Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Indira Isvandiary | Belum Ada Satu Bulan

Cerpen Indira Isvandiary 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


“Kalo nggak bisa ya tinggal bilang lagi. Toh, semua orang udah pada tahu masalahmu itu. Cuman yang jadi pertanyaan, mau sampe kapan? Pasukan elit TNI Angkatan Laut, tapi kok takut sama laut. Iku piye toh, Sad?” 


Suara bariton yang baru saja muncul di pikiran Sadewa adalah milik rekan kerjanya di Kopaska—Komando Pasukan Katak. Namanya Ajeng. Laki-laki. Namun, biasa dipanggil Bajeng, singkatan dari Bang Ajeng, oleh Sadewa dan lainnya di momen santai.


Sadewa termenung di antara suara desiran ombak dan sayup angin laut di sekitarnya. Pria tiga puluh dua tahun yang malam ini sudah tak lagi mengenakan seragam dan atributnya—berganti setelan panjang serba hitam—tampak duduk sendirian di antara kursi panjang tua yang keberadaannya tak jauh dari pesisir pantai perairan Tanjung Pasir di wilayah kabupaten Tangerang.


Tangan Sadewa memegang secangkir kopi yang bahkan belum diseruput. Angin sesekali berembus cukup kencang, mengibas halus rambutnya yang agak cepak. Matanya tak lagi melihat kopi yang masih penuh dan sudah dingin itu. Kedua netra mengantuknya kini tertuju pada mozaik barisan pagar laut di kejauhan. Pagar bambu yang tertancap kuat ke dalam laut itu terbentang lebih dari 30 kilometer.

“Sial,” gumam Sadewa pelan. Entah sudah berapa kali dia merutuki situasi menyebalkan ini. Dia kesal bukan main, khususnya pada oknum-oknum tak bertanggung jawab yang membangun pagar tersebut secara ilegal.

Bersama pasukannya, Sadewa tiba sore tadi usai sang pimpinan mendapat instruksi langsung dari Presiden. Rencananya, eksekusi pembongkaran pagar laut tersebut akan dilakukan terhitung besok. Tentu saja, juga melibatkan Satuan Tugas lain. Operasi ini benar-benar membutuhkan tenaga ekstra.

 

Oleh sebab itulah, Sadewa mau tidak mau harus ikut turun ke lapangan kali ini. Tak peduli hatinya masih terasa sangat sakit, setiap kali mendengar apalagi melihat bentangan lautan di hadapannya.


“Belum ada satu bulan. Wajar kan, kalo aku belum bisa lupain kamu?”


***

Keesokan harinya.


Sadewa berdiri di tengah barisan Kopaska yang mengenakan setelan seragam kaus biru muda. Terlihat pula pasukan lain dan beberapa perwakilan nelayan—juga warga sekitar yang antusias menonton. Semua berkumpul di area pesisir pantai. Sang Jenderal memberikan arahan sebelum operasi dilakukan. Mata Sadewa kembali melirik pagar-pagar laut yang membentang di kejauhan. Gelombang-gelombang kecil yang tertahan berdesir di antaranya.


“SIAP!” 


Suara keras itu membuyarkan lamunan Sadewa, bahkan nyaris memekakan telinganya. Tak lama berselang, seluruh barisan pun dibubarkan. Sadewa masuk ke tim yang dipimpin oleh Ajeng. Mereka akan berada dalam satu boat—kapal—yang sama.


“Sad?” ujar pria yang kerap disapa Bajeng itu.


Sadewa mengangguk sekali sebagai tanda oke. Lagi pula, dia masih berenang, kok.


“Ayo!” lanjut Ajeng pada anggotanya. Mereka membawa pelampung leher dan peralatan pendukung lainnya di atas boat tersebut termasuk perbekalan makan siang.


Selang beberapa saat kemudian, boat Ajeng akhirnya tiba di dekat sebuah titik pagar laut. Pria itu akan tetap berada di boat untuk memantau. Dia akan bertugas di sesi berikutnya. Sementara itu, Sadewa memperhatikan rekan-rekannya telah menurunkan tubuh mereka satu per satu ke air.


“Aman?” tanya Ajeng pada mereka yang sudah nyebur.


“Ya!”


Seseorang yang lain terlihat mulai berancang-ancang untuk menyelam ke dasar, mengamati, dan mengukur situasi di bawah sana.


