Cerpen Rashad Cheidar Kanigoro
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di sebuah desa kecil di pesisir utara Tangerang, hiduplah seorang nelayan tua bernama Pak Hasan. Sejak kecil, laut telah menjadi bagian dari hidupnya. Ia menghabiskan hari-harinya di perahu kayunya, mencari ikan untuk menghidupi keluarganya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kehidupannya berubah sejak pagar laut mulai dibangun.
Pagar laut itu didirikan oleh sebuah perusahaan besar yang mengklaim memiliki hak atas tanah dan laut di sekitar desa. Semula, warga desa mengira pagar itu hanya untuk menahan abrasi. Namun, lambat laun mereka sadar bahwa pagar itu membatasi mereka untuk melaut. Nelayan tidak bisa lagi menangkap ikan di perairan yang telah mereka kenal sepanjang hidup.
"Pak Hasan, bagaimana kita bisa hidup kalau begini terus?" keluh Bayu, pemuda desa yang baru saja menikah dan bergantung pada hasil laut.
Pak Hasan menatap lautan di balik pagar besi yang tinggi. "Laut bukan milik siapa pun. Seharusnya, kita semua berhak atasnya."
Malam itu, warga desa berkumpul di balai desa. Mereka berdiskusi tentang apa yang bisa mereka lakukan. Beberapa ingin melakukan protes ke kota, sementara yang lain takut akan dampaknya. Namun, Pak Hasan, dengan suaranya yang tegas namun penuh ketenangan, berkata, "Kita harus bersatu. Jika kita diam, maka laut ini benar-benar akan menjadi milik mereka."
Dengan tekad yang kuat, warga mulai mengajukan petisi ke pemerintah setempat. Mereka mengumpulkan bukti bahwa wilayah laut ini telah mereka gunakan secara turun-temurun. Mereka juga mendatangi media untuk menyuarakan ketidakadilan yang mereka alami.
Namun, perjuangan mereka mendapat hambatan dari pihak berwenang. Ketika warga melaporkan pagar laut tersebut ke kantor polisi setempat, mereka hanya mendapat tanggapan dingin. "Itu bukan urusan kami," kata seorang petugas dengan nada malas. "Kalau ada masalah, bicarakan dengan perusahaan yang membangun pagar itu."
Warga yang kecewa mencoba menjelaskan bahwa mereka kehilangan mata pencaharian, bahwa pagar itu melanggar hukum dan hak mereka. Namun, polisi tetap tidak peduli. Mereka bahkan mengusir warga yang datang berbondong-bondong ke kantor mereka. "Jangan buat masalah di sini," ujar salah satu petugas dengan tatapan mengancam.
Kecewa dan marah, warga semakin bertekad untuk mencari keadilan. Mereka tahu bahwa mereka tidak bisa mengandalkan pihak berwenang setempat yang tampaknya sudah berpihak pada perusahaan. Dengan bantuan para aktivis lingkungan dan organisasi hukum, mereka mengumpulkan bukti lebih kuat dan membawa kasus ini ke tingkat yang lebih tinggi.
Suatu hari, seorang selebgram terkenal bernama Sinta Wijaya melihat unggahan tentang pagar laut yang viral di media sosial. Dengan jutaan pengikutnya, ia merasa terpanggil untuk membantu. Ia datang ke desa, berbicara langsung dengan warga, dan merekam kondisi di sana. Video yang diunggahnya dalam waktu singkat mendapatkan jutaan tayangan dan menarik perhatian banyak pihak.
"Bagaimana bisa masyarakat yang telah bergantung pada laut selama puluhan tahun tiba-tiba dilarang melaut hanya karena perusahaan rakus?" tulis Sinta dalam unggahannya.
Dukungan publik pun semakin besar. Hashtag #BukaPagarLaut menjadi trending di media sosial. Banyak aktivis, tokoh masyarakat, dan bahkan selebriti lain yang ikut menyuarakan dukungan untuk warga desa. Tekanan terhadap pemerintah semakin meningkat, memaksa mereka untuk segera mengambil tindakan.
Seiring waktu, tekanan dari warga dan dukungan luas mulai mendapat perhatian serius. Beberapa wartawan datang meliput keadaan di desa, dan kisah perjuangan mereka semakin tersebar luas. Pemerintah setempat tak bisa lagi mengabaikan suara rakyat. Investigasi dilakukan, dan terbukti bahwa pembangunan pagar laut itu tidak hanya mengabaikan izin lingkungan, tetapi juga merugikan mata pencaharian banyak orang.
