Konon tembok yang membentang luas itu dibangun selain difungsikan sebagai seawall juga untuk pagar gaib. Katanya, ada sesosok penjaga di pagar laut itu. Pria bersurai panjang dengan pakaian serba hitam. Seorang raja kerajaan Tanjung Biru yang memiliki ambisi kekuatan dan keabadian hingga rela mengorbankan nyawa rakyatnya.
Prabu itu menyulik bayi dan daun muda di waktu sang surya tenggelam dan melaksanakan ritualnya tepat tengah malam di malam Jumat Kliwon. Semenjak itu banyak warga yang mendengar tangisan bayi dan jerit kesakitan seorang gadis. Lalu akhir-akhir ini ditemukan jasad wanita mengambang di bibir pantai tepat. Mereka percaya itu adalah perbuatan dari Prabu Tanjung Biru yang masih haus akan kekuatan.
“Dari percakapan dengan tetua adat tadi. Gue bisa ambil kesimpulan, cerita tentang Prabu Kawangga Banaspati yang terobsesi kekuatan dan keabadian itu benar adanya. Tapi, mayat cewek ngambang itu baru ditemuin dua tahun lalu.” Evan membuka diskusi.
“Gue tadi pergi ke kantor polisi sama ke warga sekitar. Kata polisi belum pernah ada laporan dari warga Tanjung Biru dan kata warga beberapa kali mereka melapor ke polisi tapi tidak ada respon sama sekali.” Arul ikut nimbrung.
Semua terlihat jelas. Aku sebagai Kapten Tim Pancasila Intelejen Unit (PIU) langsung mengeluarkan titah yang langsung diangguki oleh dua pria ini.Huh. sepertinya ini cukup menarik.
*
Buntut keluhan nelayan membawaku dan rekan PIU pada misi ini. Aku menatap selidik pada gelombang samudra yang terbentang luas dan ganas. Segala jenis spekulasi negatif masuk begitu saja. Aku memindai sekitar dengan awas saat mendengar suara tanpa wujud. Apa benar kalau seawall ini angker?.
“Pulanglah. Sebentar lagi petang. Kau dilarang mengunjungi pantai disaat sandekala, bukan?” Tatapan pria itu menatap lurus samudra.
Siapa pria ini? Surai panjang berantakan, baju serba hitam. Otakku langsung bekerja keras. Mungkinkah dia, “Siapa namamu?”
“Aswatama.” Balasnya datar. Aku benafas lega. syukurlah aku kira Prabu Kawangga Banaspati.
“Kenapa kau tidak percaya akan omongan masyarakat? Bisa saja memang benar Prabu Kawangga yang menculik dan membunuh mereka.”
“Prabu Kawangga memang orang yang haus kekuatan dan keabadian. Tapi aku yakin dia tidak seserakah itu.” balasku mantap.
*
Walaupun merinding sekujur tubuh, aku menyeret Evan untuk datang ke pembatas. Suara tangis dan rintihan mengiringi langkah kami. Meskipun bulu kuduk merinding aku dan Evan terus melangkah pada sumber suara. Sesampainya di seawall Evan menyelam. Selang beberapa menit dia kembali dengan tape waterproof yang menempel pada pagar laut ini. Tape itu mengeluarkan bunyi suara tangisan bayi dan jeritan wanita.
Aku menyeringai. Sesuai dugaan!
*
Hari terus berganti. Seperti sebuah kebiasaan aku dan Aswatama selalu berakhir duduk diatas pembatas laut. Pria misterius itu banyak membantuku. Aku mengerjap saat earpiece ditelingaku mengeluarkan suara Evan yang menginformasikam ada orang yang mematai-mataiku. Sebagai agen profesional aku langsung tanggap. Berakting , menyanyikan lagu acak yang ada di kepala. Ekor mataku menangkap Aswatama yang menatapku bingung dan bertanya. Sial! Aku lupa kalau Aswatama tidak tahu apa-apa. Tergesa, aku genggam tangan besarnya dan aku tatap wajah kakunya. Dengan ekspresi penuh penghayatan akhirnya aku berhasil mengelabui warga yang curiga dengan sebuah lagu viral berjudul ‘Lamunan.’
*
“Setelah gue selidiki ternyata yang memata-matai lo itu, Pak Djadi.”
“Siapa itu Pak Djadi? Kenapa penyamaran kita bisa terendus?” tanyaku dan Arul menyengir kuda. Aneh.
