Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Yesi Daivanuha | Belajar Memaafkan

Cerpen Yesi Daivanuha



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Hujan deras mengguyur kampung Demak hari itu. Gemuruh kilat sesekali mengejutkan seorang pria paruh baya yang sedang menggenggam telepon genggamnya. Air mata menetes dari pelupuk matanya saat berbicara dengan anak satu-satunya yang telah berpisah rumah sejak perceraian dengan istrinya.


"Tapi aku butuh waktu, Ayah," kata suara di seberang telepon.


"Fatah Syach!" tegur sang ayah di tengah isakannya, menyebut nama anaknya dengan penuh penekanan.


"Fatah, dengarkan Ayah. Di sini damai, tidak ada beban yang harus dipanggul, tidak ada beban yang harus kau bawa dalam kehidupanmu," ujar sang ayah, menghela nafas sambil mengusap kasar kedua matanya yang sembab. Ia berhenti sejenak, memberikan waktu bagi anaknya untuk meresapi kata-katanya.


"Beban maksud Ayah? Beban apa? Aku tidak pernah memanggul beban di sini, di tempat yang jauh dari Ayah. Di sini tenang semenjak Ayah cerai. Saat aku pergi, aku tenang, Ayah," balas Fatah dengan nada tinggi.


Fatah kemudian membanting ponselnya ke sudut pintu hingga hancur berkeping-keping. Ia frustasi, nafasnya tersenggal-senggal. Tubuhnya yang lemas akhirnya terbaring di atas ranjang tanpa mempedulikan ponselnya yang hancur. Hatinya sudah mati rasa. Untuk mengeluarkan setetes air mata pun rasanya sangat sulit. Tatapannya menerawang, pikirannya berkecamuk.


Said Sunarto, ayahnya, sedang menunggunya di kampung Demak, jauh dari New York tempat Fatah tinggal sekarang. Sang ayah dengan tabah menunggu di kampung halaman. Tiba-tiba bel apartemen Fatah berbunyi, memecah keheningan. Dengan langkah gontai, ia berjalan menuju pintu depan, sesekali menyingkirkan serpihan ponselnya. Fatah membuka pintu dan melihat sosok yang berdiri di sana: Gloria, gadis yang selama ini ia hindari.


"Sorry, I think I understand bagaimana rasanya tersakiti oleh ayah sendiri. Come on, Fatah, let's move on," ujar Gloria.

 

Fatah menutup pintu kembali, namun Gloria terus menekan bel. Akhirnya, Fatah mengintip dari celah pintu. Ekspresi gadis itu tidak berubah, tetap terpaku di sana dengan tatapan optimisnya.


"Gloria, apakah kamu tahu, orang tuaku cerai. Entah apa yang dipikirkan ayahku untuk menceraikan ibuku," kata Fatah setelah membuka pintu.


"Sebenarnya kau meninggalkan ayahmu karena kesal, atau hanya sekedar membutuhkan waktu untuk sendiri? Do you know that? Ayahmu sangat menyayangimu, Tah."


Fatah menatap Gloria lekat-lekat. Ia baru menyadari bahwa gadis itu hanya mengenakan hoodie hitam dan celana jeans pendek di malam yang dingin.


"Ayah sama sekali tidak mengerti. Dia itu—ah, aku pun tidak bisa mengucapkannya lagi. I can't move on. Ibuku membenci ayahku, bahkan ibuku sudah menaruh beban tanggung jawab pendidikanku kepada Mr. Leon dan Mrs. Leonsum."


Gloria meletakkan jari telunjuknya di bibir Fatah, mengisyaratkan bahwa kata-katanya itu tidak masuk akal.


"Aku tidak peduli kau suka atau tidak, kau tidak boleh membenci ayahmu. Ingat, kunci surga di tangan bapak."


Fatah memilih diam, mencoba meresapi apa yang dikatakan Gloria. Ia melepaskan jari telunjuk gadis itu dengan santai.