Kini, giliran Sadewa. Sebelum menyusul turun meninggalkan boat, dia menatap ke dalam permukaan air biru tua nan gelap itu. Perhatiannya tak lagi mengarah pada mereka yang sudah mulai bekerja. Selagi tercipta keheningan di antara keributan, Ajeng beralih mengamati Sadewa dengan mata elangnya tanpa bicara. 


Kalo nggak salah, belom ada satu bulan, pikir Ajeng selalu mencoba memahami posisi Sadewa. Dia memutuskan untuk membiarkan Sadewa alih-alih terlalu mencemaskan kawannya itu. 


BYURRR!


Sadewa akhirnya melompat turun. Mengenakan pelampung leher untuk berjaga-jaga, dia segera berenang kecil menghampiri pancang pagar bambu terdekat. Tangannya menggenggam itu, tak terlalu erat. Kakinya di bawah sana mengayun-ayun. Ternyata, cukup dalam. Sudah hampir sebulan dia tidak berenang, selalu mangkir dari latihan, bahkan absen di salah satu Operasi Amfibi sebelum ini.


“Hoahhh!” Kepala Jhonan tiba-tiba muncul ke permukaan, membuat Sadewa terkejut. Pria Batak itu lalu menyeka kasar wajahnya yang basah dengan tangan. “Oh, kau Sadewa! Eh, nancapnya gila kali! Kau bantu aku tariklah, Sad! Gak apa, kan?”


Sadewa melepas pelampung di lehernya. 


“Ya.”


***


Mengambil napas, Sadewa dan Jhonan menyelam turun ke dasar. Jhonan melihat anggota lain telah berhasil melepas tancapan dua batang bambu. Jhonan melirik Sadewa dan gelembung-gelembung yang keluar dari hidungnya. Sejauh ini dirinya yakin, mereka juga pasti bisa.


Keduanya menggenggam pancang bambu itu erat-erat, lalu menariknya kuat-kuat. Pasir di dasar laut melayang-layang seiring pergerakan mereka. Padahal hampir berhasil, tetapi Sadewa melihat Jhonan berenang kembali ke permukaan. Agaknya, pasokan oksigen di dadanya menipis.


Sadewa terhenti. Dia tak lagi menarik pagar bambu itu. Matanya menyayu. Pikirannya, tiba-tiba melayang. Kulitnya seolah baru merasakan kepekaan suhu di sekitarnya.


Dingin ….

Mata Sadewa perih. Lidahnya menangkap rasa asin dari air laut yang berhasil menyelinap masuk ke mulutnya yang terkatup. Tubuhnya masih berada di dasar, dengan kaki yang berpijak lemas. Tangannya bertopang pada pagar bambu.

“Salma ….”


Ingatan sebulan lalu kembali tersetel di kepala Sadewa.


***

“Ya makanya, kamu temenin aku dong sekali-sekali, Sad! Pacar & suami temen-temen aku yang lain aja selalu ada untuk mereka. Kamu?!” omel Salma di seberang telepon. “Ini tuh momen terakhirku bisa kumpul bareng mereka, sebelum kita nikah nanti! Aku udah janji loh, kalo kamu bakal nyanggupin!”

“Sal, aku kan udah bilang tanggal 9 ini aku ada—”

“Ya tinggal izin!” sela Salma. “Lagian aku udah ngomongin ini dari sebulan lalu ya! OH! Lupa?!”

Sadewa terdiam. Salma selalu saja berpikir bahwa Sadewa seperti pasangan teman-temannya yang bisa bebas mengambil cuti sesuka hati. Salma seolah lupa bahwa Sadewa adalah Tentara dari sebuah Pasukan Khusus. Bahkan, saat ini mereka sedang menjalani hubungan jarak jauh.

“Enak ya kamu, Sad,” kata Salma. Suaranya terdengar lebih pelan kali ini.

“Apa maksud kamu?”

“Aku di sini RIBET dan jenuh sendirian ngurusin persiapan pernikahan kita. Aku cuman minta refreshing bareng kamu sebentar, sama temen-temen aku juga. Tapi kamu gak pernah bisa!”

“Apa?” Sadewa mulai muak. “Kamu kira, aku di sini lagi seneng-seneng, Sal? Semua hal udah kita bagi dan sepakati bersama di awal. Kamu yang egois dan kekanakan!”