“Gue kemarin hampir ketahuan pas memata-matai tuh orang,”
Arul yang memiliki kepekaan tingkat dewa itu merasa diantara para warga, Pak Djadi adalah warga yang paling tidak wellcome. Ekspresinya sinis penuh permusuhan. Setelah Arul menyelidiki Pak Djadi, dia mengambil kesimpulan bahwa jasad gadis malang yang ditemukan di laut itu bukan ulah Prabu Kawangga Banaspati. Pak Djadi adalah dalang dibalik semua kemalangan desa ini. Usai berdiskusi panjang kami memutuskan untuk melaporkannya terlebih dahulu pada pusat serta meminta bantuan berupa senjata dan personil tambahan. Sambil memakan mie rebus aku melihat video yang diambil Evan. Kejadian sore tadi memberi butterfly effect pada perutku. Namun keningku langsung mengeryit saat menatap kamera Evan yang hanya menampilkan diriku seorang.
“Van, jahat lo! Masa Aswatama enggak dimasukin video,”
“Aswatama siapa?”
“Run, lo jangan gila deh. Gue disana ngeliat lo cuman sendirian ya!”
“Jangan-jangan pria yang lo lihat itu Prabu Kawangga Banaspati, Run.”
*
Bebrapa hari aku mangkir dari mengunjungi seawall. Aku belum siap bertemu Aswatama atau Prabu Kawangga Banaspati. Hati dan pikiranku berantakan mengetahui fakta itu. Entah apa yang salah. Akhirnya, sore ini aku memutuskan untuk pergi menyusuri bibir pantai. Di pantai pun aku kembali melihatnya yang tengah berdiri dengan gagah diatas karang. Aku penasaran jika dia abadi, kenapa dia tidak terlihat. Hanya aku saja yang bias melihatnya.
“Karena hanya kau yang aku hendaki.” aku terkejut. Dia tiba-tiba ada di sebelahku.
“Karuna, jadilah jantungku, yang hanya akan berdetak untukku.” Lanjutnya .
“Hah?”
“Ini adalah titah raja. Dan kau wajib menurutinya, Karuna.” Dan aku hanya tersenyum.
*
DORR!
Aku terus menyerang. Bunyi tembakan tadi adalah pertanda jika pertempuran antara tim gabungan dan komplotan Pak Djadi dimulai. Aku terus memberikan serangan pada mereka. Kondisi kapal begitu porak-poranda. Sangat kacau. Melayangkan beberapa tembakan aku terus berlari saat di kepung anak buah Djadi itu. Cih! Sukanya main keroyokan.
Byurr!
Terdesak, aku menyeburkan diri, aku memiliki rencana lain. Melawan dinginnya lautan aku terus menyelam. Menghampiri kapal lawan. Tanganku cekatan mengotak-atik awak kapall. Setelah berhasil, aku bersembunyi dibalik karang besar. Seseorang berteriak memanggil namaku. Aku melihat Arul dan kapalnya mendekat. Gegas aku berenang kearahnya. Kami mengamati kapal besar itu, aku yakin jika pertempuran sengit sedang terjadi di dalam sana.
“Evan, Wildan, Pak Hadi, buruan naik! Kapal itu akan segera tenggelam.” Arul berteriak. Dan langsung direspon Evan. Lalu Wildan dan Pak Hadi menyusul setelahnya. Kami semua akhirnya tersenyum lega saat kapal itu perlahan-lahan termakan ganasnya gelombang. Saat kapal benar-benar akan tenggelam, Pak Djadi muncul. Dengan seringai iblisnya, m Pak Djadi melemparkan gumpalan menyerupai bola yang kita ketahui itu adalah bom. Tidak ada waktu lagi untuk menyelematkan diri. Hah. Mungkin ini akhirnya tapi aku yakin, aku dan semua tim PIU bahagia. Setidaknya, laut Indonesia baik-baik saja. Pandanganku terarah pada pagar laut.
“Aku mencintaimu, Prabu Kawangga.”
DUAARR!!
*
“Siapa yang mengizinkanmu pergi begitu saja, Diajeng. Kita akan tetap bersama. Kau pikir jikalau kau mati kau tidak bisa hidup kembali? Cih, kau lupa kalau aku adalah Kawangga Banaspati. Maka abadilah bersamaku.