"Mr. Raden Said, I know that person. I can't say for sure kalau dia tidak mengetahui apa yang dialami anaknya."


Sejenak hening. Gloria memberi sedikit luang setelah melihat adanya perubahan pada mimik wajah Fatah. Tak lama, Fatah menarik pergelangan tangan Gloria dan mencengkramnya erat- erat hingga membuat gadis itu meringis.


"If you think I don't know anything, you're wrong! Dia egois! Pemarah! Dan selalu membentakku dan ibu dulu, kapan dan di manapun. Dia tidak tahu malu, Gloria."

 

Sebutir air mata mulai menetes dari kedua mata Fatah. Cengkraman tangannya melepas, membuat Gloria menghela nafas lega.


"I'll drive you, anywhere's okay. Menemani untuk menenangkan diri," tawar Gloria.


Fatah merogoh saku celana piyamanya, mengeluarkan kunci motor. "Wait a second, I want to change my outfit."


Sambil kembali ke kamar, Fatah terus bergumam tentang percakapan singkat di teras. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 02:06 dini hari. Entah mengapa ia merasa segar sehingga tidak bisa tidur. Fatah sibuk memilih baju dari lemari, seolah tidak ingin tampak kampungan di mata Gloria. Ia merasa konyol harus mengalihkan pembicaraan yang sebenarnya penting.


Setelah lama menunggu, Gloria samar-samar mendengar isakan tangisan dari dalam. "Are you okay?" tanyanya penasaran, namun hanya dijawab keheningan. "Fatah? Are you hear me? Why—"


Tiba-tiba ponsel Gloria berdering. Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. Nama di layar membuatnya terkejut.


"Assalamualaikum, Pak! Ada apa? Tenang, Pak! I'm always here. Hah? Fatah? Gak bisa dicalling? Gak bisa?"


Gloria panik mendengar kabar bahwa kondisi ayah Fatah sedang kritis. Penyakit paru-parunya kambuh.


"Fatah! Fa—"


"Be quiet, Gloria! Ada apa teriak-teriak?" Pintu terbuka, menampakkan Fatah dengan kemeja kotak merah terbuka, menampakkan kaos putih dan celana jeans pucat yang digulung.

"Keep stay, Gloria? What happened? So, my dad called you?" tanya Fatah panik. "Yes, he did. And, kamu tahu? Dia terkena serangan paru-paru."

 

Seketika tubuh Fatah melemas. Ia tidak menyangka penyakit ayahnya akan kambuh kembali. Apakah ini pertanda untuk segera pulang? Namun, ia masih belum siap bertemu ayahnya sejak perceraian dengan ibunya karena dugaan perselingkuhan.


Ibu Fatah, Laura Jessie, tidak tahan dengan sikap suaminya yang kasar. Laura mulai mempercayai bosnya, Leon Damian, sebagai pelindung baru untuk Fatah. Namun, Fatah tidak menginginkan itu. Ia hanya ingin keluarganya kembali utuh.


"Biarkan saja, I wanna—" kata-kata Fatah terpotong.


"Shit! Kamu gimana sih? Apa kamu menyayangi mereka?" sergah Gloria sambil menatap Fatah lekat-lekat.


"Of course! I always loved my family, but aku belum bisa memaafkan ayahku yang bejat!" Suara Fatah semakin berat.


Gloria menatap Fatah dengan serius. Karena percakapan ini terlalu serius, Fatah mengajak Gloria masuk ke dalam apartemen. Mereka duduk di sofa tamu, dan Fatah membawakan toples berisi camilan.


"Eh, gausah se-busy ini, I'm just want talk," kata Gloria, merasa sungkan.


"Oh, fine," Fatah menyodorkan toples berisi kue kacang, sementara ia sendiri menikmati kue keju dari toples lain.


"Sebenarnya, apa ayahmu pernah membawa wanita lain ke rumah?" tanya Gloria tiba-tiba.


