Malam di pesisir Tanjung Pasir selalu diselimuti desir angin dan bau garam yang tajam. Ombak berkejaran dengan ritme yang konstan, seperti nyanyian alam yang menenangkan. Namun, sejak pagar laut raksasa berdiri membentang di cakrawala, lautpun tak lagi sama.
Orang-orang pesisir mulai bercerita tentang
suara aneh yang datang dari arah pagar laut. Denting logam yang beradu lembut
dikejauhan, seperti suara genta yang ditiup angin. Beberapa nelayan bersumpah
pernah mendengar nyanyian lirih dari tengah laut, seolah-olah ada sesuatu
dibalik pagar yang ingin didengar.
Ayu, merupakan gadis yang lahir dan besar di
kampung nelayan, tak pernah percaya pada takhayul. Baginya, laut adalah tempat
kehidupan, bukan rumah bagi hantu atau dewa- dewa yang diceritakan oleh orang
tua. Tapi semua itu berubah ketika ayahnya, Pak Wira, hilang tanpa jejak di
suatu malam yang gelap dan berangin.
Malam itu, Ayu terbangun karena mendengar
suara besi bergetar. Ia berlari keluar rumah dan melihat langit di atas laut
berpendar kehijauan. Kapal ayahnya yang berangkat senja tadi belum juga
kembali. Nelayan lain yang melaut malam itu kembali dengan wajah pucat. Mereka
berkata bahwa Pak Wira pergi mendekati pagar laut dan setelah itu tak ada yang
tahu apa yang terjadi. Tak seorang pun berani mencari.
Seminggu setelahnya, Ayu bertemu dengan Raka,
seorang peneliti oseanografi yang dikirim pemerintah untuk mengawasi dampak
pagar laut terhadap ekosistem. Raka awalnya skeptis dengan cerita tentang suara
nyanyian dan hilangnya nelayan, tapi ketika mereka berlayar ke perbatasan
pagar, keduanya mendengar suara sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sebuah
lantunan mendayu, bukan dari angin, bukan pula dari ombak.
“Apa itu?” bisik Raka.
Ayu tak menjawab. Ia merasakan sesuatu di air,
sebuah getaran halus yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sejak kecil ia memiliki
kelebihan, sebuah kemampuan yang bisa mendengar bisikan halus dari laut,
seperti sebuah intuisi yang membisikkan hal-hal yang tidak terlihat. Dan kali
ini, laut seakan mencoba berbicara kepadanya.
Mereka mendekat, dan saat itulah mereka melihatnya, di balik pagar laut, bayangan raksasa berkelip di kedalaman, seakan menunggu. Ayu menatap makhluk itu dalam-dalam. “Ia bukan hanya legenda, ia nyata” kata Ayu dalam hatinya. Sang penjaga lautan, makhluk raksasa yang menjaga keseimbangan lautan terperangkap di balik pagar besi yang dibuat oleh manusia.
Tiba-tiba, arus di sekitar mereka berubah, air
mulai bergejolak. Ombak berputar seperti pusaran raksasa dan pagar laut yang
menjulang tinggi bergetar. Dari kedalaman, suara itu semakin jelas terdengar di
telinga Ayu, nyanyian panjang yang terdengar seperti ratapan.
“Laut sedang berontak…” bisik Ayu.
“Kita harus melakukan sesuatu sebelum
terlambat,” kata Raka.
Ayu teringat cerita lama yang sering ia dengar
dari para nelayan tua di Tanjung Pasir. “Laut punya penghuninya sendiri. Jika
keseimbangannya diganggu, ia akan membalas.” Dan itulah sekarang yang terjadi.
Ayu berlutut, mencelupkan tangannya ke air. Ia
tak tahu harus bagaimana, tapi ia merasa bisa mendengar sesuatu, sebuah getaran
dalam air yang bukan berasal dari mesin atau ombak.
Nyanyian itu semakin jelas. “Arus bawah laut…”
bisik Ayu.
Raka menatapnya. “Apa maksudmu?”
Ayu menarik napas pelan. “Laut terkurung
terlalu lama. Jika kita bisa membebaskan arusnya, laut akan mengambil alih.”
Raka terdiam. “Tapi bagaimana caranya?”
Ayu menatap makhluk raksasa di kedalaman. Ia
cepat mengambil keputusan tanpa berpikir panjang. Sebelum Raka sempat
menghentikannya, ia melompat ke laut.
Di dalam air, Ayu melihat mata hijau besar
menatapnya dari kedalaman. Seperti mata sosok orang tua yang telah hidup selama
berabad-abad, penuh dengan kebijaksanaan dan kesedihan.
Ayu tak takut sedikitpun, kemudian ia
mengulurkan tangannya. “Bantu kami,” kata Ayu dalam hatinya.
Pada saat itu juga, laut bereaksi. Arus yang
selama ini terhenti mulai bergerak liar. Ombak bergulung-gulung, menghantam
pagar laut dengan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pagar itu
bergetar. Besi mulai berderak, menciptakan suara yang menggema di seluruh
lautan.
Lalu dengan gemuruh yang mengguncang, pagar
laut runtuh seketika.
