Di sebuah desa nelayan di pesisir utara, kehidupan berjalan dengan damai dan tentram. Setiap malam,kapal-kapal kecil melaut, menjemput rezeki yang dititipkan oleh Tuhan lewat laut untuk mereka. Namun, akhir-akhir ini keresahan melanda para nelayan. Sebuah proyek besar bernama "Pagar Laut"dibangun di sekitar perairan tempat mereka mencari nafkah tanpa izin.
"Bagaimana mungkin kita bisa melaut jika akses kita dibatasi?" keluh Pak santo,seorang nelayan tua yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya pada laut.
Anaknya, Ratara yang sejak kecil mengikuti jejak sang ayah, hanya bisa menghela napas. "Pak, apa kita masih bisa menangkap ikan jika laut sudah dipagari seperti itu?, lalu kita harus bagaimana? "kita masih bisa menangkap ikan di laut, hanya saja kita yang biasanya membutuhkan bahan bakar sebanyak 10 liter kini menjadi 20 liter, karena perjalanan kita harus melintasi arah yang berbeda." jawab Pak santo untuk putranya.
Di warung kopi tempat para nelayan biasa berkumpul, pembicaraan soal Pagar Laut menjadi topik utama. Beberapa nelayan mencoba bersikap optimis, sementara yang lain sudah pasrah. Ada juga yang mencoba melawan, namun suara mereka tenggelam di antara kebijakan yang telah diputuskan di meja-meja orang berkuasa.
Riuh suara gelombang menghantam tepian pantai, matahari mulai tergelincir ke ufuk barat, meninggalkan warna jingga yang membias di permukaan laut. Di kejauhan, tampak barisan pagar bambu menjulang dari dasar lautan dengan ketinggian sekitar 3 - 6 meter, sepanjang kurang lebih 30Km membentang sejauh 16 desa.
Suatu malam, Ratara dan beberapa temannya memutuskan untuk pergi ke pantai. Mereka ingin melihat langsung sejauh mana pagar itu dibangun. Dengan perahu kecil, mereka mendayung pelan mendekati perbatasan pagar laut. Dari kejauhan,mereka melihat Bambu-bambu yang menjulang dari dasar laut,terlihat pagar itu memiliki struktur disebut mirip dengan labirin.
"apa tujuan mereka membangun pagar ini di tengah laut?"gumam Raki, sahabat Ratara.
"Mungkin demi sebuah kekuasaan?"timpal Ratara.
Mereka hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat banyak. Keesokan harinya, di balai desa, Dinas kelautan dan perikanan datang untuk berbicara dengan warga.Ia menjelaskan bahwa mereka telah melakukan investigasi sebanyak 4 kali bersama rekan-rekannya namun hasil nya nihil, Pagar Laut itu belum diketahui siapa pelakunya.
"Kami memahami kekhawatiran kalian, kita juga tidak bisa asal bongkar saja," kata pria berbaju rapi itu.
Pak Santo berdiri, suaranya lantang, "Kami bukannya egois, tapi tolong pikirkan juga kami. Kami hidup dari laut, dan kalau pagarnya tidak cepat dibongkar, kami harus bagaimana?"
Dinas kelautan dan perikanan hanya tersenyum simpul dan berjanji akan mencari solusi. Namun, hingga berbulan-bulan kemudian, janji itu tetap janji. Nelayan semakin kesulitan menangkap ikan, ekonomi desa mulai lesu. Beberapa nelayan mulai beralih profesi, menjadi buruh di proyek yang ironisnya justru merenggut sumber penghidupan mereka.
Ratara tidak mau menyerah begitu saja. Bersama teman-temannya, ia mencoba berdiskusi dengan para temannya, mencari cara agar mereka tetap bisa memandangi keindahannya laut tanpa terhalang pagar bambu itu.Sayangnya, usaha mereka hanya sia-sia karena suara mereka yang tidak cukup kuat.
Hingga suatu hari,Pak Umar penduduk desa sebelah sedang duduk di atas perahu kayunya yang mulai lapuk. Tatapannya kosong menatap pagar laut yang kini memagari wilayah perairan desanya. “Dulu, laut ini adalah ibu yang memberi kami makan,” gumamnya. “Sekarang, ia terasa seperti penjara.”
“Ayah, kenapa harus ada pagar di laut?, seharusnya tidak ada yang bisa memagari laut. Bukankah laut milik semua orang? ”tanya Serena, anak semata wayangnya yang berusia tujuh belas tahun. "memang laut itu milik semua orang dan tidak ada yang bisa memagari laut, terkecuali mereka yang merasa dirinya paling berkuasa."Pak Umar menjawab pertanyaan anaknya.
Disisi lain..
Ratara menatap lautan yang kini keindahannya ditutupi oleh pagar bambu. Meski penuh tantangan, ia tahu bahwa mereka harus terus berjuang.Laut telah mengajarkan mereka untuk bersabar, dan kali ini kesabaran mereka sedang diuji dengan adanya pagar di laut yang membuat penghasilan mereka para nelayan menjadi terhambat.
Sejak pagar itu dibangun tanpa tahu jelas siapa pelakunya,kehidupan para nelayan di desa itu berubah drastis. Mereka tak lagi bebas melaut seperti dulu. Ruang gerak terbatas, tangkapan ikan berkurang, dan harga bahan bakar terus naik.terdapat sekitar 3000an nelayan yang terdampak sehingga mengalami kerugian sebesar kurang lebih sekitar Rp.24 Miliar.
