Thursday, March 13, 2025

Cerpen Pagar Laut | Vito Prasetyo | Tidak Biru Lagi Lautku


   Awalnya Randu tidak mengerti, meski ia sehari-hari bekerja sebagai reporter di sebuah media. Berita tentang pagar laut lagi viral di pelbagai media. Apalagi media, tempatnya bekerja lebih didominasi oleh berita-berita hiburan. Dan  ini sangat wajar, tetapi sebagai seorang jurnalis minimal tahu sedikit berita itu. Setelah mendengar cerita kawan-kawannya sesama jurnalis, ia baru sadar. 

   Ingatan Randu menjelajah belasan tahun silam. Randu dibesarkan di kampung pesisir, yang memang tidak asing lagi dengan suasana pantai dan riuh ombak. Ia ingat betul, keadaan sehari-hari di rumah, setiap makan tidak pernah lepas dari ikan sebagai lauknya. Bapaknya Randu bekerja sebagai nelayan. 

   “Buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi, bapakmu ini hanya seorang nelayan. Tidak sanggup membiayai kuliah kamu.” Randu ingat betul perkataan bapaknya kala itu. 

   Tetapi kata-kata itu membuat hasrat Randu seakan bara api yang membakar keinginannya. Memang tidak mudah, tapi apakah salah jika anak seorang nelayan bisa meraih cita-citanya, dan keluar dari tembok-tembok kemiskinan. Lantas nanti, biaya dari mana untuk mencukupi kebutuhan kuliahnya? 

   Sebagaimana rata-rata nelayan, mereka berani memapas ombak dengan perahu kecil, demi mempertahankan hidup. Ambisi keberanian itu yang membuat Randu semakin optimis, buat apa jadi nelayan jika tidak berani mengarungi lautan. Apa pun risikonya harus tetap yakin. 

   Ada yang menyisakan sesak di dada Randu, tatkala ia nekat pergi meninggalkan kampung dan keluarganya. Bapaknya mengancam Randu, tidak boleh lagi pulang ke rumah, jika tetap bersikukuh untuk kuliah. Bagi Randu, membebaskan pikirannya dari kungkungan tradisi adalah jalan untuk maju. Hidup memang harus memilih, meski pilihan itu terasa pahit. 

   Ketika Randu berpamitan ke ibunya untuk pergi ke kota, tampak terlihat betapa guratan mata perempuan itu begitu tegar. Bagi Randu, ibunya adalah sosok tangguh yang tidak pernah menampakkan kesedihannya di hadapan anak-anaknya. 

   “Tidak ada yang bisa Ibu titipkan buatmu, Anakku, selain doa.” Randu beranjak, pergi dari rumahnya, hingga kelak ada gumpalan rindu yang membekap dadanya, untuk kembali melihat rumah dan kampung-halamannya. Entah itu kapan! 

   Kepergian Randu seakan diiringi sorak kebebasan dari suara ombak, yang membentangkan pesisir pantai di kejauhan rumah Randu. Itu yang membuat Randu tidak ingin menoleh sedikit pun, meski ada keinginan untuk melihat wajah ibunya dari jauh. Biarkan langkahnya  meninggalkan jejak di tanah-tanah yang mungkin esok dihapus hujan. 

   Kota Jakarta, potret kehidupan yang menyimpan peristiwa suka dan duka, seakan tidak bersahabat dengan kehadiran Randu. Hidup ini tidak hanya sekadar susunan kata-kata. Dan kita senantiasa terjebak serta dihadapkan pada pilihan-pilihan yang serba rumit. Hanya ada satu cara untuk mengubah susunan itu. Sebab kata-kata seperti sebuah permainan, bagaimana kita mengurutkan huruf mulai dari A hingga Z.

   Dimulai tidur di emperan, pasar, terminal, dan juga stasiun, Randu mulai merasakan kerasnya kehidupan. Untuk mewujudkan cita-citanya, Randu bekerja apa saja, yang penting bukan pekerjaan yang tidak halal. Akhirnya Randu bisa kos. Apa saja dilakukannya, mulai jualan koran, mengumpulkan barang-barang bekas, atau terkadang ikut jadi kuli bangunan. Segala peluang usaha dimanfaatkan Randu dengan serius. 

