Thursday, March 13, 2025

Cerpen Pagar Laut | Regina Nikijuluw | Hadirnya Pemisah Kehidupan

 

Di desa nelayan Teluk Biru, laut bukan sekadar bentangan air, tetapi nadi kehidupan. Setiap pagi, perahu-perahu kecil meluncur ke samudra, membawa harapan para nelayan akan tangkapan yang cukup untuk keluarga mereka. Namun, ketenangan itu mulai pudar sejak proyek besar bernama Pagar Laut berdiri di cakrawala. Struktur raksasa yang memanjang jauh ke tengah laut itu diklaim sebagai perlindungan dari gelombang besar dan peningkatan ekonomi wilayah. Tapi bagi Martin dan para nelayan lainnya, pagar itu bukan perlindungan melainkan dinding pemisah yang perlahan mencabut kehidupan dari laut yang mereka cintai.

Martin berdiri di pinggir pantai. Dia memejamkan matanya dan menghirup aroma air asin. Bagi pemuda desa, yang tumbuh sebagai nelayan, laut adalah kekasihnya. Tidak ada hari tanpa mengunjungi tempat itu. Nathan, ayahnya, seorang nelayan senior. Belakangan ini asanya mulai lenyap, seakan kabur ditiup angin. Harapan mendapatkan ikan untuk nafkah serta makan keluarga secara perlahan menurun. Senyum di wajahnya mulai memudar. Kekhawatiran tumbuh perlahan walaupun Nathan menutupinya. Semua itu ditangkap mata Martin. Perasaan yang menular ke dalam dirinya. Sukacita berubah menjadi duka saat layangan mata melihat jauh ke samudra di desanya.

Pagar Laut itu sangat bagus untuk keamanan di desa ini. Selain itu, ekonomi bapak-bapak akan meningkat,” jelas Drew, pengusaha kota, saat dia menyampaikan fungsi bangunan itu di pertemuan masyarakat.

Pandangannya tertahan pada dinding sombong yang memanjang. Bangunan merusak keindahan ekosistem laut tempat Martin bersembunyi. Banyak ikan lari dan mengungsi mencari tempat baru. Mereka tidak lagi bermain petak umpet bersama Martin. Pagar Laut  yang menarik senyum dari Ayahnya, dan juga nelayan lain di desanya. Tidak disangka, sumber penghidupan mereka menurun. Di tengah kepasrahan Ayahnya, Martin merasa bukan saat untuk menyerah pada perang ini. Dia tahu, ketika kemauan hilang, harapan juga apus. Helaan nafas dalam terdengar halus. Martin berpikir.

Tepukan halus di pundaknya mengembalikan Martin dari laut ke dunia nyata. Suara kecil Lisa terdengar, “Kak Martin buat apa di sini? Jangan termenung terus, Kak. Mari kita lanjutkan diskusi kita!”

Hembusan angin pantai menarik-narik rambut sepinggang Lisa. Tarian ikalnya mengikuti hembusan dan membuat Martin terpana sejenak, di tengah kekagetannya akan kehadiran Lisa. Dia seorang aktivis lingkungan dan datang ke desanya untuk meneliti dampak proyek raksasa bagi laut dan nelayan di desanya. Martin, dengan kepiawaiannya menyelam, banyak membantu Lisa. Pertemuan tidak hanya di bawah laut tetapi juga dalam berdiskusi saat Lisa menganalisis temuannya. Pengetahuan Martin akan desa dan kearifan lokal membuat dia teman penelitian sempurna bagi Lisa.

Pagar laut, yang berdiri kokoh di tengah samudra, memisahkan nelayan dengan alasan perlindungan dan modernisasi. Namun, penelitian Lisa membalik dan membantah alasan tersebut. Arus laut berubah, ekosistem hancur, ikan-ikan hilang. Masyarakat mengeluh. Tetapi siapa berani melawan para penguasa? Uang tutup mulut dilempar sana-sini. Pengelola desa diam. Mereka mendukung. Ketika uang berbicara, mulut bisa berubah, mind set bisa diatur. Masyarakat tidak berdaya. Kaum akar rumput hanya bisa memandang jauh dan meringis dengan penderitaan mereka.

Di teras kamar kos, tempat Lisa menginap, dengan hamparan kertas dan laptop yang terbuka, dia memandang tajam Martin, “Kita tidak boleh diam! Kita harus bertindak! Mari Kak, kita temui pemerintah dan para investor. Kita sampaikan hasil penelitian ini.”

Deru motor tidak berhenti. Dengan Lisa di boncengan, Martin melaju ke kantor pemerintahan. Suara deru, di tengah debu, mengikuti jalan mereka ke para investor. Tetapi, gigit jari menjadi hasil perjuangan mereka. Tidak ada petinggi menemui mereka. Jabaran dan hasil temuan hanya keluar dan sampai pada pegawai rendahan, yang tidak punya kuasa. Kepedulian sudah meninggalkan ketika kesejahteraan semu meningkat. Bahkan, suara para nelayan, yang turut membantu, tidak sampai dan hilang ditelan angin.

