menukik dan meremukkan kepala mangsa. Ini adalah perburuan diatas perburuan. Berpacu prestasi dengan pemburu puncak lain. Bisa jadi, ia tumbang dalam perebutan mangsa, lalu dimakan burung nasar.
Tempat tinggalnya di tebing batu cadas juga terancam. Pemburu dengan bedil mengincarnya ketika lengah. Pemburu ingin kekuatan mistis. Tak lagi takut pada sayapnya yang bila murka terbentang mengoyak angin, membentuk badai. Tak lagi takut pada desas-desus bahwa Palko pendatang musibah.
Palko gusar. Apalagi ini telur-telur pertama yang dierami bergantian dengan istri. Selama 23 hari ia mengerami, baru sadar bahwa kawin itu paling mudah kalau jadi hewan. Sedangkan cari makan, betapa mudahnya kalau jadi manusia. Tanpa pesaing, tanpa terjadi pembunuhan.
“Lawanku bukan hanya kematian lantaran pemburu dan paruh burung nasar. Lawanku memiliki mata cemerlang, si elang dan komplotan penelisik. Menelisik gerak-gerik lawan. Mengatur siapa yang layak mendapat mangsa, siapa yang tersingkir. Itulah kenapa aku lelah mengarungi cakrawala hanya demi seonggok daging,” ucap Palko kepada isrinya.
Sejak dulu matanya yang tajam memang menyisir cakrawala, tetapi hatinya mengembara jauh ke dunia manusia. Manusia, cukup menukar kertas hasil mengemban tugas, dibawalah pulang makanan yang pantas. Mempertimbangkan telur-telur, para pemburu dan elang, maka Palko jadi pegawai negeri. Dengan begitu, pemburu tak berani mengusik kawasan sarang di tebing cadas, takut kalau-kalau itu punya Palko. Bukan lantaran kekuatan Palko sang pengundang musibah itu, melainkan jalur kerjanya sebagai manusia. Sebagai aparat pemerintah, staf khusus penjaga pagar laut.
Dikiranya tak ada problema menjaga pagar laut. Kenyataannya ia dihadapkan berkas tanpa akhir. Maka Palko memilih seorang diri menjaga pagar laut, apabila pegawai lain ingin melancong sambil menyelesaikan laporan milik Palko. Tugasnya hanya menghantam kapal ilegal dengan ombak besar. Kepakan sayapnya bisa mendatangkan badai. Dengan tatapannya, bisa menenangkan gelombang. Seorang diri, segala terjalani. Namun, kata teman-teman Palko, ia tak boleh berubah jadi alap-alap dan melintasi pagar laut. Pagar itu, adalah perbatasan antara dunia manusia dan sesuatu yang tidak boleh dilihat Palko terlalu dalam.
***
Tak ada yang berani mendikte cara kerjanya, lantaran kekuatannya bisa menghantam kapal seorang diri. Hingga di tahun kedua, semua berubah. Di masa ia akan mengerami telur-telur baru di sarangnya, para petinggi mulai membisiki perintah aneh: membiarkan kapal-kapal tertentu lewat, menghancurkan perahu nelayan kecil, atau membuat badai di titik yang sudah ditentukan.
“Jangan membantah! Lakukan tugasmu, maka tunjangan akan terjaga. Pagar laut adalah batasan. Batas bagi manusia dan sesuatu yang tak perlu kau lihat terlalu dalam,” ucap petinggi menumbuhkan kegelisahan.
“Bukankah manusia tercipta sebagai pembantah?” Gerutunya.
“Apa kau bilang?!” petinggi murka.
“Aku tak bilang sesuatupun,” jawabnya.
Selain bulanan, amplop diberikan pada hari-hari tertentu oleh petinggi. Isi amplop cukup untuk membeli daging di pasar dan dibawanya ke tebing batu cadas. Sesampainya di tebing, sahabatnya mencibir si keluarga pemangsa yang tak lagi berburu itu.
“Kenapa kau tak ikut kami saja menjaga pagar laut?” Tanya Palko agar alap-alap sapi tahu, nikmatnya membeli daging bebek di pasar.
“Aku tak ingin seperti kau, yang melupakan kami dan saudaramu.”
“Aku tak lupa, begitu pula kepada mereka. Hanya saja sementara ini, masih sulit bebas bergerak kesana-kemari. Tak seperti dulu,” kilah Palko.
“Justru itu, aku tak ingin mati bosan. Kau menyia-nyiakan bakat terbang dan kecepatan memangsamu. Lebih suka disuap petinggi pagar laut.”
