Thursday, March 13, 2025

Cerpen Pagar Laut | I Gusti Ngurah Rizky Wicaksana | Tidak Ada Pepes Ikan untuk Hari Ini


“Bu, ini sudah 2 minggu penuh tapi kenapa ibu masih menjual pepes tahu?” Anita melenggang ke dapur dan mendapati ibunya yang tengah memasukan belasan buah tahu kedalam baskom. Sebuah pemandangan yang masih mengherankan bagi Anita karena sang ibu tidak lagi berdagang pepes ikan yang biasa selalu dijajakannya. Padahal pepes ikan yang dibuat ibunya itulah yang menjadi kuliner primadona diantara warga desa tempat mereka tinggal sehingga lebih membawa keuntungan bagi mereka. Oleh sebab itu, kenyataan bahwa ibunya sudah berbanding setir untuk berdagang pepes tahu yang bahkan selalu tersisa banyak itu membuat Anita khawatir.

“Di pasar sudah nggak ada yang menjual ikan lagi, An. Kalaupun harus langsung ke desa lain, jaraknya jauh dan harganya lebih mahal disana.” Ibunya menghela nafas panjang saat memberikan penerangan pada anak semata wayangnya itu. “Walau kadang-kadang pepes tahunya tersisa banyak seenggaknya bisa kita jadikan lauk makan malam.”

Anak perempuan itu membisu mendengar jawaban ibunya yang kali ini menumbuk tahu sampai halus dengan sendok sayur. Mulutnya gatal ingin melontarkan pertanyaan lagi, “Kenapa tidak ada lagi ikan yang dijual di pasar Bu?” Namun kalimat itu hanya ia kunci sendiri karena sudah melihat raut wajah ibunya yang begitu lelah.

Desa pemukiman Anita sendiri berada di daerah pantai yang masih begitu asri. Oleh karena itu, sebagian besar warga disini menjadikan lautan dan pantai sebagai mata pencaharian mereka. Bukan pemandangan yang baru bagi Anita apabila setiap harinya ia melihat nelayan berlalu lalang di jalan, para pedagang menjual makanan dan oleh-oleh olahan laut, sisanya berbudidaya rumput laut hingga melakukan penangkaran penyu. Maka dari itu, Anita menjadi keheranan karena hampir semingguan ini tidak ada satupun pedagang di pasar yang menjajakan ikan atau udang sekalipun. Padahal selama sebulan ini di daerahnya juga masih begitu cerah sehingga apapun yang menjadi alasan tidak adanya pasokan ikan, maka bukanlah karena cuaca. 

Tidak hanya itu saja, sejak keanehan tidak ada ikan yang dijual di pasar. Ibunya juga melarang Anita untuk bermain ke pantai meskipun ibunya juga mengetahui, bermain ke pantai setiap akhir pekan pagi adalah rutinitas Anita. Bahkan ketika ia selalu menanyakan alasannya pada ibunya itu, jawabannya akan selalu sama. “Sedang ada masalah di pantai, nanti kamu nggak akan suka melihatnya.”

Ibunya juga tidak peduli meskipun ia sudah memberikan bermacam-macam alasan seperti ia merasa bosan di rumah, teman-temannya lebih sering bermain di pantai, atau sekadar hanya mencari udara bebas. Meskipun begitu Ibu Anita juga memiliki alasan yang bisa dipertimbangkan. Ia tahu anak perempuannya itu memiliki jiwa sensitif dan memiliki keinginan yang idealis sehingga melindunginya dari hal yang dapat mengganggu pikirannya, dinilai sebagai pilihan yang tepat.

“Hari ini kamu bantu saja Ibu masak ya.” Ibunya beranjak dan membawa baskom berisikan tahu lebur yang sudah dibumbui. Ia hanya melirik datar anaknya itu yang kini tengah bercemberut lesu. Anita yang merasa pasrah hanya bisa mengikuti ibunya menuju dapur tetapi pandangannya teralihkan menuju pemandangan luar jendela yang terbuka.

