Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Fathin Muzhaffirah Putri Ibrahim | Pembelah Lautan

 Cerpen Fathin Muzhaffirah Putri Ibrahim


(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)




September 2018

Sore itu, suara deburan ombak tidak lagi terdengar menerpa pesisir pantai seperti biasanya, menyapu pasir dengan lembut, mengajaknya berkelana menuju lautan yang luas, kini ombak itu teredam oleh barisan bambu yang kokoh. Tak ada hal lain yang ingin dilakukan Danastri saat ini, hanya menikmati dirinya yang terhanyut dalam keheningan senja dan membiarkan kesunyian membawa jiwanya berlayar entah kemana, tiupan angin laut pun ikut membelai lembut rambut panjangnya. Pesona lautan luas dikala senja memang tidak pernah gagal menjadikannya yang terbaik dalam hidup Danastri, namun, bambu penghalang yang baru dibangun kemarin merusak keindahan itu.

Ditengah keheningan itu, sebuah perahu cokelat tampak dari kejauhan, berlayar membelah lautan menuju pesisir pantai. Kehadiran perahu cokelat itu berhasil membuyarkan lamunan Danastri, kerutan halus muncul di sekitar matanya saat ia memutuskan untuk memicingkan matanya, memastikan bahwa itu benar benar perahu milik pak Ucok -sang ayah- yang saat ini sedang ia nantikan keberadaannya. Lambaian tangan yang semakin jelas seiring perahu cokelat itu mendekat, membuat tak ada lagi keraguan yang menyelimuti Danastri, senang yang ia rasa membuatnya tak kuasa lagi menahan senyuman, itu pasti bapak kata Danastri dalam hati. Dengan perasaan tenang dan kegembiraan yang sangat atas kembalinya bapak, Danastri melompat lompat kecil diatas pasir sembari membalas lambaian tangan bapak dengan penuh semangat. Tidak ada yang lebih baik dari pada melihat bapak pulang dengan selamat, pikirnya.

Akhirnya, sampai juga bapak di bibir pantai. Dengan langkah tergesa, Danastri segera menghampiri bapak yang telah berjongkok dengan tangan terbuka, menanti pelukan hangat sang buah hati. “Ati rindu sekali dengan bapak!” ucap Danastri cepat, saat pelukannya berhasil menyelimuti tubuh bapak. Bapak hanya memberikan kekehan kecil untuk menjawab ucapan Danastri. 

“Ihh, bapak gak rindu dengan Ati?” kata Danastri sambil mengeluh. Jawaban yang tidak memuaskan dari bapak tentu saja membuat Danastri sedikit kesal. Bagaimana bisa bapak hanya memberikan kekehan sebagai balasan dari besarnya rindu Danastri saat menunggu bapak pulang.

Bapak terkesiap mendengarnya, “Lho kok teteh berpikiran seperti itu? Justru bapak yang paling rindu dengan teteh” ucap bapak pelan dengan nada yang lembut khas orang sunda. 

“Gak bisa gitu pak! Aku yang paling rindu pokoknya!” seru Danastri tak terima didampingi dengan wajah menyombong. Mendengar seruan Danastri, bapak hanya bisa kembali terkekeh dan memeluk Danastri kembali dengan erat. Sepertinya, kerinduan danastri padanya memang begitu dalam. Padahal ini bukan kali pertama bagi bapak pulang selarut ini, meskipun memang ini kali pertama bapak pergi berlayar dua hari lamanya. Danastri pun sebenarnya tidak mengerti, mengapa butuh waktu yang lama bagi bapak untuk hanya mencari beberapa ikan saja. Namun, bukan itu yang terpenting saat ini, bagi Danastri yang terpenting adalah bapak kembali dengan selamat. Tapi rasanya seperti ada yang kurang dari bapak kata Danastri dalam hati, sesuatu yang mengganjal. “Oh! Ikan! Dimana ikan kita pak?” akhirnya. 

