Langit senja membentang di atas Laut Selatan, mencerminkan warna merah saga di permukaan air yang tenang. Di ujung dermaga, seorang lelaki tua berdiri dengan tatapan kosong. Tangan kasarnya menggenggam pukat yang tak lagi bisa ia gunakan. Di depan matanya, pagar beton menjulang tinggi, membatasi laut yang seharusnya menjadi miliknya.
"Laut itu dulu rumah kami... Sekarang, hanya jadi pemandangan yang bisa kami lihat dari jauh," desah Pak Wira, nelayan tertua di kampung itu. Suaranya parau, seperti dihempas angin laut yang kehilangan kelembutannya. Sebelum pagar itu ada, laut adalah sumber kehidupan bagi warga Kampung Bahari. Setiap pagi, perahu-perahu kecil berangkat ke tengah lautan, mencari ikan, menyambung hidup. Ombak menjadi irama yang menemani kehidupan sehari-hari. Para nelayan mempersiapkan jaring mereka sebelum subuh, menyusuri laut yang luas tanpa batas. Kampung ini telah ada selama puluhan tahun, diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, semua berubah ketika proyek reklamasi dimulai. Pada awalnya, warga hanya mendengar desas-desus. Beberapa mengatakan bahwa pemerintah akan membangun pelabuhan modern, yang lain percaya bahwa tanah mereka akan dibeli dengan harga tinggi. Tetapi tidak ada yang menyangka bahwa kampung mereka akan dipagari dengan tembok beton setinggi tiga meter, menghalangi mereka dari laut yang menjadi sumber kehidupan. "Pembangunan ini demi kemajuan," kata pejabat kota waktu itu. "Akan ada pelabuhan besar, kawasan wisata, dan lapangan pekerjaan untuk kalian."Namun, janji tinggal janji. Perlahan, batasan mulai muncul. Awalnya hanya patok kayu di sepanjang pantai. Lalu pagar kawat, hingga akhirnya tembok beton tinggi. Para nelayan tidak lagi bisa melaut. Mereka yang mencoba, diusir oleh satpam proyek atau perahu patroli. Laut, yang dulu memberi mereka makan, kini menjadi wilayah eksklusif perusahaan.
Pak Wira, seorang nelayan tua, adalah yang paling vokal menentang proyek ini. Ia telah melaut sejak kecil, belajar dari ayahnya cara membaca angin dan arus. Baginya, laut bukan hanya mata pencaharian, tapi juga rumah. "Bagaimana mungkin kita dilarang mendekati laut kita sendiri?" katanya kepada warga yang berkumpul di balai desa. Di sisi lain, Bram, pemuda yang baru kembali dari kota, melihat situasi ini dengan perspektif berbeda. Awalnya, ia hanya merasa marah dan frustrasi melihat kampung halamannya berubah. Namun, setelah berbicara dengan para nelayan, ia mulai memahami bahwa ini bukan sekadar konflik tanah, melainkan perebutan hak hidup. Dengan pengalaman belajarnya di bidang hukum, ia mencoba mencari celah untuk menggugat proyek tersebut. Namun, melawan perusahaan besar bukanlah perkara mudah. "Kita harus melakukan sesuatu, Pak Wira," ujarnya pada lelaki tua itu. "Kalau kita diam, laut ini akan benar-benar hilang. "Pak Wira tersenyum miris. "Kita hanya nelayan, Nak. Mereka punya uang, punya kuasa. Apa yang bisa kita lakukan?" Bram tahu, takut itu bukan tanpa alasan. Beberapa nelayan yang dulu protes malah dipanggil polisi, dituduh melanggar aturan. Ada yang kehilangan pekerjaannya, ada yang terpaksa pindah karena tak lagi punya harapan di sini. Namun, Bram tidak menyerah. Malam itu, ia mengumpulkan para pemuda kampung di gubuk kayu dekat pantai. Mereka duduk melingkar, menatap lembaran kertas penuh coretan rencana. "Jika kita diam, kita akan kehilangan semuanya," ujar Bram tegas. "Tapi jika kita bertindak, setidaknya kita punya harapan." Seorang pemuda mengangkat tangan. "Tapi bagaimana? Polisi ada di mana-mana. Perusahaan punya banyak pengacara. "Kita suarakan ke media. Kita buat dunia tahu apa yang terjadi di sini," kata Bram. "Jika kita bisa menarik perhatian masyarakat luas, mereka tidak bisa terus menutup mata."
