Cerpen Greyzilda
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Matahari hampir tenggelam. Awan berubah menjadi jingga kekuningan. Angin yang tertiup tanpa arahan, membawa ombak kepinggiran. Pasir berbisik lirih di bawah kaki, menyimpan cerita tentang jejak yang datang lalu pergi.
“Hiks hiks... huhuhu.. tolong kami.” Terdengar suara isak tangis yang terdengar lirih.
“Rumah kami para ikan sudah hancur.” Ucapnya lagi dengan suara yang bergetar. Marisa mencari sumber suara itu dan melihat ikan Nemo kecil di laut yang menangis tersedu-sedu dengan tatapan sayu mengarah ke arahnya.
“Apa yang terjadi padamu ikan Nemo kecil?” Tanya Marisa dengan membungkukkan badannya ke bawah untuk melihat lebih jelas ikan kecil itu.
“Satu bulan lalu ada seseorang yang membangun pagar di laut dan hari ini mereka menimbunnya menggunakan pasir sehingga merusak ekosistem laut dan menghancurkan rumah kami.” Jelas ikan kecil itu. Mendengar hal itu Marisa teringat sesuatu yang membuatnya sedikit bingung, kesal dan panik.
Pagi itu Marisa mendengar ayahnya yang sedang berbicara di telepon.
“Timbun segera area itu menggunakan pasir dan lakukan pembangunan hotelnya, besok aku akan datang untuk mengeceknya.” Suara seorang laki-laki yang berbicara di dalam teleponnya.
“Ayah berbicara dengan siapa ya?” Batin Marisa dengan melihat ayahnya yang menggenggam telepon di tangannya dan menempelkan di telinganya .
Mengingat hal itu Marisa segera beranjak dari tempatnya dan bergegas menemui ayahnya.
“Aku harus segera bertemu dengan ayah.” Ujar Marisa dengan terus berjalan menuju rumahnya. Marisa melewati desa yang sunyi, syahdu dan tidak banyak orang berlalu lalang,
“Mungkin karena sudah petang.” Batin Marisa.
Terdengar dari kejauhan suara isak tangis seorang anak yang sedikit samar.
“Suara siapa itu?” Ujar Marisa yang celingukan mencari-cari sumber dari suara itu. Hingga beberapa saat ia baru menyadari sumber dari suara itu.
“Oh suaranya berasal dari depan sana.” Ucap Marisa dengan raut wajah yang senang karena berhasil menemukan sumber dari suara itu. Marisa segera mengikuti arah dari suara itu dan menemukan seorang anak yang menangis histeris dan seorang ibu yang mencoba menenangkan anaknya.
“Bu, ini anaknya kenapa nangis?” Tanya Marisa.
“Iya neng, ini anaknya nangis karena minta dibelikan pensil warna yang baru.” Jawab sang ibu dengan senyuman yang khas.
“Loh, kenapa tidak dibelikan yang baru saja bu?” tanya Marisa lagi. Dengan suara yang lembut, ibu itu menjawab
“Ibu tidak punya uang neng, bapaknya hari ini tidak banyak menangkap ikan, kata bapak ada yang memasang pagar di laut, dan bapak tidak bisa leluasa mencari ikannya neng, bapak harus pergi ke laut yang sedikit berisiko neng.” Jawab sang ibu. Mendengar hal itu Marisa merasa iba sekaligus bersalah karena kemungkinan ayahnya yang memasangnya.
“Ini bu, pakai uang saku aku aja belinya.” Ucap Marisa dengan mengeluarkan uang dari saku celananya.
“Tidak bisa neng, ini uang jajan kamu kan.” Jawab sang ibu dengan mendorong lembut tangan Marisa ke belakang.
“Aku ikhlas kok bu, ini buat ibu aja ya, lagian pensil warna kan lebih penting” ujar Marisa dengan memberikan uang ke tangan sang ibu. Marisa segera melambai dan pergi meninggalkan ibu dan anaknya. Marisa merasa sedikit lega karena bisa membantu ibu dan anaknya.
Sesampainya di rumah, Marisa segera mencari keberadaan ayahnya.
“Ayah aku mau tanya.” Ucap Marisa.
“Apa?”
“Apa proyek ayah di sini adalah pagar laut?” Tanya Marisa dengan gugup.
