Cerpen Anastasya Suprihatin
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ketika angin darat mendorong perahu itu semakin ke tengah, rasanya aku ingin menangis. Walaupun ini bukan yang pertama kalinya, entah kenapa setiap kali bapak pergi berlayar, aku tak kuasa membendung air mata. Aku tetap berdiri sambil menatap perahu bapak yang semakin lama menjauh menuju lautan.
Keesokan paginya, pukul sembilan pagi, aku menunggu bapak di tempat biasa ia berlabuh. Sengaja aku tidak berangkat pagi-pagi seperti biasanya karena sejak ada pagar laut di kawasan pesisir Tangerang, bapak selalu pulang terlambat. Katanya ia harus berputar karena jalur mencari ikan dipasangi pagar bambu.
Aku sudah menunggu hampir dua jam tetapi bapak belum juga muncul. Aku menjadi was-was dan khawatir. Aku enggan bertanya pada nelayan yang lain, sebaiknya aku pulang menunggu bapak di rumah. Namun hingga pagi hari kembali tiba, bapak tak kunjung pulang.
Ini adalah hari Selasa, hari keempat sejak bapak mengemudikan perahu dari tepi pantai menuju tengah lautan. Tidak seperti biasanya, hampir lima hari bapak tidak pulang. Biasanya ia berangkat melaut ketika senja tiba dan kembali pulang ketika angin laut mendorong perahunya menuju daratan di pagi hari.
Sudah dua hari aku tidak sekolah hanya untuk bertanya pada teman-teman bapak yang berlayar di sekitar Teluknaga, tetapi mereka berkata tidak tahu tentang keberadaan bapak. Hari ini aku ingin mencari bapak di tepi pantai lagi. Aku berjalan menyusuri pagar laut yang membentang jauh ke depan sana. Anyaman bambu yang kokoh menopang setiap langkah kakiku. Tak kuhiraukan semilir angin yang membuat helai rambut panjangku berantakan dan terik sinar matahari yang mulai memanas. Ketika aku memicingkan mata, tidak ada manusia ataupun pekerja pagar laut yang memperlihatkan batang hidungnya. Satu persatu aku pandangi perahu nelayan di kejauhan, namun tak kutemukan perahu bapak. Di daratan sejauh mata memandang juga tak kutemukan bapak.
Karena aku tidak menemukan jejak bapak dan pagar laut di depanku hanya bambu tunggal, maka dengan enggan aku berbalik berjalan menuju pantai.
Karena tidak fokus saat berjalan di tepi pantai, aku hampir saja menubruk seorang lelaki berkulit putih bersih dengan setelan pakaian mewah. Ia sedang melihat laut dengan teropong.
“Maaf, Pak.”
Laki-laki itu tersenyum dan melambaikan tangannya. Ia memaklumi kesalahanku yang tidak hati-hati saat berjalan. Mungkinkah ia pemilik pagar laut itu? Setelah berjalan agak jauh, aku berbalik untuk melihat laki-laki itu. Kelihatannya ia memang sedang melihat-lihat pagar laut melalui teropongnya.
Menurut kabar yang aku dengar, pagar laut di pesisir Tangerang ini adalah batas di mana akan dibangun kawasan hunian elit. Dengan alasan abrasi, sertifikat tanah dapat diurus oleh pengusaha yang sudah kongkalikong dengan penguasa. Mereka berdalih bahwa sebidang area itu dulunya merupakan tanah tapi kemudian berubah menjadi perairan karena abrasi. Sepanjang pantai hingga pagar laut ini nantinya akan diurug tanah atau pasir hingga siap dijadikan lahan hunian. Tampaknya pengusaha dan penguasa tak lagi memikirkan nasib kami para nelayan. Rancangan yang mereka bangun benar-benar mengancam mata pencaharian nelayan dan keanekaragaman hayati laut.
Aku hanya tinggal berdua dengan bapak karena ibuku sudah lama tiada. Inilah rumahku yang reyot, lebih tepatnya sebuah gubuk, yang tak jauh dari pantai di desa Tanjung Burung. Malam ini rumahku gelap gulita. Aku malas menyalakan lampu minyak di depan rumah. Hanya cahaya sang purnama mengintip dari balik dedaunan. Aku duduk di atas batu padas, di depan pintu rumah yang terbuat dari anyaman bambu. Semoga saja bapak segera datang dan memelukku. Tetapi rasanya tidak mungkin karena di malam hari tidak ada angin laut yang berembus ke daratan mendorong perahu bapak pulang.
Sudah bisa ditebak bahwa besok pasti Bu Sundari akan berkunjung ke rumah karena sudah dua hari ini aku bolos Seko, lalu besok aku akan bolos lagi. Besok aku ingin bertanya lagi pada teman-teman bapak, barangkali saja mereka mengetahui kabar bapak.
Aku mulai menguap, tak ada pilihan selain masuk rumah dan terlelap dalam gelap. Dalam kegelapan pikiranku terasa lebih tenang daripada ketika lampu menyala. Aku mencoba memejamkan mata sembari meringkuk di bawah selimut, menunggu cahaya mentari esok pagi.
Walaupun mataku terpejam, aku tetap merasa gelisah memikirkan bapak. Tiba-tiba perutku berbunyi minta diisi. Mulanya aku berusaha mengabaikannya tetapi akhirnya aku beranjak dari tempat tidur menuju dapur. Tanganku meraba-raba tembok untuk menemukan kantong plastik yang di dalamnya terdapat sebungkus mi instan. Setelah aku menemukan satu-satunya makanan yang tersisa di rumah ini, aku meraba-raba lagi untuk menuju tungku. Saat kutemukan korek api, aku segera menyalakan perapian dengan segenggam daun kelapa. Seketika aku bisa melihat sekitarku karena terang dari nyala api.