Salma tidak bicara lagi. Hanya terdengar deru napas pelan.

“Sal?”

“Sad, batalin aja.”

“Ya, emang harusnya dibatalin aja acara sama temen-temen kam—”

“Bukan, pernikahan kita,” sela Salma lagi.


“Hah?”


“Sejujurnya, aku emang udah ragu. Daripada bahagia, aku lebih sering ngerasa capek karena kita berantem terus. Aku nggak mau kita menyesal belakangan.”

“Sal ….” Sadewa merasakan sesak di dadanya mendengar kejujuran Salma.

“Sorry, Sadewa.”

Salma memutus sambungan telepon secara sepihak. Sejak malam itu, Sadewa kesulitan menghubungi nomor pribadi Salma. Kemungkinan besar dia di-block. Meski begitu, pembatalan rencana pernikahan ini telah sampai ke telinga keluarga masing-masing. 


Selang beberapa hari kemudian, sebuah insiden laka tersisipkan di antara berita Nasional. Namun, Sadewa yang tidak menonton televisi, justru baru mengetahuinya ketika dia membuka grup WhatsApp keluarga. Itu pun pada malam hari. Saat membaca pesan tersebut, Sadewa yang syok sampai jatuh bersandar tembok ruang istirahat pribadinya.


Tangan Sadewa yang menggenggam ponsel, bergetar kecil. “Sal…ma.”


Ibunya mengabarkan, bahwa mantan calon menantunya itu terseret ombak ketika berlibur bersama teman-temannya. Tubuh Salma lenyap ditelan lautan. Jasadnya tak ditemukan, bahkan hingga hari ini.


Hampir sebulan.


Pencarian oleh Tim SAR pun sudah resmi dihentikan.


***

Jhonan berseru, “WOI, SAD!” 


Dia menepuk-nepuk wajah Sadewa berkali-kali.

“Jhon, tenang! Dia nggak mati, cuman pingsan,” ujar Ajeng melirik Sadewa yang terbaring di atas boat mereka. “Makan dulu, gih!”

“Haishhh!” Jhonan menghela napas kasar. Dia lalu meraih nasi bungkus dari dalam plastik, lalu membukanya. “Bagaimana aku bisa makan, di saat kawanku hampir mati tadi?!”

Ajeng melihat Jhonan mulai melahap nasi dan lauknya dengan tangan telanjang.

Beberapa waktu sebelumnya, ketika Jhonan kembali menyelam ke dasar laut setelah mengambil napas, dia mendapati Sadewa diam saja sambil memegangi pagar laut. Namun, bukan itu yang bikin kaget. Dia tidak melihat Sadewa mengeluarkan gelembung napas, dan mata kawannya itu juga dalam keadaan separuh terbuka.

“Besok-besok, gak usah diajak lagilah dia, Bajeng!” protes Jhonan pada Ajeng.

Di antara mata yang masih terpejam, Sadewa sebenarnya sudah separuh sadar. Indera penciumannya telah menangkap aroma laut—dan baju basah milik Jhonan yang duduk bersila di dekat pinggangnya.

Salma, batin Sadewa.

Selama pingsan, Sadewa memimpikan Salma. Dia sebenarnya tidak tahu esensi dari sebuah mimpi, apakah itu hanya sekadar bunga tidur; hasil dari keinginan yang tak bisa terwujud di dunia nyata, atau justru menyimpan pesan khusus dari alam semesta.

Ketika kedua kaki Sadewa keram, dan dia juga sempat kehabisan napas di dasar laut, sosok Salma tiba-tiba muncul seraya berenang mendekatinya. Rambut hitam Salma yang panjang terurai indah di antara air laut yang bening. Cantik sekali.

Salma tersenyum, lalu dengan lembut mengecup bibir Sadewa, seolah gadis itu hendak memberikan napas buatan untuknya. Mata Sadewa yang sayu memandang itu seperti sebuah kenyataan di antara kemustahilan. Dia menatap mata Salma, begitu dekat.

Salma, ini … kamu? Sal, please!

Air mata Sadewa menitik bercampur air laut di sekelilingnya.

Aku kangen banget, Sal! Maafin aku! Maaf!

Sayangnya, Salma tidak menjawab, tetapi kedua matanya yang indah melengkung senyum pada Sadewa.


***