Cerpen Habiburrahman al Baim
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Langit di ufuk timur masih gelap ketika Ridwan melangkahkan kaki ke dermaga kecil di Desa Kohod. Angin laut membawa aroma garam yang akrab, tapi pagi itu terasa berbeda. Tak ada suara perahu yang biasa meraung di kejauhan. Nelayan lain, yang biasanya sibuk menyiapkan jaring, hanya duduk di warung kopi, wajah mereka suram.
"Sudah lihat pagar itu, Wan?" tanya Pak Rudi, nelayan tua yang duduk dengan segelas kopi hitam.
Ridwan menghela napas. "Sudah, Pak. Itu benar-benar menghalangi jalur kita."
Beberapa hari lalu, nelayan di desa itu mendapati perairan yang biasa mereka jelajahi kini terhalang pagar besi setinggi dua meter, membentang sepanjang puluhan kilometer. Seperti tembok raksasa yang menandakan bahwa laut tak lagi milik mereka.
"Katanya ini proyek besar," ujar seorang pemuda bernama Jaka. "Tapi siapa yang untung? Bukan kita."
Sejak pagar itu berdiri, hasil tangkapan menurun drastis. Mereka harus berlayar lebih jauh untuk mencari ikan, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, lebih banyak waktu, dan pulang dengan jaring yang lebih kosong. Di antara mereka ada yang mencoba memanjat pagar, tapi penjaga keamanan datang dengan perahu motor dan mengusir mereka.
Di balik pagar laut itu, di gedung kantor yang dingin dengan pendingin ruangan, Muannas duduk sambil membaca berita di tablet-nya. Sebagai konsultan hukum salah satu perusahaan besar, tugasnya adalah memastikan kliennya tetap bersih di mata hukum.
“Bantah saja keterlibatan kita,” katanya kepada asistennya. “Perusahaan kita tidak ada urusan dengan pagar itu.”
Asistennya mengangguk, mengetik pernyataan pers di laptopnya.
Muannas tahu permainan ini. Ada kepentingan yang jauh lebih besar di balik pagar laut itu, dan semua pihak akan saling melempar tanggung jawab. Di balik meja-meja besar, keputusan dibuat tanpa peduli siapa yang terdampak di bawah sana. Tapi itu bukan urusannya.
Di desa, para nelayan tidak tinggal diam. Ridwan dan beberapa temannya pergi ke kantor desa, menemui Kepala Desa Kohod, Pak A. Mereka berharap ada jawaban.
“Kami tidak pernah diberi tahu soal ini, Pak,” ujar Ridwan. “Bagaimana bisa ada pagar di laut kita?”
Pak A tampak lelah. “Saya sendiri baru tahu belakangan, Wan. Tapi katanya ada izin.”
“Izin dari siapa?” tanya Jaka.
Pak A tak menjawab. Matanya bergerak gelisah.
Tak lama setelahnya, kabar mengejutkan datang. Pak A dan seorang perangkat desa ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dituduh menerima uang untuk membiarkan pagar laut itu dibangun.
Penduduk desa heboh. Mereka mengenal Pak A sebagai orang baik, tapi kini ia sendirian menanggung tuduhan. Nama-nama besar yang diduga ada di belakang proyek ini tak tersentuh.
Di Jakarta, berita tentang pagar laut mulai ramai diperbincangkan. Media menggali lebih dalam, mencari siapa yang bertanggung jawab. Menteri Agraria akhirnya buka suara: tanah di balik pagar laut itu ternyata memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
“Bagaimana bisa laut punya sertifikat HGB?” komentar seorang jurnalis di siaran berita.
Pemerintah terbelah. Menteri Kelautan dan Perikanan berjanji akan mencabut pagar jika tak memiliki izin resmi. Tapi birokrasi berjalan lambat. Sementara itu, nelayan semakin menderita.
Ridwan tahu mereka tak bisa menunggu. Bersama beberapa nelayan lain, ia berlayar ke pagar itu malam-malam. Mereka membawa gergaji besi. Jika tak ada yang membantu mereka, mereka akan membantu diri sendiri.
Mereka menggergaji pagar dalam diam. Peluh mengalir di dahi mereka. Saat satu bagian hampir roboh, suara motor perahu terdengar.
“LARI!” seru seseorang.
Nelayan tercebur ke laut. Cahaya senter menyorot ke sana-sini. Ridwan menahan napas di bawah air sebelum akhirnya berenang ke perahu kecil mereka. Mereka berhasil kabur, tapi tahu ini bukan akhir.
Pemerintah akhirnya bertindak setelah tekanan publik semakin besar. Menteri Agraria diperiksa, pejabat tinggi dipanggil ke meja hijau.
Hari itu tiba: pagar laut mulai dibongkar.
Ridwan dan nelayan lain melihat dari kejauhan saat pekerja mulai memotong besi-besi yang dulu membatasi mereka dari laut yang seharusnya bebas.
Ketika bagian terakhir pagar jatuh ke air, sorak-sorai terdengar di seluruh desa. Mereka tahu perjuangan belum selesai, tapi setidaknya, laut kembali menjadi milik mereka.