Namun, perjuangan warga tidak semudah yang mereka bayangkan. Perusahaan yang membangun pagar laut memiliki banyak sumber daya dan pengaruh politik. Mereka menggandeng beberapa pihak untuk memperlambat proses hukum. Bahkan, ada pihak-pihak yang mencoba mengintimidasi warga agar mereka menyerah.
Suatu malam, rumah Pak Hasan dilempari batu oleh orang tak dikenal. Kaca jendela pecah, dan keluarganya ketakutan. Namun, bukannya mundur, kejadian itu justru semakin menguatkan tekadnya. "Mereka ingin kita takut, tetapi kita tidak boleh menyerah," katanya kepada Bayu dan warga lainnya.
Dengan solidaritas yang semakin kuat, warga desa mulai memperluas perjuangan mereka. Mereka menggandeng aktivis lingkungan dan organisasi hukum untuk memperjuangkan hak mereka. Para pemuda desa mulai menggunakan media sosial untuk menyuarakan keadaan mereka ke seluruh negeri. Dengan bantuan selebgram seperti Sinta, tekanan terhadap perusahaan semakin meningkat.
Di tengah meningkatnya tekanan publik, sebuah fakta mengejutkan akhirnya terungkap. Seorang wartawan investigatif menemukan bukti bahwa pejabat daerah yang mengizinkan pembangunan pagar laut ternyata menerima suap dalam jumlah besar dari perusahaan tersebut. Dokumen dan rekaman yang bocor menunjukkan adanya transaksi rahasia yang dilakukan untuk memperlancar proyek ilegal itu.
Berita ini langsung meledak di media nasional. Pejabat tersebut, yang sebelumnya selalu menghindar dari pertanyaan wartawan, kini menjadi sorotan utama. Ia mencoba menyangkal tuduhan itu, tetapi bukti yang ada terlalu kuat. Akhirnya, Komisi Pemberantasan Korupsi turun tangan dan menangkap sang pejabat beserta beberapa petinggi perusahaan yang terlibat dalam kasus suap dan korupsi ini.
Hari demi hari, tekanan semakin besar. Proses hukum yang awalnya berjalan lamban mulai menunjukkan titik terang. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa pembangunan pagar laut tersebut ilegal dan harus dibongkar. Warga desa merayakan kemenangan kecil ini, tetapi mereka tahu perjuangan belum selesai.
Setelah keputusan pengadilan keluar, proses pembongkaran pagar laut pun dimulai. Warga desa menyaksikan dengan haru saat besi-besi yang selama ini menghalangi mereka dari laut akhirnya dirobohkan.
Beberapa tahun setelahnya, kehidupan di desa perlahan kembali normal. Namun, bekas luka akibat pagar laut itu masih terasa. Banyak nelayan yang terpaksa beralih profesi karena kerusakan ekosistem yang belum sepenuhnya pulih. Beberapa keluarga kehilangan rumah mereka akibat dampak ekonomi yang mereka alami selama bertahun-tahun. Generasi muda pun mulai meninggalkan desa, mencari penghidupan di kota karena trauma akan ketidakadilan yang mereka alami.
Pak Hasan kini lebih sering duduk di tepi pantai, menatap laut yang dulu sempat direnggut dari mereka. Ia tahu bahwa perjuangan mereka membawa perubahan, tetapi ia juga sadar bahwa luka yang ditinggalkan tidak akan mudah sembuh.
Namun, warga desa tidak ingin sejarah kelam ini terulang. Mereka mulai mengedukasi anak-anak mereka tentang pentingnya menjaga hak atas laut dan memperjuangkan keadilan. Sekolah-sekolah di desa kini memasukkan pelajaran tentang hak lingkungan dan keberlanjutan ekosistem laut. Para pemuda yang tetap tinggal di desa mendirikan komunitas untuk memastikan kejadian serupa tidak akan terjadi lagi di masa depan.
"Kita menang, tapi kita juga belajar," kata Bayu. "Sekarang, tugas kita memastikan anak-anak kita tidak mengalami apa yang kita alami."
Pak Hasan tersenyum kecil. Ombak berdebur pelan, membawa harapan baru meski bekas luka masih terasa. Mereka tahu, perjuangan belum selesai. Tapi setidaknya, laut kini kembali menjadi milik mereka dan generasi mendatang.