Pertanyaan itu membuat Fatah berhenti makan dan menatap Gloria serius, seolah menanyakan alasan di balik pertanyaan itu.


"Bukan hanya itu, aku sedikit empati dengan ayahmu. Kayaknya, berikan dia sedikit kesempatan untuk berubah deh."


Bukannya serius, Fatah malah tertawa keras. "Berubah? Hahaha... Jadi apa, Superman? Batman? Atau Ultraman? Oh, I know, he's wanted to change to be a monster! Hahaha..."

 

Melihat ekspresi serius Gloria, Fatah berusaha meredakan tawanya. "Huh, aku sudah memberinya banyak kesempatan, tapi apa hasilnya? Tetap nihil, tidak ada perubahan sedikitpun."


"May we go now? Let's make a move," ajak Fatah, beranjak dari sofa sambil memainkan kunci motor.


Gloria hanya mengangguk dan mengikuti Fatah. Selama menuruni tangga apartemen, mereka berdiam diri. Tidak ada yang berani memulai percakapan hingga mereka sampai di tempat parkir.


"Hey, shall we go?" Fatah menyodorkan helm kepada Gloria, yang mengangguk dan memakainya sebelum naik ke motor.


Sepanjang perjalanan, pikiran Fatah melanglang buana. Ia merasa bersalah. "Fat, kok melamun?" tegur Gloria.

Fatah terlonjak, membuat motornya sedikit bergoyang. "Eh, I'm so sorry, but I'm just daydreaming, nothing—"


"Fatah, ini masih di jalan! Mau kita kecelakaan?"


Fatah terdiam. Ia merasa bersalah karena telah mengabaikan perkataan ayahnya. Walaupun kasar, ayahnya tetap bagian dari keluarganya. Kini penyakit ayahnya kambuh, dan Fatah tidak sempat menjenguknya. Namun, apalah arti "sempat" bila ia sudah membenci ayahnya?


Suasana malam semakin hening di antara keduanya, hingga pandangan Fatah tertuju pada sebuah kafe. Di salah satu meja, ia melihat ibunya sedang duduk bersama bosnya, Om Leon. Laura Jessie juga terkejut melihat anaknya berada di sana. Yang lebih mengejutkan Fatah adalah bagaimana ibunya bisa berada di New York, bahkan di tempat yang tidak jauh dari apartemennya.


"Ibu, why you here?" tanya Fatah setelah ia dan Gloria mengambil tempat di seberang ibunya. "Oh, Ibu hanya ingin sama kamu, Ibu ingin keluarga kita utuh kembali," jawab Laura.

 

Fatah hanya mengangguk, walau di hatinya masih gelisah. "Ibu, hmm... gimana kabar ayah di Indonesia?"


Fatah merasa sedikit tertekan namun juga lega karena berpura-pura tidak tahu kondisi ayahnya, ingin melihat sisa kepedulian ibunya. Benar saja, Laura Jessie mulai menampakkan raut wajah tidak nyaman.


Percakapan mereka terpotong ketika pelayan datang mengambil pesanan. Setelah pelayan pergi, Gloria berbicara pada Fatah.


"Fatah, kunci surga ada di tangan ayah, sedangkan surga ada di telapak kaki ibu. Percuma sayang ibu tapi kau membenci ayahmu. You've got your head on straight today, haven't you?"


Cangkir yang Fatah pegang bergetar. "Tell me, I want to know, what did I do wrong? Kenapa kau katakan hal itu kepadaku, seakan aku ini ada salah—"


"Kau meninggalkan ayahmu, sedangkan di sana beliau sakit keras. Oh my God, It's difficult for you, too, memaafkan ayahmu yang sedikit bejat dan kasar itu. Setiap orang pasti memiliki sisi baiknya, think about it!"


Fatah terdiam. Selera makannya hilang. Air matanya mulai menetes, dan tanpa sengaja tangannya menjatuhkan cangkir, menghasilkan serpihan kaca di lantai.