Arus laut yang tertahan selama bertahun-tahun
akhirnya kembali mengalir. Laut yang sebelumnya terkurung kini bebas. Tapi saat
itu juga, pusaran air terbentuk, menarik segalanya ke kedalaman. Dan Ayu,
berada tepat di tengahnya.
Raka berteriak. “AYU!”
Tapi gadis itu telah lenyap di dalam laut.
Di kedalaman, Ayu merasa tubuhnya tenggelam.
Tapi tidak ada rasa takut sedikitpun. Ia melihat siluet manusia, mereka yang
selama ini hilang. Wajah-wajah nelayan yang tak pernah kembali.
Dan di antara mereka… Sosok lelaki tua.
“Ayah…” Ayu memanggil dalam hatinya.
Pak Wira menatapnya dengan tersenyum lembut.
Tapi saat Ayu ingin meraihnya, tubuh ayahnya mulai memudar, seperti debu yang
larut dalam air.
Ayu berusaha menahannya, tapi ayahnya
menggeleng pelan.
“Laut telah mengambilku…Tapi kamu masih bisa
kembali.” Lirih ayahnya.
Seketika air mata Ayu menetes bercampur dengan
garam laut. Ia ingin tinggal, ingin menyatu dengan laut, dengan mereka yang
telah hilang.
Tapi tangan raksasa itu tiba-tiba
menyentuhnya. “Kau sudah menyelamatkan lautan.” Bisiknya.
Dan sebelum ia sempat menjawab, cahaya terang
menyelimuti dirinya.
Ayu terbangun di tepi pantai. Angin laut
menerpa wajahnya dan suara burung camar memenuhi udara.
Terlihat di cakrawala, pagar laut tak lagi
berdiri. Yang tersisa hanya reruntuhan besi yang perlahan tenggelam ke dasar
laut.
Raka duduk di sampingnya, menatapnya dengan lega “Kau hampir mati…” suaranya serak.
Ayu menatap laut. Airnya lebih jernih dari yang pernah ia lihat sebelumnya. Ia tahu ayahnya telah pergi. Tapi laut telah mengembalikannya.
Dan nyanyian besi itu, tak akan pernah
terdengar lagi.
Ayu terdiam, membiarkan angin laut menerpa
wajahnya. Dadanya naik turun, masih mencoba memahami kenyataan bahwa ia masih
hidup. Di sampingnya, Raka masih terengah-engah, tetapi senyum lega terukir
diwajahnya.
Namun, sesuatu terasa kosong.
Ia menoleh ke lautan yang kini terbentang luas
tanpa penghalang. Ombak bergerak bebas, seakan menghela napas setelah sekian
lama tertahan. Tetapi dibalik kebebasan itu, ada kehilangan menggores hatinya.
Ayu berjalan ke pantai, air laut menyentuh
kakinya, dingin namun menenangkan. Ia memejamkan mata, membiarkan suara ombak
mengisi dadanya yang sesak. Dan saat itu juga ia mendengar suara yang begitu ia
rindukan.
“Kau sudah melakukannya, Nak. Aku bangga
padamu.”
Ayu tersentak, matanya mencari-cari, tetapi
hanya lautan yang terhampar di depannya.
Air matanya menggenang, jatuh bercampur dengan
buih ombak. “Ayah…” suaranya lirih, bergetar di antara hembusan angin.
Ia tahu, ayahnya tak benar-benar kembali. Ia
tersenyum tipis di antara air matanya. Laut telah mengembalikan sesuatu yang
lebih besar, bukan hanya kebebasan, tetapi juga kehidupan yang dulu hampir
hilang.
Raka berdiri di sampingnya, menatap langit
yang mulai bewarna keemasaan. “Kita berhasil, Ayu.”
Ayu mengangguk pelan, “Laut yang berhasil,
kita hanya mendengarkannya.”
Di kejauhan, perahu-perahu kecil mulai
berlayar kembali. Nelayan yang dulu mengeluh karena hasil tangkapan mereka
menurun, kini bisa kembali melaut tanpa halangan. Ayu melihat seorang anak
kecil berdiri di atas perahu, melambai ke arahnya dengan wajah yang penuh
harapan. Mungkin itu adalah putra seorang nelayan, yang selama ini
bertanya-tanya mengapa ayahnya pulang dengan jala kosong.
Sekarang lautan telah menjawab.
Ayu menghela napas panjang, merasakan aroma
asin yang terasa lebih segar dari sebelumnya.
Raka menatapnya dengan mata penuh pemahaman.
“Kau tahu? Dulu aku berpikir laut adalah sesuatu yang bisa dikendalikan. Tapi
ternyata, kita yang seharusnya mendengar apa yang diinginkan.”
Ayu mengangguk, tatapannya tetap pada ombak
yang berkejaran. “Laut tidak pernah meminta kita untuk menjaganya. Ia hanya
berharap kita tidak menghancurkannya.” Ia kini mengerti bahwa lautan bukan
hanya sekadar tempat kehidupan, tetapi juga memiliki banyak misteri daripada
yang pernah ia bayangkan. Laut telah berbicara dan ia telah mendengarnya. Ayu
kembali memejamkan matanya, membiarkan suara ombak memenuhi hatinya.
Kali ini, nyanyian laut bukan lagi ratapan.
Tetapi lagu kemenangan.