Cerpen Angela Queena
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Deru suara memenuhi telinga, memekakkan pendengaran. Suasana kota sore ini tampak ramai seperti biasa, matahari mulai menurun dan langit kian berubah jingga. Begitulah yang terlihat dari balik jendela kantor lantai dua itu.
Seorang jurnalis muda sedang duduk di kursinya. Tampak menggunakan headset di telinga, mendengarkan lagu milik grup musik rock asal Jakarta. Sesekali ia menyenandungkan melodi lagu tersebut.
Ia membuka komputer, memeriksa berita terbaru, siapa tahu dapat menggelitik rasa penasarannya. Nihil. Ia tak menemukan apapun. Sebelum akhirnya beralih pada E-mail yang baru saja masuk.
Hai, Karang bentala.
Kau pasti sedang mencari berita hangat saat menemukan E-mail ini. Jujur saja, kau pasti tertarik dengan kasus yang ini.
Oke, langsung saja ke inti. Belakangan ada rumor bahwa laut di kota sebelah telah dipagari secara ilegal oleh beberapa pihak. Ya…, kau lihat saja bagaimana belum ada yang membahas ini. Aku mendapat informasi ini dari kenalan. Tugas ini kuserahkan padamu.
Aku sudah mengirim sejumlah dana. Aku akan mengirim E-mail setiap kali mendapat informasi, kau tinggal mengerjakan bagianmu.
-L.
Karang terkekeh setelah membaca E-mail dari L tersebut. Ia lalu bergegas membereskan barang dan segera pulang.
***
Setelah 30 menit perjalanan pulang menggunakan transportasi umum, Karang akhirnya dapat kembali ke kamar kos kecil miliknya. Di sini, ia terduduk menghadap laptop dengan kopi di tangan. Menggulir beberapa pilihan tiket kereta untuk pemberangkatan besok.
Beberapa waktu kemudian ia mendapat jadwal yang menurutnya sempurna. Tentu ia beli dengan uang kiriman L. Lantas, jemarinya bergerak menuju aplikasi yang menampilkan peta dunia secara tiga dimensi, berharap dapat menemukan secercah foto di sana.
Sayang sekali, aplikasi itu tidak dapat mendeteksi lautan lepas karena jarangnya ada aktivitas manusia di sana. Diam-diam Karang menggerutu karena aplikasi itu tak rutin memperbarui peta mereka. Sebelum beberapa saat kemudian, ia memutuskan untuk tidur.
Matahari mulai menampakkan diri, menyinari hamparan biru pagi hari. Suasana stasiun tak terlalu ramai, karena ini bukan hari libur bersama. Karang sampai di stasiun sejak dini hari tadi. Ia membawa tas ransel, berdiri menunggu kereta yang akan membawanya menuju kota sebelah.
Karang belum pernah mengunjungi kota sebelah. Namun, ia sudah sering membaca tentang keindahan laut dan banyaknya ikan di sana. Sebelumnya ia membaca E-mail dari L yang dikirim pukul tiga dini tadi.
Sebagian besar penduduk berprofesi sebagai nelayan. Pantai juga kerap dijadikan destinasi liburan bagi pengunjung. Pemagaran laut itu membuat ekonomi penduduk cukup merosot. Ah, iya. Kau pasti pernah mendengar bahwa kota itu memiliki banyak pabrik industri.
Pabrik-pabrik itu dijamin pemerintah akan membuka lapangan kerja menjanjikan. Nyatanya, tidak. Hampir semua pekerja pabrik itu adalah orang luar, hanya sedikit yang berasal dari kota tersebut. Jadi, Karang, kali ini kita tidak mengurusi pabrik itu. Kita hanya menyelidiki tentang pagar laut misterius itu dan menguaknya.
Sebelumnya warga sudah melaporkan tentang pagar laut ini. Tetapi pihak berwenang belum melakukan Tindakan, mengharuskan warga bertahan hidup dengan cara apapun.
Kau akan bertemu dengan kenalan bernama Baskara Wijaya. Ia akan menjemputmu di stasiun siang ini. Kau akan menginap di villa miliknya. Ia sudah sepakat untuk membantu kita.
-L.