Ketika air dalam panci usang itu mendidih, aku memasukkan mi instan bersama bumbunya. Setelah kurasa matang, aku membawa panci dengan alas piring menuju batu padas di depan pintu rumah. Angin sepoi dan nyiur yang melambai-lambai menjadi teman dalam sepi di tepian pantai. Dari sini aku bisa melihat pagar laut di kejauhan dengan samar-samar. Ada kelip-kelip cahaya lampu berpindah-pindah, mungkin itu para pekerja yang meneruskan membuat pagar laut.
Aku menikmati setiap suapan mi dan kuahnya yang menghangatkan perutku. Terasa nikmat sekali, cukup untuk mengganjal perutku hingga pagi tiba. Aku yakin esok pagi bapak akan pulang dengan membawa hasil laut yang banyak.
“Aku yakin bapak tidak kenapa-kenapa,” gumamku berusaha menenangkan diri meskipun dalam hati aku sangat khawatir tentang bagaimana nasib bapak.
Mi instan sudah berpindah ke dalam perutku dan rembulan masih setia menerangi nyiur yang melambai-lambai. Dalam hening, suara deburan ombak begitu merdu terdengar, seakan berlari berlomba-lomba pecah dan hilang ke tepi pantai. Di langit yang tinggi dan jauh kulihat ada bintang yang jatuh, entah ke mana. Cepat-cepat aku merapal doa permintaan supaya bapak cepat pulang.
Ratusan, ribuan bahkan milyaran bintang-bintang di langit berkedip tak beraturan. Bagi orang desa sepertiku, itu adalah suatu pemandangan yang biasa. Berbeda dengan orang kota yang sedang healing di desa, bagi mereka pemandangan langit seperti itu adalah hal yang mewah yang tak mungkin mereka dapatkan di langit kota besar.
Bagaimana jika bapak tak kembali lagi?
Walaupun aku begitu yakin bahwa bapak baik-baik saja dan akan pulang esok hari, tetapi rasa khawatir begitu menghantui pikiranku. Aku tidak memperoleh firasat buruk apa pun mengenai bapak, jadi aku yakin bapak tidak kenapa-kenapa. Walaupun demikian, aku sudah memikirkan kemungkinan terburuk. Jika memang bapak tidak akan pernah kembali lagi, aku akan mengubur dalam-dalam harapanku untuk menyelesaikan sekolah, kuliah, bekerja dan mempunyai rumah yang bagus. Mungkin aku akan menghabiskan waktu untuk bekerja jadi pengamen atau pemulung.
Pikirku menjadi orang miskin itu memang punya banyak keterbatasan, sedikit ada kesempatan. Diberi kesempatan untuk bisa mengenyam pendidikan dan ada BPJS, itu saja sudah sangat membantu orang miskin seperti keluargaku.
Malam semakin beranjak larut. Aku masuk ke dalam rumah dan menutup pintu dengan palang kayu. Panci kosong sudah aku taruh di dapur, aku menghempaskan tubuh ke kasur tipis yang aku pungut dari tempat sampah perumahan mewah. Rasa kantuk tak bisa membuatku memejamkan mata. Pikiranku campur aduk antara rasa khawatir dan pengharapan tentang bapak.
Pikiranku semakin tak karuan. Jika besok bapak tidak kembali, artinya aku harus memupus semua harapan. Rasanya tidak mungkin seorang nelayan tanpa bekal dapat bertahan lebih dari lima hari, terkatung-katung di tengah laut dengan sebuah perahu kecil.
Hari sudah menjelang subuh tetapi aku tak bisa tidur. Tiba-tiba ada suara kendaraan besar mendekati rumahku. Sorot lampu depannya menembus lubang-lubang anyaman bambu pengganti tembok rumahku. Aku segera duduk dan waspada.
Siapa mereka? Ada perlu apa ke sini?
Aku mendengar beberapa orang berbicara di luar rumah. Berjingkat aku mendekati pintu rumah dan berusaha lebih menajamkan telinga untuk mendengarkan obrolan mereka.
“Beberapa bulan ke depan di tempat ini akan dibangun perumahan elit, jadi robohkan saja gubug ini. Kalau ada barang-barang yang kamu anggap berharga, ambil saja, taruh segera ke dalam bak truk, taruh dekat dus-dus paku. Kamu harus bereskan semua hari ini. Kamu bisa mulai kerjakan pembongkarannya sebentar lagi kalau matahari sudah terbit. Sekarang kita cari sarapan dulu.”
Mendengar perkataan orang di luar, aku menjadi terkejut dan geram. Satu-satunya tempat tinggalku akan di bongkar dan diratakan dengan tanah. Dengan penuh emosi aku membuka palang pintu yang terbuat dari kayu.
“Berhenti! Kalian tidak boleh merobohkan rumahku!”
“Santi belum tidur ya? Sini, salaman dulu sama Pak Kusuma, beliau ini bosnya bapak.”
Aku terkejut ketika tahu salah satu dari dua orang itu adalah bapak. Aku berlari cepat untuk memeluknya, akhirnya bapak pulang dalam keadaan sehat. Aku melonggarkan pelukan dan menoleh menatap bosnya bapak. Sepertinya aku mengenalinya.
“Kita berdua akan pindah rumah, Nak. Bapak diberi rumah yang layak untuk kita tempati. Bapak juga diberi pekerjaan yang lebih menghasilkan oleh Pak Kusuma sehingga nanti bisa membiayai sekolahmu,” kata bapak dengan senang.***