   Lamunan Randu tersentak. Masa lalu begitu pahit untuk dikenang. Tiba-tiba, Arsy mengagetkan Randu. Kini, Randu sudah merasa nyaman dengan hiruk-pikuk ibukota. Ia telah memiliki banyak teman dan sahabat. Mungkin Tuhan sengaja mengirimkan Arsy untuknya. Seorang perempuan yang telah sukses, dan kini begitu dekat dengan Randu. 

   “Apa yang kamu pikirkan Randu?” 

   “Eh, tidak ada. Aku Cuma ingat orangtuaku di kampung.” 

   “Lantas, kenapa kamu tidak pulang kampung dan menjenguk mereka?” Randu hanya menggeleng, sorot mata Randu terasa kosong. Arsy seakan menangkap sebuah pesan dalam pikiran Randu, meski ia tidak mampu membaca pikiran Randu. Ada kisah pilu yang dipendam Randu, dan mungkin itu tidak akan diceritakan kepada siapa-siapa. 

   Arsy mulai mengalihkan pembicaraan. Randu merasa berhutang budi kepada Arsy. Jikalau ia tidak dipertemukan dengan Arsy, mungkin kehidupan Randu masih terseok-seok. Bisa jadi, ia putus kuliah dan tidak bekerja seperti saat ini. Tapi Arsy selalu membesarkan hati Randu, Tuhan tidak pernah salah menentukan takdir seseorang. Justru kini Randu harus berbuat sesuatu untuk mencari jalan keluar bagi nelayan di kampungnya. Randu yakin sekali, persoalan “pagar laut” pasti berdampak bagi kehidupan keluarganya dan warga kampung, yang sehari-harinya menjadi nelayan. 

   Berita-berita tentang pagar laut kian ramai, dimana-mana jadi perbincangan. Apa yang disaksikan Randu selalu menambah pertanyaan masyarakat luas. Pertanyaan itu begitu gamang. Apakah permasalahan pagar laut bisa tuntas? Kenapa orang tidak memikirkan, siapa yang menanggung beban kerugian para nelayan akibat pembatasan pagar laut tersebut. Masyarakat pesisir yang selalu saja pada posisi dirugikan, yang sebagian besar dari mereka buta hukum. 

   Tidak bisa tertahan lagi, dendam di dada Randu begitu menggumpal. Ia harus segera pulang, melihat kondisi orangtuanya. Lantas Randu menemui Arsy, menyampaikan maksudnya untuk pulang ke kampung besok pagi. 

   “Ternyata engkau bisa berubah pendapat, itu yang aku harapkan jawabanmu kemarin.” Randu hanya tertunduk, tak mampu menatap wajah Arsy. 

   “Besok kita berangkat bersama. Aku juga ikut ke kampungmu.” Randu ingin membantah.

   “Tapi.....” Jawaban Randu langsung dipotong Arsy.

   “Persoalan yang akan kamu hadapi, tidak semudah seperti dalam pikiranmu.” Arsy kembali menegaskan. 

   Saat berangkat menuju Kemiri Tangerang, ke kampung Randu, Arsy tidak hanya berdua dengan Randu. Ternyata Arsy membawa rombongan beberapa orang. Rombongan mereka sejumlah 3 mobil. Randu merasa seperti seorang pejabat, yang harus dikawal oleh para pengawal. Randu meyakini jika Arsy memiliki kolega yang banyak. Mulai dari pengacara, wartawan, hingga keamanan. Selama berteman dengan Randu, perempuan itu tidak pernah menceritakan siapa dirinya. Randu hanya tahu, rumah Arsy di Jakarta di kawasan perumahan elite. Pastinya ia orang kaya, mungkin punya jabatan. Mungkin juga orangtuanya sangat kaya. 

   “Arsy, seandainya nanti di kampung kita harus menginap, orang-orang ini mau tinggal dimana?” Randu ingin pastikan orang-orangnya Arsy tidak sampai terabaikan di kampungnya nanti. 

   “Tenang saja, semua perlengkapan sudah siap, mulai dari logistik makanan sampai tenda besar.” Jawab Arsy mematahkan keraguan Randu. Mobil yang satunya memang khusus untuk mengangkut perlengkapan. 

   “Yang paling penting kita pikirkan, bagaimana menyusun strategi jika ternyata apa yang kita hadapi jauh dari kalkulasi kita. Tetapi paling penting, bagaimana kita berikan solusi bagi nelayan dan keluarganya, akibat dampak dari persoalan pagar laut tersebut. Terutama kelangsungan hidup mereka sehari-hari.” Randu hanya mendengarkan, tanpa membantah sedikitpun.