Kira-kira begitulah isi dari E-mail yang langsung Karang baca saat ia bangun dari tidur. Beberapa waktu melamun, akhirnya kereta tiba. Ia bergegas masuk ke dalam gerbong kereta.
Perjalanan diisi penuh dengan lagu yang lagi-lagi dari grup musik rock yang sama. Dari dalam headset, sang vokalis bernyanyi tentang mirisnya keadilan di negara ini.
***
Baskara Wijaya. Pria itu sekarang sedang menunggu jurnalis bernama Karang. Ia menunggu di pintu keluar stasiun seraya memainkan ponselnya. Jika mengikuti jadwal, seharusnya kereta sudah sampai sejak 20 menit lalu.
Setelah beberapa menit menunggu lebih lama. Di sinilah ia, akhirnya bertemu dengan sang jurnalis. Baskara berjalan ke arah pria tersebut, hendak menjemputnya.
“Anda.. Karang bentala..?,” tanya Basakara, diam-diam mengamati penampilan Karang.
“Benar. Biar kutebak. Kau pasti Baskara.” Karang menebak, terkekeh di akhir kalimatnya.
Baskara mengangguk, ikut tertawa, mereka akrab lebih cepat. Baskara menuntun Karang menuju mobilnya. Beberapa saat kemudian, roda mobil itu berputar, siap membawa Karang menuju tempat baru.
Kawasan pantai memang lebih jauh dari kota. Sepanjang perjalanan Karang dapat melihat pabrik-pabrik besar berdiri, berjejer di salah satu area kota itu. Setelah melewati tempat yang gersang, akhirnya ia dapat melihat pohon berderet lagi.
Netranya sekarang menangkap hamparan pantai membentang, di balik pagar yang membatasi area pantai dan jalan raya. Asin laut mulai menyengat hidung, memberikan rasa khas di sana.
Mobil berbelok ke salah satu villa yang bersebrangan dengan area pantai. Lantas setelah sampai, ia langsung dituntun Baskara menuju penginapannya.
“Ini kamarmu. Kalau ada sesuatu, panggil aku di area resepsionis.” Ujar Baskara, menepuk Pundak Karang. Lalu mempersilakannya istirahat dan beranjak pergi.
Siang berganti ke sore begitu cepat. Setelah sore, akhirnya matahari bergulir. Diganti dengan bulan yang menerangi langit. Karang sedang merawat kameranya, sebelum mendengar E-mail masuk.
Aku mau memberi tahu bahwa jika cuaca mendukung besok, kau akan berlayar ke tempat pagar itu berada. Bawa kameramu dan kirimkan hasil foto pagar laut padaku.
Aku curiga bahwa dalangnya adalah pabrik-pabrik di kota itu. Aku akan mengumpulkan bukti lebih lanjut.
-L.
***
Ruangan itu gelap. Sejumlah cahaya dihasilkan dari komputer di meja. Seorang pria berkacamata duduk di kursi, memandangi layar itu. Layar menunjukkan banyak kode dan file. Pria itu mengotak-atik kode di sana, membuka data secara bergantian.
Setelah beberapa saat, ia akhirnya memasukkan sebuah sandi. Otomatis membuka segala jenis data di file tersebut. Ia bersandar, menyeringai.
“Lebih mudah dari yang kukira.” Gumamnya sebelum beralih ke monitor lain, mengirim sebuah informasi.
***
Pagi ini cuaca cukup mendukung. Angin tidak terlalu kencang dan surya tak begitu Terik. Sebuah perahu besar berlayar menuju tempat pagar itu. Nahkodanya adalah seorang petani yang kehilangan tangkapan setelah pembangunan pagar tersebut.
“Tahun kemarin pagar itu dibangun. Hasil tangkapan menurun terus setelah itu, warga yang bantu membangun juga menyesal.” Ucap si nelayan dengan nada sedih.
“Ada beberapa warga yang dibayar untuk keberlangsungan pembangunan, Rang.” Lanjut Baskara, menambahi ucapan si nelayan. Karang mengangguk, ia merekam semua obrolan yang terjadi selama perjalanan ini.