“Itu bukan urusanmu Marisa, jangan ikut campur urusan ayah.” Bentak ayah.
“Tapi yah, banyak yang dirugikan dari proyek ayah.” Ucap Marisa lagi.
“Dan itu menguntungkan ayah.” Jawab ayah.
“Tapi yah, ayah harus bertanggung jawab atas perbuatan ayah, ayah merusak sebagian ekosistem laut, dan ayah juga merepotkan para nelayan” bantah Marisa
“Berani melawan ayah?” bentak sang ayah.
“kan ayah bisa melak...” Belum sempat Marisa menyelesaikan kalimatnya, tangan besar dan kasar telah mendarat di pipi mungilnya.
“plakkkk.” Suara tamparan dari ayah yang diberikan kepada Marisa. Dengan air mata yang berlinang Marisa pergi menuju kamarnya dan meninggalkan ayahnya.
“Ayah jahat, kenapa ayah tidak mau mendengarkan perkataanku.” Ujar Marisa dengan isak tangis yang tersedu-sedu.
“Aku harus membantu para ikan kecil itu, tapi bagaimana caranya.” Ucap Marisa dengan mengelap air mata di pipinya. Marisa segera beranjak dari tempat tidurnya dan mulai mengambil ponselnya untuk mencari informasi tentang pagar laut dan cara mengatasi dampaknya. Malam pun tiba. Marisa masih sibuk mencari solusinya, ia mengunjungi banyak situs web. Hingga tiba di mana ia mendapatkan solusi yang cocok.
“Ah ini nihh yang aku cari.” Ujar Marisa dengan membuka suatu situs web lengkap dan berniat untuk mencatat poin pentingnya.
“Sudah malam lebih baik aku tidur sekarang agar besok bisa melakukan rencanaku.” Gumam Marisa dengan merebahkan badannya di kasur miliknya.
Pagi pun tiba, mentari bersinar mulai merata. Keramaian mulai melanda, dengan orang-orang di dalamnya. Marisa bersiap untuk memulai harinya. Dengan semangat yang sangat membara.
“Aku harus cepat.” Gumam Marisa yang sedang merapikan tempat tidurnya. Marisa segera menyiapkan barangnya dan pergi menuju desa.
“Bapak, ibu semua, kita harus bergotong royong menanam mangrove untuk menstabilkan garis pantai dan mengurangi abrasi.” Teriak Marisa dengan lantang di tengah keramaian desa.
“Untuk apa, memangnya penting?” sahut salah satu warga.
“Kita perlu memperbaiki kerusakan ekosistem laut dengan menanam mangrove.” Jelas Marisa lagi. Semua orang berdiam sekejap dan memikirkan perkataan Marisa, mereka menyadari pentingnya merawat ekosistem laut.
“Kami setuju.” Ucap semua warga dengan kompak. Marisa tersenyum dan mulai mengarahkan warga
Semua orang bekerja sama dengan kepeduliannya. Suara canda tawa mengelilingi mereka. Suasana yang ramai melengkapinya. Walaupun lelah tetapi senang dengan hasilnya. Marisa senang telah membantu, ia menjadi lebih tenang dengan warga yang siap bantu. Hingga tak terasa semua berlalu hingga petang, semua warga bergegas untuk menyelesaikan kegiatan dan segera pulang untuk bersantai.
“Terima kasih sudah menolong kami.” Terdengar suara lirih berasal dari bawah. Marisa segera melihat ke bawah dan mendapati ikan nemo kecil berbicara kepadanya.
“Sama-sama.” Jawab Marisa dengan senyum yang semringah.
“Maafkan ayah aku ya.” Ucap Marisa lagi.
“Iya, kami sudah memaafkan ayah kamu, yang terpenting sekarang kamu mau menolong kami.” Jawab ikan kecil itu. Marisa mengangguk dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
“huuuhhh.” Marisa menarik nafas yang dalam dan pergi meninggalkan laut karena mengingat hari yang sudah petang.
Bagi Marisa selagi kita bisa menolong dan hal itu baik maka tolonglah dan bantulah karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi setelahnya dan bagaimana jika kita berada di posisinya. Semua akan baik-baik saja jika kita mau berusaha.