“Apa kau cakap, hah?!”
“Burung itu bebas, kawan. Berangkat fajar, pulang senja. Tak terikat berkas-berkas dan memakan uang jadah. Kau belum tahu saja, sebab kau juga manusia. Sedangkan hewan murni sepertiku saja yang tahu. Uang dan daging bebekmu itu tak halal,” Alap-alap sapi memalingkan paruhnya dan pulang melintasi cakrawala senja.
“Baiklah, jika aku tergolong manusia, maka apakah gajiku suci jika kubelikan daging sapi dan berbagi kepada tetangga?” Tanya Palko kepada istrinya selang beberapa saat.
“Kau cakap, hanya Mul yang menggelapkan dana proyek? Lantas kenapa kau risau yang tak menimpamu dan bukan harta mereka yang kau turut makan?” Tanya balik istrinya.
“Berarti tugasku suci untuk melindungi pagar laut. Baiklah, kau benar. Alap-alap sapi yang salah,” sahut Palko disamping istri dan anak-anaknya sambil melahap kembali daging bebek dari pasar.
***
Tahun ketiga, pagar laut bermasalah. Petinggi tak lagi sekata, melainkan hendak mengadu senjata. Para tentara laut diperintah jenderalnya untuk membongkar pagar laut itu. Palko tak tahu apa-apa tentang pagar laut, sebab ia tak pernah terbang dan menyaksikan sesuatu yang tak pernah ia ketahui lebih dalam. Maka ia mendukung petinggi yang baik hati dan selalu memberinya amplop sesekali. Palko berpikir, bahwa bekerja di laut adalah tempat paling aman, paling bersih, paling bertawakal. Namun, kata Subarudi sang peneliti, pagar laut harus dibasmi.
“Pola arus berubah, lamun sebagai habitat ikan juga rusak dan mengganggu ekosistem laut,” kata Subarudi sang peneliti.
“Kita harus bongkar!” Ucap lantang barisan tentara serempak.
“Dan aku yakin, tugasku adalah suci untuk melindungi pagar laut ini. Kita sesama manusia dan pegawai negeri, butuh makan dan jaminan hari tua. Kenapa kita tak lagi sekata? Jika tak lagi amanah dalam bekerja maka aku dipecat, lalu keluargaku makan apa?” Ucap Palko menghadapi seorang diri tentara laut dan peneliti.
“Kalau begitu, siapa diantara kita yang nyata pegawai negeri? Siapa yang hanya antek para petinggi: kau atau kami yang petingginya tak akan lari?” Tanya balik sang komandan.
Insting hewani menyatakan bahwa pagar laut bukan lagi tempat rezeki suci. Palko tak pernah tahu laporan adminisitrasi, tak tahu jaringan korupsi yang merayap di balik ombak, mengalir seperti arus gelap di bawah permukaan. Ia tak pernah melanggar, ternyata dikte petinggi ada, agar ia tak melihat terlalu dalam.
Palko lantas membongkar seorang diri pagar laut itu. Kembali ia menjelma menjadi alap-alap kawah dan melintasi batas manusia dan yang tak boleh dilihat terlalu dalam. Mata tajamnya terbelalak, segera ia kembali ke tebing batu cadas. Mengungsi, merelakan telur-telur tak lagi dierami. Bersama keluarganya mewujud manusia dan sembunyi di dalam rimba.
“Aku bertekad bahwa keturunanku akan menjadi manusia sejati. Menjadi pegawai negeri, yang hartanya suci! Kita akan menang dari dikte petinggi!!” Janji Palko kepada anak-anaknya.
***
Antek-antek petinggi masih memburu keluarga Palko dari tahun ke tahun. Para petinggi murka dan bersumpah, bahwa tak akan diperbolehkan keturunan manusia alap-alap kawah bekerja sebagai pegawai negeri. Selamanya, para antek memburu di tengah kerumunan bahkan di setiap kantor.
“Siapa saja yang punya ciri-ciri mirip Palko, kita binasakan! Hancurkan pengkhianat, dan amplop besar menanti kalian!” Ultimatum para petinggi.
Hingga kini, setelah bertahun-tahun. Apabila ada pegawai yang anti dikte dan hartanya suci, maka bisa jadi orang itu adalah keturunan manusia alap-alap kawah. Antek-antek akan menjebaknya keluar dari pekerjaan. Dengan cara yang halus atau bahkan membuat ia mati seolah alami.