Angin sepoi meniup helaian rambut, sementara surya semakin terik. Terlihat pagar dari bambu yang menjulang di laut. Karang mengeluarkan kameranya, mengarahkan lensa pada pemandangan pagar tersebut.
“Diperkirakan panjangnya mencapai 30 kilometer. Merugikan sekitar 3.000 nelayan.” Baskara berkata dengan nada sedikit datar. Netranya memandang pagar tersebut, mengamati.
“Merugikan sekali. Bukankah ekosistem juga ikut rusak?” Karang menimpali seraya melihat hasil foto di kameranya itu.
“Itu sudah pasti.” Baskara menjawab dengan singkat, memasukkan tangannya di kantung hoodie.
***
Foto bagus yang kau tangkap, Karang. Aku mempunyai bukti bahwa pagar itu ilegal. Kau tinggal menguak ke publik tentang pagar itu melalui tulisanmu. Selanjutnya biar dilanjutkan oleh pihak berwenang. Mereka akan bertindak jika suatu berita sudah booming.
-L.
Karang duduk di kursi, meregangkan tubuh, lalu membiarkan jemarinya menari di atas papan ketik. Ini akan menjadi lembur yang panjang, pikirnya.
***
Ribuan posting ulang sudah dibagikan setelah artikel tentang pagar laut itu diunggah di beberapa platform sosial. Melalui tulisan si jurnalis, banyak pihak yang menyadari tentang keberadaan pagar laut ilegal itu. Beberapa penduduk yang terkena dampaknya pun mulai membagikan pengalaman mereka. Selang beberapa hari kemudian, pihak berwenang akhirnya bertindak.
Ruangan itu sekali lagi gelap. Tapi kali ini ada cahaya lain selain monitor yang menyinari, yaitu lampu kelap-kelip. L mungkin sudah mempunyai selera baru dalam mendekorasi ruangannya itu.
Jemarinya menari di atas papan ketik, mengirimkan E-mail pada pihak berwenang. Berisi tentang bukti-bukti bahwa tiga pabrik kota itu yang menjadi dalang pembangunan pagar laut ilegal.
Pihak berwenang sepertinya dengan cepat membaca E-mail tersebut. Karena selang beberapa hari mereka memeriksa ketiga pabrik tersebut. Dilakukanlah persidangan tertutup tentang kasus ini, menghadirkan beberapa saksi dari kota itu.
Setelah beberapa hari melakukan persidangan tertutup, akhirnya pihak berwenang menerbitkan empat tersangka yang terlibat atas dugaan pemalsuan izin pembangunan pagar laut. Membuat pagar itu harus dibongkar dan dikenakan denda besar.
Kasus ditutup.
***
Deburan ombak menghantam pendengaran. Surya mulai merosot dan langit menjadi jingga. Angin lembut meniup helaian rambut, membuat suasana menjadi nyaman. Karang lebih sering mengunjungi kota ini untuk membebaskan pikiran. Terlebih lagi ia kenal dengan Baskara, selaku pemilik salah satu villa. Membuatnya dapat harga teman saat menginap.
Mereka berdua tampak sedang menikmati sore itu. Sebelum akhirnya, Baskara mengangkat suara.
“Sebenarnya, L, rekanmu itu hacker..?,” tanya Baskara dengan nada penasaran. Karang hanya bisa terkekeh setelah itu.
“Bisa dibilang begitu. Ia lebih mirip detektif yang ada di anime sih. Kami sudah kenal lama, tapi ia hanya menemuiku beberapa kali dalam setahun. Aku menerbitkan banyak informasi berkat bantuannya.” Jawab Karang, berharap perkataannya itu dapat membungkam rasa penasaran Baskara. Sementara yang lain hanya mengangguk.
Hening sejenak, sebelum akhirnya seseorang dari arah belakang memanggil.
“Karang bentala, jangan menyebarkan rumor buruk tentangku.” Suara itu terdengar familiar di telinga Karang. Ia berbalik, tercengang melihat L alias Laut berdiri di sana.
“Laut..?”
Laut tersenyum miring, menduga hal ini akan terjadi. Saat ini raut wajah Karang dan Baskara sedang tidak baik-baik saja.
“Hai, Baskara yang di sana.” Ucapnya melambaikan tangan pada Baskara.