Aku terkesan oleh manusia-manusia yang setiap harinya berlalu-lalang di kota padat ini, terasa begitu sesak seakan ribuan motor dan mobil itu mendekapku begitu erat. Menjalani kehidupan di kota ini membuatku merenungkan banyak hal, terutama ketika sudah menjelang petang. Seringkali aku tertegun menyaksikan bagimana kehidupan seseorang di kota ini bisa begitu jauh berbeda, dalam satu waktu yang sama aku bisa menyaksikan mencopet melakukan aksinya namun di sisi lain aku melihat seorang pria berjalan sembari membawa tas bermerek menuju mobil mewahnya. Permusuhan, kemurungan, kecemasan, bahkan kebrutalan pun tersingkap tanpa ragu.
Salah satu hal yang unik semua orang di kota ini saling berlomba-lomba menahan beban sebesar gunung yang coba mereka telan dan terima, meski begitu akhirnya satu pemicu kecil cukup untuk meledakkan segala yang telah lama tertahan. Lalu di tengah hiruk-pikuk itu, aku hanyut dalam nestapa menjalani rutinitas yang menyesakkan, kemudian di penghujung hari hanya bisa memejamkan mata, berharap pada kehidupan yang lebih baik.
Lima tahun aku berada di kota ini, sudah berkali-kali aku merasa tercekik dan terhimpit dalam berbagai macam situasi. Maka pada akhirnya aku memilih pulang, bukan ke kamar sempit berukuran 2x3 yang selama lima tahun kutinggali tetapi pulang ke rumah sesungguhnya yaitu pangkuan ibunda. Semuanya terjadi begitu cepat, mulai dari menulis surat resign sampai mengepak pakaian dan juga barang. Setelah semua hiruk pikuk itu akhirnya aku kembali.
"Ibu, pelita pulang." Ucapku lirih saat menyusuri rumah tua yang tampak semakin ringkih. Namun bukan suara ibu yang menjawab panggilanku melainkan bibi yang tiba-tiba muncul dari dalam rumah. Tatapan matanya seakan tak percaya bahwa aku benar-benar kembali, tangan dinginya memeganggang kedua pipiku dan menyambutku pulang.
"Nak, akhirnya… akhirnya kamu kembali. Sudah begitu banyak hal yang ingin bibi sampaikan." Suaranya begitu bergetar bahkan matanya penuh kecemasan, tentu jelas sudah bahwa ini bukanlah suatu ekspresi yang aku bayangkan. Kini kecemasan menyelimutiku, perasaanku sungguh kacau menyadari bahwa sesuatu yang sangat buruk terjadi. Lalu setelah 1 jam mendengar semua cerita bibi aku hanya bisa terisak, niatku kembali untuk menyembuhkan diri justru kini aku semakin tidak berdaya.
Mataku mulai mencari-cari keberadaan ibu,namun tubuhku semakin tidak berdaya setelah mendengar semua cerita itu.
"Hal yang diingat oleh ibumu hanya kenanganya menghabiskan waktu di laut" Kini bibi terisak, aku memegang kedua tanganya berusaha menengangkan. "Artinya apa ibu masih mengingatku?" Aku bertanya dengan penuh harapan besar, namun ketakutanku benat-benar terjadi. Bibi menggelengkan kepalanya perlahan, semua penyesalan itu langsung menenggelamkanku. Selama ini aku hanya memikirkan lukaku saja tanpa mencoba menanyakan kabar ibu di rumah. Kini semuanya sudah terlambat, sejak 2 tahun lalu ibu telah menderita dimensia.
"Tak ada yang tersisa, bahkan ibumu masih mengira ayahmu akan kembali." Air mata bibi tumpah membahasi seluruh telapak tanganya. "Setelah ayahmu meninggal lalu tidak lama kemudian kamu pergi bekerja di kota, banyak hal pilu yang terjadi di kota ini." Bibi terdiam cukup lama, kesunyian ini menggema keseisi rumah.
"Ibumu ingin melanjutkan pekerjaan ayahmu namun laut sudah tidak lagi sama pelita."
"Mereka telah memegari laut dan menghancurkan mata pencaharian kita, ibumu selama berhari-hari melakukan protes dengan warga setempat. Warga kini sudah banyak yang pergi dan menyerah, lalu jiwa ibumu terbunuh perlahan." Binar mataku kini menyorot tajam, seakan sudah bersiap untuk melawan dunia dan seisinya. Berjanji bahwa akan menemukan siapapun orang dibalik ini semua.
"Siapa orang di balik ini?" Tatapan bibi sungguh nanar, namun semakin lama bibi diam maka semakin aku bisa menebak siapa orangnya.
"Baskara" Sialan, ketika bibi menyebutkan nama itu dentuman keras langsung menghancurkan hatiku berkeping-keping, rasanya seperti pisau yang tertancap ke jantung. Dari semua nama yang terlintas di kepala tak sudi aku terbesit namamu, tapi kenyataan ini benar-benar membakarku hidup-hidup.
Dalam pengkhianatan besar ini, yang aku lakukan hanyalah menangis di pesisir, sembari membawa secarik kertas menuliskan surat kepada cecenguk yang merampas segala yang tersisa dalam hidupku. Angin yang berhembus menyapu kering seluruh air mata dan luka basah di sekujur tubuh, laut menjadi saksi, tapi pegang ucapanku baskara, luka ini tidak akan secepat itu kering. Tidak sampai kamu mengembalikan semua hak-hak kami.
Kamis, 1 Juni 2004
Baskara,
Aku menulis surat ini dengan pisau yang masih tertancap di jantung. Aku tidak tahu apakah kamu masih ingat, kalau aku pernah bercerita tentang mimpiku menjelajahi laut bersama ayah dan ibu. Aku tidak tau apakah kamu masih ingat pelukanku saat lautan menenggelamkan ayahmu, di saat itukah kamu mulai membenci lautan? Kejadian ini membuatku mulai menyambung-nyambungkan kepingan memori yang terjadi di masa lalu, sejak kejadian naas yang menimpa ayahmu kamu mulai mendorongku jauh.
Selama tiga bulan aku masih menggenggam erat harapan bahwa kamu akan kembali, tapi waktu terus berjalan dan aku semakin menua menunggu kedatanganmu. Aku bukan lagi gadis sebelas tahun yang bermain di pesisir bersamamu, aku terhimpit oleh tanggung jawab yang semakin besar, dan perlahan-lahan aku belajar melepaskan harapan itu. Bas, apakah kamu masih memendam amarah akan kejadian itu? apakah kamu membenciku dan mereka yang menggantungkan hidupnya di laut? Aku menulis surat ini bukan hanya untuk diriku sendiri namun untuk semua para pekerja yang kehilangan hak dan mata pencaharianya, aku menulis ini sebagai suara bagi mereka yang kau abaikan dan bagi laut yang kau pagar.
Kembalilah baskara, akan kupertontonkan penderitaan kami. Jika suatu saat kamu kembali dan merindukan betapa indahnya lautan di kala kita masih belum mengerti banyak hal, aku harap perasaan itu bertahan selama-lamanya. Aku tidak akan memintamu untuk menyesal. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ada nyawa yang kamu tenggelamkan dan juga luka yang kamu ciptakan. Jika ada waktu, berdirilah di tepi laut lalu dengarkan debur ombak yang menyapu sela-sela jemarimu. Rasakan itu dan ingatlah bahwa itu adalah suara ibuku dengan penantian semunya, dan juga suara orang-orang yang kamu khianati.
Jika surat ini sampai padamu, aku ingin kamu membacanya dengan sisa perasaan yang kamu miliki.
Pelita.