"Tolong ... tolong ...."
Dalam kegelapan malam, angin laut berhembus kencang menerpa wajah Sonia—seorang gadis yang kini hanya membeku di tempatnya berdiri. Suara lirih itu terus saja memasuki indra pendengar, seakan memohon pada dirinya akan suatu hal. Sayangnya, ia tidak bisa menemukan apa pun selain debur ombak yang perlahan menerpa kaki dan membelai dinginnya kulit.
"Tolong ... tolong ...."
Gadis itu tidak tahu sudah berapa lama dirinya berada di sana, tubuhnya kaku tanpa bisa melakukan apa-apa, tetapi yang ia sadar, ini semua hanya fatamorgana. Sonia memang sering kali mengalami lucid dream, kondisi di mana seseorang dapat mengendalikan mimpi atau mengubah sesuatu dengan sepuas hati. Namun, yang terjadi pada Sonia belum sampai tahap tersebut, karena di dalam bunga tidur itu, ia hanya diperlihatkan petunjuk mengenai suatu kejadian.
"Tolong ... tolong ...."
Samar-samar, suara itu mulai menghilang, tergantikan oleh gemuruh ombak yang membentuk gelombang disertai kilat saling menyambar. Sonia masih tak mampu bergerak, bahkan untuk melangkah mundur pun kakinya seolah tertahan oleh sebuah alasan. Di tengah gulungan dahsyat itu, ia menangkap bayangan orang-orang yang berusaha mencapai permukaan air, tetapi nihil.
Sebelum gelombang perlahan mereda tenang, dari kejauhan sana Sonia dapat melihat tatapan nyalang menusuk ke arahnya penuh kemarahan. Tanpa sadar gadis itu mulai menitikkan air mata, karena ia tidak mungkin bisa menghentikan kuasa Tuhan, sehingga orang-orang itu akhirnya tenggelam, hilang dibawa ombak.
Mimpi tersebut membuat dadanya sesak ketika berhasil membuka mata. Ia tidak tahu apa maksud dari itu semua. Sonia mengusap wajah, terdiam sejenak memikirkannya.
Tak lama kemudian, alarm berbunyi nyaring, ternyata ia bangun lebih awal dibanding biasanya. Sonia beranjak dari tempat tidur, lantas mengambil handuk dan berniat membasuh diri, berharap bunga tidur tadi tidak mengganggu aktivitasnya yang akan dimulai hari ini.
Setelah beberapa menit, Sonia sudah selesai bersiap dan melangkah keluar kamar, menghampiri sang ayah yang fokus menonton siaran berita. Sonia beralih mengambil camilan di atas meja dan memakannya sebagai sarapan ringan. Ia tidak bisa makan berat di pagi hari, jadi lumayan untuk mengganjal perut menunggu siang tiba.
"Lagi dan lagi, pemerintah berlaku seenaknya pada rakyat, bahkan setelah didemo pun bukannya sadar, justru makin tidak punya akal. Para pendemo dipukuli aparat, dilempari gas air mata, dan ini, berita terbaru menyatakan ada beberapa aktivis yang menghilang."
Sonia menyimaknya. "Diculik ya, Yah?"
"Diculik dan dihilangkan, seperti yang sudah-sudah."
Sang gadis berhenti mengunyah, ia menatap ayahnya dengan serius. "Kalau udah kena tangkap, berarti besar kemungkinannya nggak bakal balik lagi? Apa mereka udah nggak punya harapan sama sekali?"
"Kita cuma bisa berdoa dan berharap keajaiban Tuhan. Makanya, dari awal kamu masuk kuliah, Ayah tidak mengizinkan kamu untuk ikut turun aksi, karena Ayah takut seperti kejadian ini."
Layar televisi sudah berganti iklan, kemudian sang ayah mematikannya dan membalas tatapan Sonia. "Dengar, Son. Para korban aparat itu hidup matinya tidak bisa tenang. Mereka dibungkam, diperlakukan layaknya binatang, kemudian dihilangkan dengan cara apa pun, entah dibuang ke dasar jurang atau ditenggelamkan ke dasar lautan. Sebab itu arwahnya dipenuhi dendam."
Jeda sejenak, sang ayah kembali melanjutkan saat anaknya hanya diam tanpa memberi tanggapan. "Beberapa tahun ke belakang, lebih sering korban berjatuhan akibat ombak yang terus menerjang salah satu kawasan, tapi tidak ada satu pun media yang meliput berita tentang hal itu. Kamu tahu kenapa?"
Sonia menggeleng pelan, menunggu jawaban.
