Lautan terbentang luas membiru di depanku, ditemani ombak mengeluarkan suara dentuman bising yang menenangkan di telingaku. Hembusan napas kukeluarkan memandang pemandangan yang enggak semua orang bisa menikmati sore nan damai ini. Siapa yang tega merusak laut yang hanya memberi hal baik kepada makhluk bumi.
Aku lahir dan besar di pesisir pantai ini, keindahan alam yang selalu kujaga, kuperhatikan dan kusyukuri. Sesekali aku ikut bapak menangkap ikan di malam hari, yang akhirnya ikan-ikan itu dijual kepada pedagang untuk dinikmati manusia. Inilah mata pencaharian keluargaku dan lebih dari setengah penduduk desa ini. Kami mengais rezeki dari laut, tapi kami tak pernah mengganggu dan merusaknya. Laut yang mengamuk, tenang, pasang, surut biarlah apa adanya.
Di sini aku masih betah memandang deburan ombak dengan langit perlahan berubah oranye, memantulkan cahayanya yang indah ke lautan. Semua ini bisa dinikmati tanpa harus dirusak ataupun diubah. Perasaan yang berharga tak bisa dibeli, hanya bisa bersyukur dan syukur. Aku lega walaupun belum tuntas perkara pagar laut, yang tidak jelas siapa pelopor pembuatnya. Tidak ada yang tau niat orang-orang itu. “Ini perintah dari atas.” “Atas siapa?” “Siapa yang lebih atas dari ini semua?”
Aku kembali terlempar mengingat hal-hal sebulan ke belakang. Di saat libur semester aku baru saja pulang ke rumah di desaku yang udah lima bulan lebih kutinggalkan.
“Raja mau ke mana? Baru sampai kok udah mau pergi aja.”
“Mau ke tepi pantai buk, udah lama jadi kangen mau merasakan suasana dan angin sepoi-sepoi di pantai.”
“Aaa Ikut, tungguin aku kak” Teriak adikku paling kecil, Raka namanya.
Belum sempat ibu menyahut, aku langsung bergegas pergi sambil tersenyum ke ibu. Melihat itu ibu hanya menghela napas melihatku yang mulai menjauh mendekati pantai, dengan Raka yang berlarian mengekor di belakangku. Aku melangkahkan kaki berpijak di pasir dan air laut yang mengenai telapak kakiku. Memandang laut dan melihat sesuatu yang tak pernah aku menemukannya seumur-umur. Di sana kelihatan pagar-pagar, pagar bambu yang kuperkirakan berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai.
“Jangan heran kak, ini udah hampir 4 minggu mereka membangun pagar di laut, aku juga bingung untuk apa pagar-pagar itu.”
Aku mencerna ucapan Raka dan mendekati sebuah perahu yang berisi bambu di dalamnya yang lagi menepi.
“Pak lagi ngapain? Untuk apa pagar-pagar itu dibuat di desa kami?”
Bapak yang kelihatannya berusia 40-an tahun itu, tidak terlalu menghiraukan tapi masih membalas perkataanku.
“Kamu enggak tau, ini kan untuk desa ini juga, untuk kebaikan warga-warga desa. Pagar ini akan dibuat sampai ke desa seberang.”
“ Apa? Untuk apa pagar bambu sepanjang itu. Ini aja udah mengganggu pemandangan, enggak hanya itu, bukannya untuk kebaikan tapi malah merusak ekosistem laut dan menyusahkan warga desa yang ingin melaut.”
Aku menatap bapak itu, yang langsung menyeberangkan perahunya menuju pagar laut yang udah terbangun hampir 3 km. Aku enggak habis pikir, capek di badanku karna habis melakukan perjalanan 6 jam ke kampungku sudah menguap ntah ke mana. Aku pun tergesa pergi ke rumah ingin bertemu bapak.
Tiba-tiba teriakan Raka kembali terdengar, “Kak kenapa sih buru-buru amat, tungguin kak.”
Aku hanya menggelengkan kepala, mendengar teriakan Raka, yang udah kesekian kalinya. Dari kejauhan Aku melihat bapak sedang menjemur jaring-jaring di belakang rumah, segera kupercepat langkahku.
“Bapak, aku lihat pagar di laut, sebenarnya pagar laut dari bambu itu untuk apa? Kenapa mereka membangunnya di desa kita? Malah katanya ini untuk kebaikan warga lagi.”
“Kurang tau juga Raja, soalnya mereka sangat tertutup, memberikan penjelasan singkat- singkat, tapi masuk di akal sama warga desa, makanya mereka bisa membangun tanpa diganggu warga.”
“Pak ini kalau dilanjutkan pasti akan menyusahkan kita sebagai nelayan, bukan hanya kita yang kesulitan untuk melaut tapi dampaknya terhadap ekosistem laut juga sangat besar.”