Setelah mendapatkan pertanyaan dari sang buah hati, bukannya menjawab bapak tampak mengubah air mukanya menjadi muram, tentu saja perubahan itu tak luput dari penglihatan Danastri, “Bapak.. ga dapat ikan?”. Sebenarnya pertanyaan yang terlintas di kepala Danastri tidak sesederhana itu, apa yang sebenarnya terjadi pada bapak? Jika tidak membawa ikan, mengapa butuh waktu yang lama bagi bapak untuk berlayar? Tapi sebaiknya ia tidak terlalu banyak bertanya, bapak pasti lelah.

Menyadari keresahan anaknya, bapak kembali tersenyum dan tertawa, membalikkan suasana, “HAHAHA kata siapa?” kata bapak sambil menunjukkan ikan hasil tangkapannya. Pundak Danastri pun meluruh, tenang rasanya mengetahui tidak ada hal tak diinginkan yang terjadi pada bapak. 

Cahaya matahari mulai redup ditelan garis lautan, menggantikan dirinya dengan rembulan yang tak kalah menawan. Bapak dan Danastri memutuskan untuk segera pulang ke rumah kayu, sekarang giliran amak dan Dira yang melepas rindu pada bapak.


Setelah makan malam dengan bapak dan emak juga adik kecilku, Dirasatri, aku memutuskan untuk pergi tidur, hari ini melelahkan sekaligus menyenangkan. Akhirnya, malam ini aku dapat tidur dengan tenang, tanpa memikirkan kemungkinan yang terjadi pada bapak di pelayaran. Ah aku melupakan tugas sekolahku! Kata ibu guru besok sudah harus dikumpulkan. Segera aku beranjak dari dipan ku, mengambil buku dari dalam tas,bergegas mengerjakan tugasku.

“Ah sial! Kalau pagar laut itu terus ada, bagaimana kita bisa mendapatkan lebih banyak ikan? Hari ini saja aku tidak mendapat satupun, untung saja pakde Gono memberikan sebagian ikannya untuk kita, kalau tidak, apa yang akan kita makan malam ini? Apa yang bisa aku jelaskan pada teh Ati? Hampir tak ada satu pun nelayan mendapatkan ikan, dengan apa kita bertahan hidup jika seperti ini?” keluh bapak pada amak, diiringi dengan helaan nafas berat.

Mendengar itu, aku memutuskan untuk mengintip keluar kamar, berusaha melihat jelas dan memahami apa yang sedang terjadi antara emak dan bapak. Ternyata mereka sedang berbincang di ruang makan, bapak tampak menahan amarah dengan wajahnya yang memerah dan emak yang terlihat berusaha meredakan amarah bapak. "Teu sawios, Pa, bade kumaha deui? Jalmi nu gaduh kakawasaan mah memang tara mikiran jalmi sapertos urang." tiba-tiba amak menggunakan bahasa sunda, sepertinya amak menyadari keberadaanku, yang amak tahu aku tidak mengerti sama sekali bahasa sunda, nyatanya aku hanya tidak pandai berbicara dan aku dapat memahami perkataan amak tadi. Dan tampaknya bapak menyadari kode yang diberi amak, terbukti pembicaraan itu berlanjut dengan menggunakan bahasa sunda. Sebaiknya aku kembali berbaring di dipan dan tidak mengganggu pembicaraan amak bapak, pikirku. Aku bergegas menutup pintu dan berjalan kembali ke dipan dengan mengendap endap, jangan heran mengapa aku mengendap padahal amak sudah tahu kehadiranku, aku juga tidak tahu mengapa. Tak jadi aku mengerjakan tugasku, aku langsung berbaring di atas dipan dan terlelap.


Aku terbangun dari tidur lelap ku, ku lihat ke arah jam yang terpempel di dinding kayu, jarum pendek mengarah ke angka 6 dan jarum panjang ke angka 7, 06.35, masih ada waktu untuk membantu amak menyiapkan dagangan pikirku. Segera aku pergi keluar kamar, namun, tak kudapati seorang pun di rumah, hanya Dirasatri yang masih terlelap di dipan yang sama dengan ku. Amak dan bapak dimana?, setelah mengelilingi setiap sudut rumah, aku masih tidak menemukan keberadaan orang tuaku, ah, mungkin berangkat lebih pagi? Untuk mendapat ikan lebih banyak seperti kata bapak tadi malam, mungkin. Semua kemungkinan itu muncul dalam benar ku, memunculkan 1000 alasan yang – terkadang – menenangkan.