"Karena semua orang tahu di dalam laut itu, ada jiwa yang tidak terima kehidupannya dirampas paksa. Mereka menarik para manusia untuk ikut ditenggelamkan."
Bukan hanya raga, tetapi juga aliran darah dalam diri Sonia seakan ikut terhenti tatkala mendengar penjelasan barusan. Pikirannya kembali melayang pada mimpi semalam, di mana orang-orang tenggelam dan meminta pertolongan. Apakah semua itu kebetulan? Tentu saja tidak. Setelah menerangkan soal kejadian kelam pada anaknya, sang ayah juga mengajak Sonia di kemudian hari untuk pergi ke tempat yang dimaksud.
***
"Ayah, kenapa lautnya di pagar?" Sonia kebingungan melihat sekelilingnya, di sepanjang jalan dari mulai memasuki area pantai, ia bisa melihat pagar yang terbuat dari bambu terbentang entah sampai mana. Gadis itu kemudian menengok ke arah sang ayah, bertanya sekali lagi, "Kenapa, Yah? Buat apa semua ini?"
Sementara itu, ayahnya hanya tersenyum teduh sambil memandang perairan yang terhalang pagar. "Ada gerbang pembatas antara darat dan lautan. Tapi, lebih dari kamu pikirkan, batas lain sebenarnya ada tepat di depan mata."
Sonia sejujurnya tidak begitu paham, namun ia tetap berusaha menyimak.
"Jiwa-jiwa yang sudah mati hanya mencari pelampiasan atas kemarahan masa lampau. Mereka menarik para manusia menuju jurang terdalam, menenggelamkan kehidupan, membungkam semua mulut yang berteriak lantang. Persis dengan apa yang terjadi pada negara ini, rakyat kecil seperti kita tidak akan didengar oleh para petinggi. Mereka terus membungkam bahkan menindas kita dengan kejam, hanya untuk sebuah kekuasaan."
Seperti yang diberitakan akhir-akhir ini, semuanya tentang kebusukan pemerintah, mereka tidak peduli kepada kaum di bawahnya, keegoisan terus menguasai demi kepentingan sendiri. Jiwa-jiwa yang terpaksa mati di sana, tidak bisa menerima jika para penguasa itu hidup dalam kesejahteraan setelah mengambil banyak nyawa dan dihanyutkan bersama darah yang tersisa.
Ingatan sang ayah berkelana pada masa-masa sebelumnya. Bukan tanpa alasan ia melarang Sonia untuk ikut serta bila ada demo tentang hal apa pun, karena ia sudah mengalami dan tahu sendiri seberapa jahat orang yang memiliki jabatan tinggi. Satu per satu pejuang harus gugur, membuat ia serta beberapa yang tersisa akhirnya terpaksa mundur.
"Puluhan tahun berlalu, korban kemarahan laut terus meningkat seiring dengan kebejatan pemerintah yang tak kunjung hilang, sampai mereka berlutut memohon ampun atas segala kesalahan. Maka dari itu, pagar laut ini diciptakan, agar tumbal pelampiasan tak lagi berjatuhan. Selayaknya jeruji besi yang mengurung para penjahat, mereka juga harus menanggung apa yang telah diperbuat, ganjaran alam, hidup dan mati, harus tetap dijalankan."
Ada sorot kesedihan yang dapat Sonia tangkap dari netra sang ayah. Ia juga bisa merasakan bagaimana sulitnya keadaan, meskipun tak mengalaminya secara langsung. "Tapi, Yah, apa jaminan dari pagar laut ini? Apa mereka yakin nggak bakal mengusik lagi?"
"Pagar ini sudah dikunci oleh seseorang, sehingga mereka yang ada di sana tidak lagi keluar dan membawa kehidupan manusia masuk bersama," jawab sang ayah.
Sonia akhirnya mengangguk paham. Ia hendak berjalan mendekati pagar laut itu, tetapi sang ayah langsung menghentikan langkahnya dan buru-buru mengajak pulang. Gadis itu menurut. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik sekali lagi, angin laut seketika menerpa wajah dan menerbangkan rambutnya yang bergelombang. Ia merasa dejavu, apalagi ketika terdengar sayup-sayup suara yang berasal dari tengah laut, membuat Sonia kembali terpaku.
"Tolong, tolong bebaskan kami ...."
Sonia tidak pernah tahu jika ia adalah harapan bagi jiwa-jiwa yang terkurung di sana, karena kemampuan tidak biasa, ia bisa saja melepas kunci dan mengeluarkan mereka semua. Untungnya, Sonia hanya menganggap itu sebagai angin lalu, jika sang ayah tidak menahan ia saat hendak menuju pagar laut, kekacauan baru mungkin akan jauh lebih parah.