Thursday, March 13, 2025

Cerpen Pagar Laut | Rani Nurhalizah | Pagar Di Ujung Ombak


Pagi yang berkabut menuntunku sampai pada bibir pantai. Langkahku yang masih agak gontai melihat kenyataan pahit yang harus aku ikhlaskan begitu saja. Tidak, bukan aku saja yang harus ikhlas melainkan kami semua warga desa nelayan. Ayah banyak bercerita tentang laut bersamaku dulu. Kata ayah lautan itu luas dan tak bertepi. Ombaknya bergulung tanpa aturan. Aroma garam yang tersapu angin menempel di kulit para nelayan. Setiap pagi, aku selalu melihat perahu-perahu kecil dengan layar usang bersiap untuk berangkat. Selalu ada perbekalan yang dibawa, jaring, harapan dan doa-doa yang diucapkan dengan mata setengah terpejam. Hanya hal sederhana yang menjadi harapan mereka, semoga malam ini mereka bisa mengisi piring yang kosong di atas meja rumahnya. 


Aku menggenggam pasir di tangan, membiarkan butiran butiran halus itu lolos dari sela-sela jari. Aku ingat bagaimana ayah bercerita bahwa laut tak pernah pelit. Mungkin ayah lupa bahwa manusia lebih pelit daripada laut. Aku sendiri bingung, kenapa ada ketamakan yang tak pernah mempedulikan sekitarnya, bukankah Tuhan murka dengan orang-orang yang tamak.


Lain halnya dengan hari ini, pikiranku menerawang jauh mengingat ucapan ayah tempo dulu, “ayah salah, ternyata laut memiliki batas.”


Sebuah pagar bambu berdiri gagah, berjajar seperti prajurit yang siap siaga menjaga wilayahnya. Di setiap lima meter terpampang tulisan “Wilayah Reklamasi, dilarang masuk!” Aku tersenyum. Tentu saja itu keputusan yang terbaik, bukan? Bagaimana mungkin negara bisa maju jika rakyatnya masih berkutat dengan profesi itu-itu saja tanpa adanya suatu perubahan yang besar. Bagaimana mungkin sebuah kawasan dapat berkembang jika hanya dikuasai oleh nelayan yang bisanya hanya melempar jala dan mengeluh tentang sulitnya kehidupan? Sudah saatnya perubahan itu terjadi bukan? Dan pagar itulah yang menjadi simbol perubahan yang luar biasa.


Dulu ayahku seorang nelayan. Beliau sering sekali mengajaku untuk sekadar duduk di tepi pantai. Seperti yang sedang aku lakukan saat ini. Aku selalu mengingat bagaimana dulu ayah selalu bercerita bahwa laut tak akan pernah menghianati mereka. 


“Selama kita mengambil secukupnya, maka laut akan selalu memberi.” 


Aku yang kala itu masih berumur tujuh tahun hanya manggut-manggut saja tanpa tahu artinya. Tak mungkin jika ayah salah. Bukan laut yang menghianati mereka. Namun, tangan-tangan tak terlihat yang datang membawa peta dan membuat batas imajiner dan mengklaim, “Laut ini sekarang milik kami.”


Dan begitulah, satu demi satu nelayan kehilangan pekerjaannya Perahu yang dulu menjadi kebanggan dibiarkan membusuk di pantai. Jala yang dulu selalu basah oleh air asin kini mengering tergantung di dinding rumah. Dan piring makan di rumahku? Kadang terisi kadang tidak.


Aku ingat bagaimana ayah dulu mengeluh soal pagar itu.


“Laut ini tempat mencari makan, bagaimana jika kita tidak bisa melaut lagi?”


Tapi bukankah itu bentuk egoisme? Tidak bisakah mereka melihat masa depan? Pulau-pulau yang akan dibangun di sini akan meningkatkan ekonomi, menghadirkan wisatawan, dan membuka lapangan pekerjaan, itu adalah janji pemerintah. Membuka lapangan pekerjaan mungkin iya untuk masyarakat setempat. Mungkin pemerintah akan membuka lapangan pekerjaan khusus tukang bersih-bersih, kuli ataupun pegawai kebun yang berseragam dengan gaji sangat tinggi untuk hidup di tahun 1998 beberapa tahun yang lalu.