Pak santo menepuk bahu putranya yang tengah melamun ditepi pantai,mencoba untuk mencairkan suasana,“sudahlah,tidak perlu dipikirkan terlalu keras tentang pagar laut itu Tara, seharusnya kita berdoa saja kepada tuhan.”
“Tapi Ayah,Ratara sangat penasaran dengan pelakunya.” Ratara menatap ayahnya.
Pak santo menghela napas,karena Ia bingung harus bicara apalagi kepada putranya.
Di warung kopi, para nelayan ramai membicarakan nasib mereka. “Aku dengar di desa sebelah, ada yang tahu tentang pagar itu,” kata seorang nelayan dengan suara berbisik.
Pak Santo hanya diam. Ia tahu betul bagaimana rasanya berhadapan dengan orang yang serakah. Beberapa kali ia melihat temannya kekurangan pangan karena hasil tangkapan yang menurun drastis.
Suatu malam, saat bulan bersinar terang di langit, Pak Santo memutuskan untuk menemui Pak Umar di desa sebelah. Ia tahu bahwa Pak Umar adalah seorang nelayan yang memiliki wawasan yang sangat luas, tujuannya menemui Pak Umar adalah untuk meminta solusi mengatasi pagar laut ini sebagai sesama nelayan. Sesudah selesai meminta solusi, Pak Santo pun kembali kerumahnya,ditengah perjalanan Pak Santo terus saja memikirkan nasib para teman nelayannya. Sedangkan sang pelaku yang merencanakan pembangunan pagar laut ini, sedang membincangkan proyeknya bersama rekan-rekannya, "bagaimana proyek kita? "Tanya pelaku yang bernama agung”. "sepertinya tidak lama lagi proyek kita akan dibongkar pak. "ucap cemas seorang karyawan proyek”.
"Ayah!" suara yang entah dari mana datangnya.
Pak Agung menoleh kearah suara tersebut yang ternyata adalah anak perempuannya Monica, yang sangat disayanginya. "Ayah,kenapa ayah tega memagar laut yang sudah jelas itu adalah sumber penghasilan para nelayan di desa itu”. "kesal Monica yang tahu keserakahan ayahnya”.
" tapi, Ayah sudah memiliki sertifikat laut itu." tanggapan Agung kepada Putrinya.
"Sertifikat?,sertifikat legal yang ayah maksud?"emosi Monica dengan senyum menyeringai ayahnya. " Sudahlah,lagi pula pagar itu juga akan segera dibongkar oleh pemerintah"ucap Agung dengan santai. Monica yang kecewa dengan sikap egois Ayahnya pun pergi meninggalkan tempat Ayahnya berada.
Disaat yang sama, Serena yang sedang berada di kamar memikirkan siapa pelaku yang membantu pembangunan pagar ini. "Siapa ya yang mendirikan pagar di laut itu,bisa-bisanya tidak ketahuan oleh warga.Tidak mungkinkan jin yang mendirikan pagar di laut."Gumam Serena sendiri di kamarnya.
Keesokan harinya,datanglah seorang yang sangat ditunggu kehadirannya dengan beberapa petugas keamanan negara berkumpul di balai desa,mereka datang bertujuan untuk membongkar pagar yang menjadi penghalang bagi penduduk yang berprofesi sebagai nelayan.
Mendengar hal itu,para nelayan merasa harapannya Bangkit kembali,Senyuman bahagia mulai terlukis di wajah nelayan desa,kini ibu yang memberi makan mereka akan kembali,dan tempat bergantungnya hidup mereka tidak akan seperti penjara lagi.
Pembongkaran laut itu pun berlangsung selama 10hari, setelah pagar laut itu berhasil dibongkar ternyata ujung bambu yang tadinya ditancapkan pada dasar laut membawa banyak sekali kerang hijau,padahal kata para nelayan kerang itu sangat susah didapatkan.
Apakah ini muzizat dari tuhan?
Selesai sudah pembongkaran pagar laut itu, kini para nelayan sudah bisa berlayar dengan bebas dan bisa mencari ikan yang sangat banyak lagi. Ratara, Raki, dan Serena sedang duduk bersama ditepi pantai sambil melihat pemandangan laut yang kini sudah kembali keindahannya.
Tak disangka ternyata Putrinya Agung (pemilik pagar laut) adalah teman mereka, Monica ikut bergabung bersama mereka dengan wajah yang merasa bersalah,karena sebenarnya Mereka berempat adalah teman sejati. "mm..,maaf ya,karena aku tidak bisa melarang ayahku,keluarga Kalian dan seluruh penduduk desa mengalami kesulitan yang sangat berat. "Ucapan maaf dari Monica, karena merasa tidak enak sebab ulah Ayahnya yang serakah. "ini bukan salahmu Mon, jangan merasa bersalah begitu ya" kata serena menepuk bahu Monica. "benar yang dikatakan Serena, jangan merasa bersalah Mon,karena yang harusnya minta maaf itu Ayah kamu "Sambung Raki.
"Ayahmu harus segera meminta maaf kepada warga yang terkena dampak dari pagar laut ini" sarkas Ratara kepada Monica.
"sudahlah, ayo kita bersenang-senang" ajak Serena.
Serena menarik tangan teman-temannya untuk mendekati laut dan bermain air bersama.
pada akhirnya mereka dan seluruh penduduk di desa merasa bahagia,dan desa pun kembali tentram.