   Perjalanan ke Kemiri Tangerang terasa begitu tegang. Entah apa penyebabnya. Seperti ada firasat buruk di ingatan Randu. Arsy yang sedari tadi memperhatikan sikap Randu, lebih banyak diam, khawatir kalau mengusik lamunan Randu malah menjadi salah paham. 

   Begitu sampai di depan rumahnya, dada Randu terasa begitu sesak. Rumah itu tampak kian reot. Sepi dan seakan menyimpan luka. Tiba-tiba seorang gadis membuka pintu dan tatapannya seakan menohok ke mata Randu. Ia mencoba menerka orang yang ada di depannya. 

   “Akang Randu....” 

   “Iya... Kamu... Rani?” 

Pertemuan itu begitu dramatis. Mereka berpelukan. Tidak terasa hampir 12 tahun mereka berpisah. Di sudut mata Rani tiba-tiba mengalir butiran air bening. Isak tangis pun pecah, mata Randu pun terasa sembab. Sesaat kemudian, seorang perempuan yang sudah kelihatan tua keluar dari kamar belakang. Penglihatannya mulai kabur, hampir saja ia tidak mengenali kalau yang datang itu adalah anaknya sendiri. 

   “Ibu......” Randu langsung memeluk ibunya. 

   Sekian lama, Randu tidak pernah bertemu keluarganya. Ia tidak tahu kalau bapaknya telah meninggal 2 tahun lalu. Perahu peninggalan bapaknya disewakan kepada orang lain, demi menyambung hidup bagi ibu dan adiknya, Rani. Seminggu ini, para nelayan tidak lagi melaut, sejak pagar laut dipasang. Mereka tidak sanggup melaut, karena hasil panenan ikan tidak cukup untuk membeli bahan bakar. 

   Untungnya rombongan Arsy membawa logistik berupa sembako, untuk membantu keluarga nelayan di sekitar wilayah Kemiri. Arsy berharap, mereka bisa mendapatkan informasi tentang masalah ini melalui penduduk sekitar. Sayangnya, mereka semua bungkam, tidak berani bicara. Di beberapa tempat, di kecamatan lain, mereka juga sulit mendapatkan informasi. Semua tutup mulut, dan merasa takut. 

   Arsy dan rombongannya yang ikut terdiri dari jurnalis, LSM dan pengacara, seakan sia-sia mencari informasi. Bahkan, di beberapa wilayah yang didatangi, warga setempat mencurigai kedatangan rombongan Arsy sebagai bagian dari komplotan kapitalis. Mereka tidak bisa bertahan lama di Kemiri. Hanya 3 hari, dan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. 

   Bisa jadi, Arsy memutuskan kembali ke Jakarta karena ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Terkadang sulit membedakan sebuah pilihan. Antara melakukan misi sosial secara profesional dan sebuah harapan cinta, yang belum dan tidak pernah diungkapkan. Entah apa yang membuatnya tertarik dan ingin memiliki perasaan Randu. 

   Kemarin, saat Arsy mengobrol bersama Randu dan ibunya, sempat ditanyakan Ibunya Randu. 

   “Randu, apakah Arsy ini calon istrimu?” 

Di saat bersamaan Randu dan Arsy menjawab.

   “Tidak, Bu.” Jawab Randu. 

   “Iya, Bu.” Jawab Arsy. 

   Mereka saling bertatapan satu sama lainnya. Selama ini, apakah Randu tidak menyadari perhatian Arsy yang begitu besar kepadanya. 

Arsy hanya berkata singkat ketika kembali ke Jakarta. 

   “Semua warga yang kita temui, semuanya tutup mulut. Itu artinya lawan kita punya kekuatan besar. Dan itu pasti tidak jauh dari penguasa.” 

   Dalam perjalanan pulang, mereka seperti pulang dalam kekalahan. Pertempuran sejati, yang tidak pernah dilakukan. Dan ombak, yang tidak akan bisa meninggalkan lautan. Pikiran dan hati Arsy berada di antara ombak dan laut. Apakah pagar laut itu hanya bagian dari sebuah permainan. Antara rasa adil dan tidak adil. Dan Arsy belum sanggup bersikap adil dengan pikirannya sendiri. Mungkin, perjalanan ini tidak untuk menunda kekalahan. Sayup-sayup seakan terdengar senandung “tidak biru lagi lautku”. 

***