Di Jakarta, Muannas membaca berita tentang pembongkaran pagar laut. Ia menutup tabletnya dan menarik napas panjang. Dalam permainan ini, selalu ada yang kalah dan menang. Hari ini, nelayan menang. Tapi ia tahu, akan selalu ada pagar-pagar baru yang berdiri di tempat lain.
Ridwan pun tahu hal itu. Tapi ia juga tahu, selama mereka berani melawan, mereka bisa menang lagi.
Langit pagi di Desa Kohod kembali cerah setelah berbulan-bulan dihantui bayangan pagar besi yang membelah laut mereka. Ridwan duduk di atas perahu kecilnya, memeriksa jaring yang basah oleh embun pagi. Di sekelilingnya, nelayan lain juga bersiap. Hari ini mereka kembali melaut tanpa batasan.
Namun, meski pagar itu telah runtuh, mereka tahu bahwa tantangan belum selesai. Ridwan melihat ke kejauhan, ke arah laut yang luas. Ada sesuatu yang masih mengganjal di pikirannya. Mereka mungkin telah memenangkan satu pertempuran, tapi bagaimana dengan perang yang lebih besar?
“Bagaimana kalau mereka mencoba lagi dengan cara lain?” tanya Jaka yang duduk di sampingnya. “Mungkin bukan pagar besi, tapi aturan yang lebih menyulitkan kita.”
Ridwan mengangguk. “Kita harus bersiap. Tidak cukup hanya meruntuhkan pagar, kita harus memastikan tidak ada pagar lain yang berdiri.”
Di Jakarta, di ruang rapat yang luas dan megah, para pengusaha dan pejabat membahas kerugian besar yang mereka alami akibat pembongkaran pagar laut itu. Seseorang mengetuk meja dengan jari-jarinya, tanda ketidaksabaran.
“Kita kehilangan investasi miliaran,” kata seorang pria berkacamata tebal. “Dan semua itu karena tekanan publik.”
Muannas hanya mendengarkan, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia tahu, dalam dunia seperti ini, kekalahan hanya sementara. Mereka yang memiliki kekuasaan selalu memiliki cara untuk kembali.
“Saya usulkan pendekatan baru,” kata seseorang dari ujung meja. “Kita bisa gunakan regulasi. Aturan yang melarang nelayan masuk ke wilayah tertentu dengan alasan konservasi atau perlindungan lingkungan.”
Beberapa orang mengangguk. Ini adalah strategi lama—menggunakan hukum untuk membuat batasan yang tidak bisa dilawan dengan sekadar gergaji besi.
Muannas menarik napas. Ia tidak peduli apakah ini benar atau salah. Tugasnya hanya memastikan kliennya tetap di jalur yang aman.
Beberapa bulan setelah pagar laut dibongkar, nelayan mulai merasakan dampak baru. Peraturan baru dikeluarkan: beberapa wilayah perairan yang dulunya bebas bagi mereka kini ditetapkan sebagai zona konservasi. Nelayan dilarang menangkap ikan di sana.
“Apa maksudnya ini?” Ridwan membaca selebaran yang ditempel di kantor desa. “Zona konservasi? Sejak kapan?”
Pak Rudi mendekatinya dengan wajah muram. “Mereka bilang ini untuk melindungi ekosistem laut, tapi kita tahu ini hanya cara lain untuk mengusir kita.”
Jaka meremas selebaran itu dengan marah. “Kita harus lakukan sesuatu.”
Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Peraturan ini tidak berbentuk pagar besi yang bisa dipotong dengan gergaji. Ini adalah pagar tak kasat mata, yang dibuat dengan tanda tangan di atas kertas.
Di Jakarta, berita tentang protes nelayan kembali mencuat. Kali ini, pemerintah lebih hati-hati. Mereka menggunakan pendekatan hukum yang lebih sulit untuk dipatahkan.
Namun, Ridwan dan teman-temannya tidak menyerah. Mereka menghubungi organisasi lingkungan yang benar-benar peduli dengan nelayan, mencari cara agar suara mereka terdengar lebih lantang.
“Kita tidak melawan konservasi,” kata Ridwan dalam sebuah wawancara dengan media. “Kita hanya ingin keadilan. Jika ada konservasi, kami juga harus dilibatkan. Laut ini bukan hanya milik mereka yang punya uang, tapi juga milik kami yang menggantungkan hidup dari sini.”
Suara mereka mulai didengar. Tekanan publik kembali meningkat. Pemerintah dipaksa untuk meninjau ulang kebijakan ini. Setelah berbagai diskusi dan perlawanan panjang, nelayan akhirnya diberikan hak untuk berpartisipasi dalam pengelolaan zona konservasi. Mereka tidak lagi dilarang, melainkan diajak bekerja sama menjaga laut tanpa kehilangan mata pencaharian.
Ridwan tersenyum saat melihat perahu-perahu kembali berlayar tanpa rasa takut. Ia tahu ini bukan akhir dari segalanya. Akan selalu ada pagar-pagar baru yang mencoba membatasi mereka. Tapi ia juga tahu, selama mereka tetap bersatu dan berani melawan, mereka bisa menang lagi.