Tiba-tiba telepon rumah berdering, membuat ibunya harus meninggalkan panci yang sudah ditaruh diatas kompor. “An, tolong masukan air ke pancinya ya!” Anita mengawasi ibunya kini bergegas mengangkat telepon di ruang kamarnya. Anak perempuan itu menoleh ke langit biru yang tersibak melalui jendela. Senyum jenaka terlukis di wajahnya saat ia terpikirkan untuk mencari tahu sendiri situasi yang mengusik pikirannya.

Beberapa menit kemudian, ibu Anita kembali melenggang ke dapur setelah berbicara cukup lama dengan siapapun di telepon tadi. “An, kalau airnya sudah mendidi-“ perkataan sang Ibu terhenti ketika mendapati putrinya sudah tidak ada di dapur.

***

Jalan aspal yang bertemu dengan hamparan pasir putih membuat Anita merasa senang sekali ketika ia melenggang disana. Ia sudah mulai mencium bau lautan yang begitu akrab dengannya. Dengan sumringah, ia mempercepat langkahnya menuju pantai tempat ia biasa menghabiskan waktunya. Anita tidak sabar untuk menjumpai pasir putih hangat, bentangan air biru jernih, dan teman-temannya yang biasanya selalu ada disana.

Hanya beberapa langkah lagi dan ia sudah sampai. Namun bukan rasa bahagia yang ia harapkan saat sampai di pantai itu melainkan perasaan bingung dan risih. Pantai yang sebelumnya begitu cantik kini dipenuhi oleh kapal-kapal nelayan seakan terdampar begitu saja disana. Tidak hanya itu, ia juga melihat sebuah pemandangan aneh lain yang berada di lepas pantai. Sebuah susunan kayu yang terlihat seperti pagar tertancap dan membentang luas secara horizontal.

Hal-hal yang ingin ia jumpai nampak sudah lenyap dari kenyataan saat Anita menemukannya. Bahkan ia tidak melihat satupun temannya yang seharusnya sedang bermain di pantai seperti yang biasa mereka lakukan di minggu pagi. Sesaat Anita terpikirkan, “Mungkin Ibu memang benar, disini memang ada masalah..”

Anita menyapu pandangannya ke seisi pantai sembari berjalan-jalan, berharap akan ada setidaknya satu hal yang menarik agar pelarian dirinya dari larangan sang ibu tidak sia-sia. Kemudian ia melihat kerumunan orang banyak yang tengah berkumpul di sebuah pondok besar yang berdekatan dengan wilayah warung. Anita berusaha untuk melihat lebih jelas dan menyadari bahwa kerumunan tersebut terdiri dari para nelayan. Sebagian terduduk di pondok tersebut dengan hening sementara sisanya menyisap kopi di area warung. Satu hal Anita yang tangkap dari persamaan mereka adalah raut wajah yang nampak sedang merenungkan sesuatu.

Salah-seorang dari nelayan itu tampak menyadari keberadaan Anita, matanya terkejut saat melihat anak perempuan itu tengah sendirian mengamati dari kejauhan. Dengan perasaan risau nelayan itu menghampirinya secara tergesa-gesa dan kemudian disadari oleh Anita. Dirinya ikut terkejut saat mendapati bahwa nelayan itu adalah Pak Maulana. 

Anita memang sudah akrab betul dengan sosok nelayan yang satu itu, dikarenakan beliaulah yang kerapkali menawarkan ikan hasil tangkapan ke ibunya dengan harga yang lebih murah daripada yang dijual di pasar. Pak Maulana sendiri merupakan sosok pria yang Anita lihat selalu memiliki sifat antusias dan senyum yang hangat. Namun hal tersebut tidak ia temukan di raut wajah beliau saat ini.

“Neng, kenapa kesini sendirian saja??” Pria itu berlutut untuk menjumpai wajah Anita lebih jelas. “Bapak sendiri juga kenapa kumpul-kumpul disini? Bukannya Bapak sudah harus pegi menangkap ikan?” Anita membalas dengan pertanyaan kembali, tanpa berusaha menyinggung.