Rencana dimulai. Dengan peralatan seadanya, mereka merekam kehidupan di kampung, merekam wajah-wajah nelayan yang kehilangan mata pencaharian. Video mereka menyebar cepat di internet. Orang-orang mulai berbicara, media datang meliput. Suara mereka yang selama ini ditenggelamkan akhirnya didengar.
Di sisi lain, Pak Wira semakin sering termenung. Ia mengenang masa kecilnya, saat laut adalah rumah yang terbuka, tanpa batasan. "Dulu, ayahku bilang, selama kita tahu cara membaca ombak, laut akan selalu memberi," gumamnya suatu malam saat duduk di tepi dermaga. "Tapi sekarang, seberapa pun aku mengenal laut, aku tidak bisa melewati tembok itu." Bram menatapnya penuh empati. "Pak, mungkin ini bukan lagi soal kita membaca laut, tapi bagaimana kita memastikan laut tetap bisa dibaca oleh anak-cucu kita." Pak Wira menatap pemuda itu lama. Ia melihat perubahan dalam diri Bram—dari seorang pemuda yang baru pulang kampung menjadi seorang pemimpin yang tumbuh dari ketidakadilan.
Namun, perjuangan tidak semudah itu. Suatu malam, Bram mendapati rumahnya dilempari batu. Sebuah pesan tertulis di dinding: Hentikan atau pergi. "Bram, ini berbahaya," kata Pak Wira. "Mereka tidak akan tinggal diam." Bram menatap laut yang terbentang di balik pagar. Ia tahu, jika ia berhenti sekarang, maka segalanya benar-benar akan hilang. Ia menarik napas panjang dan berkata, "Lebih berbahaya lagi jika kita membiarkan ini terus terjadi."
Hari berikutnya, mereka mengadakan aksi damai. Nelayan, pemuda, ibu-ibu, semua berkumpul di tepi pantai, membawa spanduk dan bendera. "Laut untuk Rakyat!" "Kami Butuh Laut untuk Hidup!" "Hentikan Perampasan Ruang Hidup Kami!"
Di antara mereka, seorang ibu, Bu Rina, berdiri paling depan. "Kami bukan hanya kehilangan laut, kami kehilangan masa depan anak-anak kami!" serunya. Air matanya mengalir, tapi suaranya tegar. Ia menggenggam tangan anaknya, yang masih kecil dan belum mengerti sepenuhnya arti perjuangan ini, namun ikut berdiri di tengah kerumunan dengan mata penuh kebingungan. Polisi datang. Satpam proyek berdiri berjaga. Tetapi mereka tidak mundur. Mereka berdoa, dan berpegangan tangan. Suara mereka menggema di antara deru ombak, membawa pesan yang tak bisa lagi diabaikan. Konflik semakin memanas ketika perusahaan mulai mengirim pekerja untuk memasang pagar besi tambahan. Warga yang tak terima mencoba menghentikan mereka. Bentrokan kecil tak terhindarkan. Beberapa warga ditangkap, termasuk Pak Wira. Kejadian ini semakin membakar semangat perlawanan. "Kita tidak bisa tinggal diam!" teriak Bram di hadapan massa yang berkumpul di balai desa.
Pak Wira yang ditahan selama beberapa hari kembali dengan semangat yang semakin berkobar. Ia tak gentar, justru semakin bertekad untuk memperjuangkan hak mereka. "Aku sudah tua, tapi kalian semua masih punya masa depan. Jangan biarkan tanah kita direbut!" serunya di hadapan warga.