Kini, jarum jam sudah menunjukkan pukul 18.07, sudah 12 jam kurang amak dan bapak pergi dari rumah. Selama itu pula, tak ada tanda-tanda kepulangan dari mereka. Aku memutuskan untuk menutup pintu rumah, sudah terlalu sore untukku berada di luar rumah.

Ditunggu demi tunggu, kurasa amak dan bapak tidak akan pernah kembali, sekarang sudah 7 hari, aku harus menunggu sampai kapan?. Padahal baru kemarin aku merasakan kembali kehangatan makan malam bersama di meja makan, memakan masakan amak yang tidak ada duanya, aku rindu, begitu pun dengan darasatri dia terlihat linglung dan kehilangan semangatnya, tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu dan berusaha bertahan hidup tanpa mengharapkan amak dan bapak kembali.


Oktober 2025

“Selamat ulang tahun kami ucapkan, selamat…”, dengan gembira Aku dan Dirasatri merayakan ulang tahun amak, kebiasaan ku dan Dirasatri setiap tahunnya. Di hari spesial ini, aku dan adikku memutuskan untuk berkunjung kembali ke rumah amak dan bapak di pesisir pantai, dan disini lah kami berada, memandangi foto amak dan bapak yang terpajang di dinding kayu rumah mereka sambil menyanyikan lagu ulang tahun. Sebagai hadiah pernikahan mereka, aku akan membereskan rumah amak dan bapak. 

Sungguh rasanya nostalgia sekali saat aku memasuki ruang tidur bapak dan amak. Berlompat lompat di atas dipan amak dan bapak, tidur bersama, semuanya terasa seperti kemarin, walau nyatanya, sudah 7 tahun aku tak merasakan kehangatan itu lagi. Setelah amak dan bapak menghilang, aku dan danastri banting tulang mengumpulkan uang agar bisa melanjutkan pendidikan kami, dengan bantuan warga setempat, aku berhasil menyandang gelar sarjana hukum, setidaknya untuk mencari keadilan untuk amak dan bapak. Meskipun sudah 7 tahun sejak kemarin, aku masih yakin bahwa hilangnya bapak dan amak berkaitan dengan pembangunan pagar laut itu.

Aku membongkar lemari milik bapak dan amak, untuk merapikannya kembali, tentu saja. Namun, saat sedang sibuk merapikan, tak sengaja aku melihat ada sebuah buku catatan berwarna hitam dengan pena yang disangkutkan di sampul buku itu. Dengan penasaran aku membuka buku catatan itu, dari lembaran pertama, aku yakin buku itu milik bapak. Lembaran demi lembaran ku buka dan ku baca dengan seksama, memperhatikan setiap detail tulisan bapak, dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati satu lembaran yang terjatuh dari buku, sebuah kertas yang dapat menjadi petunjuk dalam kasus hilangnya bapak dan amak. Kebahagiaan menjalar dalam tubuhku, “Dirasatri!” seru ku. 

Mendengar seruanku, Dirasatri segera menghampiri sumber suara. Ku serahkan padanya lembar kertas yang tadi ku temukan, ku suruh ia untuk membaca dengan seksama. Sudut bibirnya terangkat, “Teteh!” Dirasatri pun sama dengan ku saat membaca lembar itu, begitu senang lalu memelukku menyalurkan kebahagiaannya. Akhirnya, kesabaran dan doa yang aku dan Dirasatri haturkan terjawab, kini, keadilan bagi bapak dan amak ada di depan mata. 


Isi dari lembaran itu sederhana, namun bagi Danastri dan Dirasatri, lembaran itu dapat menjadi kunci dari segalanya. Terdapat banyak sekali bukti yang bisa mereka ajukan di pengadilan, dengan semua bukti itu, mereka sangat yakin perjuangan mereka selama ini akan terbalaskan.


“Kalian boleh bersembunyi di balik kekuasaan, tapi percayalah, keadilan akan selalu dapat menemukan jalan!”

-Sebuah kutipan dari tulisan Bapak