Tapi itu bukan masalah besar, kata pemerintah. Mereka berjanji akan memberikan ganti rugi lahan dan pelatihan kerja. Kami hanya perlu menunggu sedikit lebih lama, menyesuaikan dengan keadaan baru dimana laut bukan lagi tempat mencari nafkah dan ganti rugi lahan yang dijanjikan masih kami angan-angankan hingga saat ini. Sungguh rencana yang luar biasa bukan?


Bahkan aku masih mengingat peristiwa siang itu. kemarahan mulai membakar dada para nelayan. Mereka mempermasalahkan pagar laut yang berdiri gagah di lautan sana. 


Aku sedikit heran “kenapa mereka protes? Bukankah pemerintah memiliki maksud yang baik dengan melindungi lautan Indonesia? Buktinya saja mereka secara suka rela membuat pagar di  laut? Itu untuk melindungi laut dari nelayan asing supaya tidak bisa masuk ke perairan Indonesia, bukankah begitu?” harusnya mereka merasa beruntung tinggal di Indonesia, pemerintah Indonesia sangat peduli dengan penderitaan rakyatnya (?)


Mereka datang dengan membawa parang, kapak, dan obor. Bukan untuk menyakiti siapapun melainkan untuk merobohkan pagar yang telah merenggut laut mereka. Satu per satu bambu itu tumbang. Terbawa ombak dan terdampar di pasir, kembali menjadi sesuatu yang tak berarti. Mereka pikir mereka bisa menang. Mereka pikir jika pagar laut runtuh, maka laut akan menjadi milik mereka kembali. Mereka mungkin lupa, jika tidak semua pertempuran hanya bisa dimenangkan oleh tekad. 


Beberapa jam kemudian suara sirine terdengar dari kejauhan. Mobil-mobil besar datang membawa segerombol orang-orang berseragam yang turun dengan rahang mengeras. Tangan-tangan besar menagkap mereka yang masih memegang parang. Beberapa di dorong ke tanah dan beberapa di bawa masuk ke dalam mobil. Dalam hitungan jam pagar kembali berdiri. Lebih tinggi, lebih kuat, dan lebih kokoh. Persoalan dengan kampung nelayan? Ah, itu masalah kecil. Mereka harus mampu beradaptasi. Bukankan perubahan adalah tanda kemajuan? Sebuah keajaiban pembangunan yang patut diapresiasi.


Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti menjadi tahun. Kampung nelayan mulai sepi. Beberapa keluarga memilih pergi. Hanya sebagian kecil yang memilih untuk tetap tinggal, walaupun dengan keadaan yang sangat sulit. Tapi itu bukan masalah besar. Yang penting proyek tetap berjalan? Pulau buatan mulai dibangun di kejauhan. Para pekerja datang dengan kapal besar, membawa material dan harapan baru tentang sebuah masa depan yang katanya demi Negara Indonesia lebih cerah. Tidak mungkinkan proyek besar ini hanya untuk mempercerah isi dompet para konglomerat dan sebagian pemerintah? Rasanya pemerintah tidak mungkin seperti itu, aku tahu mereka sangat peduli dan mencintai rakyatnya.


Aku masih sering duduk di tepi pantai, menatap pagar bamboo yang kini memisahkan laut mereka. Dulu batasannya hanya ada di peta. Kini, batas itu nyata. Dulu laut terbuka untuk siapa saja. Kini laut hanya terbuka untu mereka yang cukup kaya untuk membeli sepetaknya. AKu menghirup napas dalam-dalam. Merasakan aroma asin laut yang dulu terasa akrab, namun kini hanya menyisakan kepahitan di lidahnya. 


Kadang aku bertanya-tanya. Apa jadinya jika pagar itu tidak pernah berdiri? Apakah ayah masih bisa tetap melaut, apakah akan ada menu ikan di setiap makan malamnya bersama keluarga, apakah hidup kami akan lebih baik atau justru tetap sama saja, aku tidak tahu, yang aku tahu bahwa laut bukan milik kami lagi. aku hanya tahu bahwa ada hsl-hsl ysng tidak bisa dibeli dengan uang. Seperti ingatanku ketika ayah tersenyum pulang membawa ikan.


Dengan penuh rasa syukur aku menatap pagar bambu itu. “Terima Kasih,” gumamku pelan.


“Terima kasih karena telah mengajari kami bahwa lautan bukan untuk semua orang.”


Ombak menjawabnya dengan suara yang lebih sunyi dari biasanya.