Media mulai meliput kejadian ini. Wartawan dari berbagai surat kabar dan televisi datang untuk meliput perjuangan warga Kampung Bahari. Kampung yang dulu sepi kini menjadi sorotan nasional. Media kembali datang. Video aksi damai mereka menjadi viral. Tekanan publik semakin besar. Para pejabat yang dulu diam mulai berbicara. Investigasi dibuka. Beberapa pihak perusahaan dipanggil untuk diperiksa.
Beberapa aktivis lingkungan bergabung dalam perjuangan mereka, membawa kajian ilmiah tentang dampak reklamasi terhadap ekosistem laut. Mereka menjelaskan bagaimana proyek ini akan menghilangkan habitat ikan, merusak terumbu karang, dan mengurangi jumlah hasil tangkapan nelayan. Namun, tekanan semakin besar. Perusahaan mencoba menyuap beberapa tokoh masyarakat agar mereka berhenti melawan. Sebagian warga yang mulai putus asa menerima tawaran itu dan memilih pindah. Bram harus bekerja keras untuk meyakinkan mereka agar tetap bertahan. Ia mendatangi rumah-rumah warga, menjelaskan dampak jangka panjang reklamasi terhadap kehidupan mereka. "Jika kita menyerah sekarang, kita tak akan punya apa-apa di masa depan," ujarnya kepada sekelompok nelayan yang mulai ragu.
Suatu malam, terjadi insiden besar. Seorang warga yang mencoba melewati pagar ditembak gas air mata oleh petugas keamanan. Kejadian ini memicu protes besar-besaran. Ribuan orang dari luar kampung datang untuk mendukung perjuangan mereka. Gelombang demonstrasi tak bisa dihentikan. Demonstrasi itu tak hanya terjadi di Kampung Bahari, tetapi juga merembet ke kota-kota besar. Mahasiswa, aktivis lingkungan, dan masyarakat umum mulai angkat suara. Namun, ancaman tidak berhenti. Suatu malam, Bram diculik oleh sekelompok pria tak dikenal. Ia diseret ke sebuah gudang tua, dipukuli, dan dipaksa berjanji untuk menghentikan perjuangan mereka. "Kamu pikir bisa menang melawan kami?" salah satu pria itu mendesis. "Ini bukan pertarungan yang bisa kalian menangkan." Dengan wajah lebam, Bram tersenyum. "Kami mungkin tidak menang sekarang. Tapi kalian tidak akan bisa membungkam kami selamanya."
Keesokan harinya, Bram ditemukan di tepi pantai, tubuhnya penuh luka. Namun, begitu kabar penculikannya tersebar, dukungan untuk mereka semakin besar. Kampung Bahari tak lagi sendiri. Mahasiswa, aktivis lingkungan, dan masyarakat luas turun tangan. Gelombang demonstrasi meluas, menuntut keadilan bagi nelayan yang kehilangan laut mereka.
Akhirnya, setelah berbulan-bulan perjuangan, pemerintah mengeluarkan keputusan untuk menghentikan proyek reklamasi di Kampung Bahari. Di tengah semua tekanan itu, sebuah keputusan besar akhirnya diambil. Pemerintah pusat mengumumkan moratorium reklamasi di wilayah pesisir tersebut. Ini bukan hanya kemenangan bagi Kampung Bahari, tetapi juga bagi komunitas nelayan di seluruh negeri yang selama ini menghadapi ancaman serupa.
Namun, Bram tahu, kemenangan ini bukan akhir dari segalanya. Ia duduk di tepi pantai, memandang laut yang kembali terlihat bebas. "Kita telah membuka jalan, tapi masih banyak yang harus kita perjuangkan," ujarnya kepada para pemuda kampung.
Pak Wira menepuk pundaknya, menatap lautan yang berkilau di bawah sinar bulan. "Kau benar, Nak. Perjuangan kita belum berakhir. Tapi setidaknya, hari ini, kita sudah membuktikan bahwa suara nelayan bisa mengguncang dunia."