Aku menatap bapak yang sedang menerawang, ntah apa. Aku pun mengusulkan ke bapak untuk bertemu kepala desa dan mengumpulkan warga malam ini juga. Aku ingin memberikan pencerahan sebelum pagar laut itu semakin panjang terbangun, yang akan tambah menyulitkan nantinya.
Setelah pertemuan antar warga malam itu, para tetua akhirnya sepakat untuk melaporkan pagar laut yang tidak wajar dan tidak jelas asal muasalnya dari siapa. Keesokan harinya tanpa menunggu sesuai kesepakatan kemarin aku ikut dengan kepala desa untuk melaporkan ke aparat berwenang, yang jaraknya 1 jam perjalanan dari desa kami, dengan harapan dapat segera ditindak lanjuti.
Pagi ini setelah 3 minggu berlalu pasca pelaporan ke dinas kelautan dan perikanan, aku mendapatkan kabar kalau pagar laut itu ilegal tanpa adanya izin resmi dan sudah dilakukan penyegelan. Aku berlari ke arah pantai memandang pagar-pagar yang masih tertancap kokoh dan melangkahkan kaki ke perahu Bapak untuk menyeberangi laut ke pagar bambu ingin melihat wujudnya lebih dekat. Angin cukup kencang pagi ini, Aku membawa perahu dengan hati-hati mendekati pagar bambu, menimbang-nimbang dengan rakitan bambu yang udah ditancapkan, pagar-pagar ini tidak bisa aku sendiri yang melepasnya harus gotong royong bersama warga. Aku memutuskan kembali ke tepi pantai untuk pergi ke rumah kepala desa.
Sekarang aku sudah sampai dan duduk di ruang tamu dengan Pak kepala desa di depanku yang sedang menyeruput kopi hitam.
“Pak, pagar laut itu bagaimana kelanjutannya? Apa bisa kita inisiatif sendiri untuk mencabut pagar bambunya.”
“Bapak juga mau pagar bambu di laut cepat dicabut, tapi tunggu 4 hari lagi Raja, karna polisi juga akan datang untuk mengawasi pencabutan pagar-pagar itu.”
Aku memahami dan mengobrol santai sebentar sebelum pamit pulang ke rumah. Aku sekarang berjalan pulang melewati jalan yang cukup sepi di bawah terik panas matahari. Aku tau semua orang ingin limpahan rezeki berupa uang dan keuntungan, tapi jika jalan yang dipilih menyusahkan manusia lain, mengubah alam yang akan merusaknya tentu ini salah, lebih-lebih keserakahan.
Aku baru sampai ke rumah memanggil Hena adik perempuan ke duaku yang sedang mengambil piring-piring seperti ingin makan bersama.
“Mau ke mana Hena? Bawa piring sebanyak itu.”
“Ayok kak, kita mau makan bersama. Bapak sama Ibu udah di belakang, kami nungguin kakak lho.”
Aku mengekori Hena menuju belakang rumah yang udah ada Raka, Bapak dan Ibu sedang membakar ikan. Ibu yang melihatku langsung menyuruh untuk duduk karna ikannya bentar lagi matang. Raka yang paling kecil begitu sigap mengambil piring untuk meletakkan ikan bakar yang beraroma sedap.
“Raja, kamu habis pakai perahu Bapak, ya?”
“Iya pak, aku tadi ke pagar bambu mau melihat lebih dekat, karna belum pernah.”
“Hmm semoga pencabutan pagar-pagar itu bisa berjalan lancar dan enggak ada kejadian begini lagi di daerah mana pun.”
“Aaminn, udah ayok makan. Sepertinya Ibu seumur-umur enggak pernah mendengar pendirian pagar laut, bisa jadi ini malah pemagaran laut pertama di dunia.”
Semuanya hanya menggelengkan kepala, tapi bisa jadi benar. Hanya Raka yang tertawa-tawa, ntah apa makna yang lucu dari perkataan itu.
Dari hari rabu hingga kamis sudah selesai pencabutan pagar-pagar laut di desa. Selama 2 hari ini, aku begitu semangat bersama warga melepaskan semuanya. Sekarang aku masih betah memandang lautan luas tanpa ada penghalang, menikmati sunset yang indah. Aku mulai berdiri melangkah ke deburan ombak, merasakan air laut menyentuh telapak kaki. Sayup-sayup dari kejauhan terdengar teriakan Raka yang memanggil dan lama-lama ia semakin dekat.
“Kak, betah banget dari tadi di sini. Ayok cepat pulang, dengar kan tuh udah azan magrib.” Ujar Raka yang udah berdiri di sampingku.
“Iya, bawel.” Sambil merangkul Raka, berlari semakin menjauh dari tepi pantai, menyisakan samar-samar suara deburan ombaknya.
Walaupun masih belum jelas siapa pelopor pembangunan pagar laut di desaku, semoga tidak ada kejadian lagi di mana pun. Alam yang kita tempati dan hidup harus dijaga, bukan hanya persoalan ekonomi, tapi keberlanjutan ekologi yang harus dipikirkan.
***