Pak Maulana hanya menghela nafas panjang mendengar pertanyaan anak itu. Sama seperti Ibu Anita, Pak Maulana juga memandang Anita sebagai anak kecil yang memang suka menuntut jawaban. “Sayangnya sampai sekarang nelayan nggak bisa berlayar, Neng. Susah karena ada pagar laut yang menghalangi itu,” ujar Pak Maulana, jarinya menunjuk pada bentangan kayu yang tertancap di air laut tersebut.

Anita menoleh pada arah yang ditunjuk dan mulai mengerti. Jadi itu yang dinamakan pagar laut, bagi Anita bilah-bilah kayu itu lebih terlihat seperti kurungan konyol yang merusak pemandangan pantai. Namun tentu saja, ia perlu mencari tahu lebih banyak tentang hal itu. “Memang pagar laut itu sendiri fungsinya untuk apa, Pak? Dan sudah dari kapan pagar laut itu ada disana?” Anita kembali menyerbunya dengan pertanyaan susulan.

“Pagar laut itu biasanya dipasang untuk mencegah ombak tinggi, Neng. Jadi kalau ada arus yang besar bisa langsung dipecah oleh kayu-kayu itu, tapi kalau untuk yang ini..” Pak Maulana menghentikan kalimatnya, tatapannya memandang resah pada pagar laut yang terpasang itu. Anita yang melihatnya langsung menatap khawatir, “Tapi yang ini, apa Pak?”

“Pagar laut yang satu ini dibangun tanpa ijin dulu bahkan meski sudah diprotes baik-baik sama warga sekitar. Tujuan dari pagar laut itu sendiri dibangun juga nggak dikasih tahu secara jelas oleh pihak nggak bertanggung jawab itu.” Nada bicara Pak Maulana hampir meninggi seolah ingin menggertak, tatapannya kini berganti kesal pada pemandangan pagar laut itu. Namun seketika ia menyadari bahwa Anita masih bersamanya. Dengan menarik nafas panjang ia memaksakan senyum pada anak itu.

“Sebaiknya Neng pulang aja sekarang, disini masih banyak masalahnya.” Tangan kasar nelayan itu mengelus tegar bahu Anita. “Tapi.. Bapak dan nelayan-nelayan yang lain bagaimana? Kira-kira pagar itu akan dicabut kapan, Pak?” Kekhawatiran terdengar begitu jelas dari suara Anita, membuat Pak Maulana terus tersenyum lembut padanya.

“Untuk soal itu pasti akan ada jalan keluarnya kelak. Pihak-pihak berwenang juga sudah tahu akan masalah ini jadi cepat atau lambat semuanya akan baik-baik saja, Neng.” Anita yang mendengarnya masih merasa pesimis akan keadaan ini tetapi mau tidak mau ia membiarkan perkataan Pak Maulana menenangkannya sementara.

Beberapa saat kemudian, Anita memilih untuk kembali pulang kerumah karena perintah dari Pak Maulana sendiri. Ia berkali-kali menoleh ke arah lepas pantai, berharap pagar laut itu dapat langsung lenyap saat itu juga. Ia tidak bisa membayangkan pantai tempat dirinya menemukan kebebasan dan keceriaan kini sudah tidak ada lagi, entah sampai kapan. Anita ingin sekali menepis adanya kemungkinan ia tidak akan pernah bermain di pantai ini lagi. Pantai yang bertempat di daerah rumahnya sendiri.

Namun ada satu hal yang tidak bisa ditepiskan Anita dari situasi saat ini. Tidak akan ada lagi ikan yang dijual di pasar sampai waktu yang ia sendiri tidak bisa prediksi. Tidak akan ada lagi pepes ikan nikmat buatan ibunya yang juga sekaligus kunci rezeki mereka. Ia bisa membayangkan dirinya akan makan malam bersama ibunya dengan pepes tahu yang tersisa banyak karena tidak laku dan uang hasil dagang yang tidak seberapa. Ditambah dengan jeweran sang ibu yang kemungkinan tengah menanti dirinya pulang karena sudah kabur dari rumah tanpa izin.