Menekuk lutut di pinggir pantai, mata memandang jauh ke tengah lautan, Lisa dan Martin merenung. Kesunyian mencekam di saat tidak ada suara keluar dari mereka berdua. Kebuntuan, tidak adanya jalan keluar, gelapnya jalan melukiskan suasana mereka. Sesekali suara desah nafas mereka terdengar. Awan putih perlahan berganti kelabu dan jauh di ujung tampak kegelapan mulai merayap. Suasana dan alam seakan turut menggambarkan hati dan pikiran kedua insan yang duduk di pasir.

“Maaf Kak,” Lisa memecah renungan.

Suaranya tertekan seakan mendorong resahnya hati, “Aku merasa sedih, menyesal, dan kecewa tidak dapat membantu Kak Martin dan penduduk di desa ini.”

Martin membalikkan badan dengan cepat, “Ah jangan begitu Lisa! Itu bukan salah kamu. Kita semua sudah berusaha. Tapi apa daya, jalan terang itu belum kelihatan.”

Kembali menatap awan yang mulai menghitam, Martin melanjutkan, “Tapi aku yakin pasti nanti akan ada jalan keluar!”

Lalu dia bangkit dan memberikan tangannya untuk membantu Lisa berdiri, “Kita pulang dulu sekarang. Awan hitam sudah menuju tempat kita. Sebentar lagi pasti ada badai.”

Alam masih belum berhenti mengikuti suasana Lisa, Martin dan seisi masyarakat Desa Teluk Biru. Malam itu, gelegar guntur bernyanyi penuh kemarahan. Suaranya tidak hanya memekakkan telinga tetapi juga seakan tangan kuasa yang ingin menghancurkan semua rumah. Tidak berhenti di situ. Alam turut mengamuk dengan badai dan ombak besar yang memecah rumah-rumah di pinggir pantai. Banyak masyarakat mengungsi dan pindah ke rumah yang jauh dari pesisir. Di tengah gusarnya alam, orang-orang berlarian mencari selamat. Rumah Nathan menjadi salah satu tempat penduduk karena letaknya agak jauh dari pantai.

Sebagai salah satu nelayan senior, Nathan, didampingi Martin di sisinya, membuka pembicaraan, “Ini pertama kalinya, saat badai mengamuk, seperti hari ini, merusak rumah-rumah. Biasa tidak pernah ombak mengenai desa walaupun badainya besar.”

“Betul Pak Nathan! Pasti ini akibat dari pagar laut yang dibuat oleh Pak Drew!” seru salah satu masyarakat dengan emosi.

Ditemani pisang goreng buatan Ibunya Martin, dan kopi panas, masyarakat melanjutkan diskusi mereka. Suasana mencekam di luar terjadi juga di dalam rumah. Tidak ada kelelahan dalam diri mereka selain tekad untuk menghentikan kuasa tangan-tangan baja. Mereka sudah sampai pada puncak kemarahan. Lahar panas mengalir deras dalam darah mereka dan membakar jiwa untuk tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk meneruskan usaha ke tingkat pemerintahan lebih tinggi. Mereka akan protes supaya pagar laut dihentikan. Bangunan raksasa yang tidak melindungi tetapi malah merusak laut dan menekan ekonomi mereka.

Di depan kantor gubernur, dengan beberapa spanduk besar dan poster diangkat tinggi, masyarakat desa berteriak secara berulang-ulang, “Hentikan pagar laut! Hentikan pagar laut! Jagal pengusaha rakus! Rakyat tidak sejahtera!”

Martin dan Lisa berdiri di deretan paling depan. Mereka sudah menyiapkan bukti-bukti kerusakan, termasuk perubahan ekosistem laut, data berkurangnya ikan dan penurunan ekonomi para nelayan. Segala perlengkapan perang sudah ada dalam tangan mereka. Martin dan Lisa siap tempur untuk para nelayan di desanya. Keributan mereka menarik perhatian media yang selalu berkumpul di kantor gubernur. Mereka mendapat berita dan bersemangat masuk dalam lingkaran demonstran. Telepon genggam diangkat untuk wawancara dan mereka mengambil foto-foto untuk liputan. Dalam waktu singkat demonstrasi menjadi viral.

Tekanan masyarakat membuahkan hasil. Tagar #hentikanpagarlaut pada sosial media menekan pemerintah, terutama di tingkat provinsi. Tidak berapa lama, proyek raksasa dihentikan. Segel resmi dipasang di pinggir pantai dan bangunan raksasa, yang berdiri sombong, mulai dihancurkan. Anehnya, Pengelola Desa menghilang dan Drew, si pengusaha, melarikan diri ke luar negeri. Tetapi, laut kembali memulihkan diri mereka. Tidak dalam waktu dekat tetapi harapan itu ada lagi. Martin dan para nelayan senyum lebar. Mereka kembali lagi melaut dengan harapan bahwa tidak ada lagi perusak alam demi kepentingan sesaat.

Awan cerah kembali muncul seakan turut berbagi kebahagiaan masyarakat di desa. Matahari menampar dengan senyum lebarnya. Semua turut bersukacita. Martin berdiri di sisi pantai, Lisa di sampingnya, matanya memandang jauh, “Laut bukan sekedar tempat untuk mencari uang. Di dalamnya ada kehidupan, seperti di sini, dan kita harus selalu jaga, lindungi, serta lestarikan!”