Aku duduk di pinggir pantai seraya menatap ke arah laut. Ada sebuah pemandangan yang mengganggu diriku. Terdapat deretan tiang bambu yang terbentang dari ujung timur sampai ke ujung barat. Tiang – tiang bambu yang tertancap di laut tersebut membentuk sebuah pagar. Keberadaan dari pagar di laut tersebut membuat para nelayan di desaku kesulitan untuk menangkap ikan di tengah laut.
“Siapa coba yang membangun pagar gak guna seperti itu?” ucapku dalam hati.
Kemunculan pagar laut tersebut juga membuat ayahku jarang pergi melaut––yang secara langsung membuatku tidak bisa ikut pergi ke laut. Aku benar – benar bosan tidak bisa melakukan sesuatu selain duduk – duduk di pantai, menatap pagar laut yang ada di depanku.
“Hey! Kamu sedang apa?” Temanku yang bernama Bagas tiba – tiba duduk di sampingku.
Aku menoleh kepadanya. “Sedang menatap pemandangan baru di desa kita.”
“Ohh, pagar laut misterius itu,” kata Bagas, menatap ke arah depan, “aku penasaran siapa yang memasangnya.”
“Bikin susah para nelayan di sini!” ucapku kesal.
“Daripada cuma duduk – duduk gak jelas, mending kita cari kerang aja,” ajak Bagas.
“Baiklah,” sahutku sembari bangkit berdiri.
Aku dan Bagas berburu kerang di dekat pagar laut hingga sore hari. Aku iseng – iseng mencoba menguji kekuatan dari pagar laut ini dengan menggoyang – goyangkan tiang bambunya.
“Ternyata kokoh juga,” ucapku dalam hati.
“Ngapain kamu?” tanya Bagas, penasaran.
“Cuma iseng aja,” jawabku sekenanya.
Setelah terkumpul satu karung, aku dan Bagas membawanya ke pengepul untuk kami jual. Dari tempat pengepul, aku kembali ke pinggir pantai untuk sekedar duduk – duduk menatap ke arah di mana pagar laut berada. Ingin sekali bisa kembali berlayar ke tengah laut, berburu berbagai macam hewan laut yang bisa dijual di pasar.
***
Hari demi hari, pagar laut tersebut semakin panjang. Bahkan aku mendengar kalau panjangnya sudah mencapai 30 km. Yang membuatku bingung, kapan pagar laut itu dipasang, dan siapa yang memasangnya.
“Susah juga yaa.” Bagas tiba – tiba muncul di sampingku.
“Kamu bikin kaget saja!” kataku.
“Sekarang kita cuma bisa berburu kerang yang ada di dekat pantai,” ujar Bagas.
“Seandainya kita bisa merobohkan pagar laut tersebut,” ucapku sambil menyilangkan tangan di depan dada.
“Agak mustahil menurutku,” kata Bagas. “Aku sangat yakin seseorang atau beberapa orang akan menghentikan kita tepat ketika kita mencoba mencabut satu batang bambu itu,” lanjutnya.
“Terus … kita harus bagaimana?” tanyaku dengan wajah pesimis.
Bagas menghela nafasnya. “Kita hanya bisa pasrah saja. Emangnya siapa kita? Kita hanya orang kecil.”
“Kamu benar,” sahutku, menundukkan wajah.
Sekitar jam 10 malam, aku keluar dari kamar untuk minum. Secara tidak sengaja, aku mendengar suara percakapan dari luar rumah. Aku berjalan mendekat ke asal suara percakapan, ternyata ayah dan ibuku yang sedang bercakap – cakap. Aku yang penasaran memutuskan untuk mendengarkan percakapan mereka sejenak.
“Aku mau buat pengakuan,” ujar ayah, “sebenarnya … aku termasuk salah satu orang yang direkrut untuk membangun pagar laut.”
“Astaga! Kenapa kamu mau – mau aja!” seru ibu dengan nada tidak percaya.
“Karena bayaran per harinya bisa memenuhi kebutuhan harian kita,” jawab ayah. “Uang dari hasil melaut saja tidak sebanyak ini.”
“Bagaimana dengan tetangga – tetangga kita?” tanya ibuku, “mereka jadi kesulitan untuk melaut karena adanya pagar laut itu.”
Aku secara samar – samar mendengar suara tawa kecil dari ayahku. “Mereka juga ikut memasang pagar laut itu,” ucap ayah.
Setelahnya, suasana menjadi hening. Ibuku tidak merespons lagi. Aku tertunduk sambil memejamkan mata. Tidak kusangka ayahku ternyata salah satu yang ikut membangun pagar laut. Bahkan tetanggaku juga turut ikut serta. Aku memutuskan kembali ke kamar untuk tidur.