Seorang lelaki bertubuh kekar, dengan tato tengkorak di seluruh badannya, mengangkat tinjunya seakan ingin memukul Fatah. "Oh, what you did was stupid! You look stupid, home boy!"


"Gloria, keep here, don't go yet. It's gonna be okay," kata Fatah.


Gloria beranjak untuk memunguti serpihan kaca dan membuangnya. Ia mendekati pria bertato itu dan menahannya.


Pada akhirnya, takdir berbicara lain. Ayah Fatah meninggal karena penyakit paru-parunya yang semakin parah. Fatah pulang ke Indonesia dan menyesali sikapnya selama ini. Ia baru menyadari betapa ayahnya sangat mencintainya, bahkan telah mempersiapkan rumah baru untuk Fatah jika ia pulang.

 

Di pemakaman, Fatah terisak sambil mendoakan ayahnya. Gloria dan temannya Satoshi berdiri di sampingnya, memberikan dukungan.


"Jangan pernah membenci ayahmu, walaupun sekasar apapun dia, ingat, dia masih orang tuamu," kata Satoshi.


Hati Fatah yang retak perlahan tersembuhkan oleh kata-kata kedua temannya. "Thank you, guys. Tapi untuk menebus rasa bersalahku, aku harus ikut memandikan jasad ayahku."


Gloria dan Satoshi mengangguk bersamaan, lalu mereka kembali ke tempat di mana jasad ayah Fatah berada. Fatah membantu memandikan, membungkus, dan menyolatkan jasad ayahnya di musholla terdekat.


Saat jasad hendak dimasukkan ke dalam liang lahat, Fatah seakan mendengar bisikan di telinganya: "Fatah Syach, kau beruntung punya teman seperti Gloria. Andaikan ayah masih hidup, ayah bisa menyempatkan diri untuk menyapa Gloria di rumah kamu di sini yang baru ayah bangun. Semoga dia bisa menjadi pendamping hidupmu ke jalan yang baik."


Tanpa sadar, jasad ayahnya telah dimakamkan dengan papan nisan bertuliskan "Raden Said Sunarto bin Adiwijaya Husein." Fatah menoleh kepada Gloria yang sedang menyiramkan air pada makam ayahnya.


"Gloria, makasih ya."


"Pelajaran buat kamu ya, jangan sesekali menaruh dendam kepada ayahmu," jawab Gloria tersenyum.


Fatah terpana. Gloria yang penasaran dengan apa yang dipikirkan Fatah menegurnya, "Say something, don't daydream here. What's on your mind now?"


"Nothing, let's talk about it later."


Fatah lalu mengadahkan kedua tangannya, berdoa kepada Allah agar diampunkan segala kesalahan ayahnya. Ia seakan takut kalau ayahnya akan disiksa di alam kubur karena kesalahan yang belum diampuni.

 

Setelah berselang waktu, para kerabat mulai berpulang. Matahari sudah menyinarkan cahaya panas. Hari semakin siang, tapi Fatah masih setia berada di pusara ayahnya. Ia sedikit merasa tidak enak karena ibunya tidak ikut menyaksikan pemakaman ayahnya, namun ia berjanji akan menemaninya kapanpun.


"Hey, ayo pulang," rengek Satoshi yang mulai kepanasan.


"Hehehe, wait a second," Fatah terkekeh sambil mengusap papan nisan ayahnya. Kemudian ia mengajak kedua temannya meninggalkan pemakaman.


Langkah demi langkah terasa berat bagi Fatah, terlebih untuk meninggalkan ayahnya. Kini ia telah memaafkan ayahnya, walaupun terasa sulit karena tindakan kasar yang telah dilakukan kepada istri dan anaknya. Namun, bukan hanya rumah yang membuktikan kasih sayang. Sepupunya, Affa, telah menganggap ayahnya sebagai pengganti Om Wiryo yang bunuh diri. Kini, ia harus mengikhlaskan ayahnya yang telah dipanggil Allah.