“Sial! Aku malah gak bisa tidur!” gerutuku.
Aku kepikiran dengan apa yang kudengar tadi. Kalau aku pikir – pikir, apa yang dilakukan oleh ayahku adalah sesuatu yang realistis. Penghasilan dari melaut tidak menentu. Kadang banyak, kadang sedikit, bahkan pernah tidak mendapat penghasilan sama sekali.
“Pantas saja belakangan ini kita sering makan enak,” kataku dalam hati.
***
Seperti hari – hari sebelumnya, aku kembali duduk – duduk di tepi pantai, menatap ke arah laut yang berhiaskan pagar laut. Tatapanku kosong, aku bingung harus melakukan apa. Menerimanya saja terasa tidak benar bagiku. Tetapi kalau mencoba melakukan sesuatu, terasa mustahil. Di saat masih dalam mode melamun, aku samar – samar mendengar suaranya Bagas. Aku menoleh ke belakang, kulihat Bagas sedang berjalan dengan salah satu tetanggaku yang bernama pak Joko.
“Sudah hampir selesai?” tanya Bagas.
“Sedikit lagi,” jawab pak Joko.
Aku diam – diam mengikuti Bagas dan pak Joko dari belakang. Penasaran dengan apa yang mereka obrolkan.
“Berarti kita gak akan dapat bayaran lagi?” tanya Bagas.
“Iya,” jawab pak Joko. “Aku sebenarnya merasa bersalah dengan nelayan yang lain, tetapi bayarannya bisa membuat dapur rumahku terus mengepul.”
Bagas tertunduk. “Benar … aku juga dengan berat hati ikut serta memasang bambu – bambu itu demi bisa makan.”
Aku menghentikan langkahku, tersentak saat mendengar apa yang diucapkan oleh Bagas. Tidak kusangka dia juga ikut serta dalam pembangunan pagar laut yang merugikan nelayan di sini. Aku memutuskan kembali ke tempat biasa untuk merenung.
“Apa yang mereka lakukan jelas salah dan membuat banyak orang susah. Tapi … kalau hanya demi bisa makan, kenapa tidak meminta bantuan dari tetangga atau saudara?” kataku dalam hati. Sudah jelas aku sedih. Kalau dia sedang butuh uang, kenapa tidak cerita kepadaku? Kenapa malah memilih melakukan sesuatu yang tidak benar seperti itu?
“Melamun lagi?” ucap Bagas seraya duduk di sampingku.
Aku kali ini tidak meliriknya. Aku kesal sekaligus sedih dengan temanku ini. “Iya,” jawabku singkat.
“Mau mencari kerang?” tanya Bagas.
“Tidak,” jawabku singkat. “Aku hari ini sedang tidak ada minat mencari kerang.”
“Tumben,” kata Bagas. “Sedang banyak pikiran yaa?”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak apa – apa.”
Bagas menghela nafas. “Yaa udah. Kalau kau mau mencariku, aku ada di warungnya bu Sutarmi.”
Bagas pergi meninggalkan diriku yang melamun menatap ke pagar laut yang ada di depan sana. Angin dari laut berhembus cukup kencang, menerpa diriku yang masih menatap kosong ke arah laut.
“Tidak ada yang bisa aku lakukan,” kataku dalam hati. Aku menundukkan wajahku sambil memejamkan mata, berharap pagar laut tersebut tiba – tiba lenyap seperti asap.
Malamnya, aku bersantai sambil ngemil di warungnya bu Sutarmi. Kemudian, aku melihat ada dua orang masuk dan duduk tidak jauh dariku.
“Jadi … nanti malam tugas lagi?” tanya pria berbaju biru.
“Iya,” jawab rekannya. “Habis ini aku tidur dulu. Biar gak ngantuk nanti.”
Setelahnya, mereka sibuk makan dan tidak mengobrol lagi. Dari pembicaraan mereka, aku langsung tahu kalau kedua pria itu juga terlibat dalam pembangunan pagar laut.
Setelah kedua pria itu pergi, bu Sutarmi menghampiriku. “Saat ini cari uang susah. Jadinya mereka ikut dalam proyek ini demi bisa bertahan hidup.”
Aku sedikit menundukkan kepala. Kemarin ayahku beralasan seperti itu, lalu pak Joko juga melakukannya demi bisa makan. Kalau aku pikir lagi, keberadaan dari pagar laut memang merugikan nelayan. Tetapi, beberapa orang bisa memenuhi kebutuhannya berkat pembangunan dari pagar laut tersebut. Memang mustahil kalau orang kecil seperti diriku mencoba untuk menghentikannya.