Cerpen Firman Fadilah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pandangannya jatuh dilemparkan ke laut. Perlahan tangan perempuan itu bergerak, meraba permukaan air keruh di hadapannya. Tangannya yang sebelah lagi meremas pasir berwarna cokelat lembap. Badannya kian bergetar hebat tatkala ia berusaha menahan air garam yang nyaris melabrak kelopak matanya.
Angin? Angin jelas menarik-narik gaun belelnya, tapi sejurus kemudian angin yang membawa bau sampah, tumpahan minyak, dan bangkai ikan membuat dadanya kian kalut. Benarkah ini kampungnya?
“Ayah, kau di mana?” lirihnya.
Ia menghela napas. Alun, demikian namanya. Ia anak nelayan. Dulu rumahnya di seberang pantai sana, tapi sekarang sudah tidak ada. Air naik beberapa inci setiap tahun. Mengharapkan sesuatu tetap sama dalam kurun waktu puluhan tahun agaknya mustahil. Bahkan jika presiden berganti seratus kali. Polanya akan tetap sama.
Terdengar pesimis, tapi begitulah yang Alun lihat dengan mata berlinangnya.
“Ayah, aku sudah berjalan sejauh yang kubisa. Melewati tambak yang dulu kita garap bersama. Namun, aku tak lagi menemukanmu. Kau tak lagi ada di sini.” Suaranya patah. Air laut bergemuruh lembut, seakan-akan membisikkan sesuatu yang tak bisa ia pahami.
Alun yakin makam ayahnya ada di sini, meskipun yang tampak kini hanya sehampar garis daratan yang tenggelam dengan pagar laut berjajar menggantikan pohon mangrove tempatnya dulu mencari lokan dan udang. Makam ayahnya tenggelam.
Alun menangguk air garam yang berbau anyir. Ia rogoh sesuatu dalam saku. Beberapa kelopak bunga ia taburkan, kemudian gelombang laut perlahan-lahan melarungkannya. Dulu, laut adalah sahabat karib. Ayah mengajaknya melaut sejak ia bisa berdiri. Namun, sejak konflik pagar laut itu mengubah segalanya. Mereka bilang, pagar itu untuk melindungi sumber daya alam, tapi nyatanya tidak. Laut tak lagi bersahabat.
“Ayah, aku masih ingat bagaimana kau berjuang. Ketika laut mulai marah, kau tetap bertahan. Kau tak pernah takut. Kata ibu, kau menantang badai sekalipun demi sesuap nasi.” Alun menarik napas panjang, dadanya terasa sesak.
Tapi laut tidak bisa ditantang. Laut selalu menang.
“Ibu, kata orang-orang, ayah masih ada di laut. Tapi laut yang mana, Ibu? Laut yang kini menelan segalanya? Laut yang dulu kau bilang menyimpan rahasia? Bagaimana aku bisa menemukannya?”
Alun menatap jauh ke cakrawala. Lalu ke kakinya. Riak-riak air laut memantulkan gambar dirinya yang kacau. Ke air yang menggenang di mana dulu pernah ada pusara ayah. Ia mengeruk segenggam pasir, menciumi aromanya. Tak ada lagi wangi kenanga yang dulu tumbuh di makam. Hanya bau lumpur dan asin yang menyengat.
“Ayah, ke mana aku harus berziarah? Di mana aku harus menemuimu? Aku tak bisa lagi meletakkan bunga di atas pusaramu. Orang-orang asing itu juga tak memberi kita pilihan. Mereka membangun pagar laut, tapi tak memberi solusi bagi kita yang cuma mencari sesuap nasi.”
"Pohon mangrove itu. Ah, buahnya kita makan. Biji-bijinya kita tanam. Sekarang tidak ada!"
Dulu, ada pemakaman di tepi pantai ini. Para nelayan yang pergi tanpa kembali, mereka dimakamkan di sini. Nenek moyangnya berpusara di sini. Para perempuan yang setia menunggu suaminya di bibir pantai, tapi hanya menerima jasad yang basah kuyup di pagi buta, juga dimakamkan di sini. Alun pun ingin dimakamkan di sini.
Kini, semua sudah lenyap.
Beberapa tahun lalu, mereka datang. Orang-orang berjas rapi, berdiri di depan masyarakat yang tak lagi punya harapan melaut. Mereka bilang proyek ini demi masa depan. Bahwa pagar laut akan menjaga kampung dari ancaman abrasi. Bahwa kampung mereka akan berubah menjadi kawasan wisata bahari. Bahwa mereka tak perlu khawatir.
“Tak perlu khawatir?” suara Alun tercekat. “Tak perlu khawatir saat rumah kami tenggelam? Tak perlu khawatir saat makam orang tua kami tak bisa lagi kami temukan? Tak perlu khawatir saat kami kehilangan mata pencaharian? Di mana hati nurani mereka?”
Ia ingin marah. Tapi ia tahu, marah tak akan membawa ayahnya kembali.
“Ayah, aku tak bisa berbuat banyak. Tak bisa menahan air yang merebut segalanya dari kita. Tak bisa mengembalikan laut yang dulu menghidupi kita. Tapi aku bersumpah, aku akan menjaga nama dan kehormatanmu. Aku tak akan membiarkan mereka berpesta di atas laut ini.”
Lalu Alun berjongkok, mencelupkan kedua tangannya ke dalam air yang menenggelamkan makam ayahnya. Airnya keruh, terasa getar dan asin, seakan-akan mengandung kesedihan yang tak terucapkan.
“Ayah, aku tak punya pusaramu. Tapi aku punya laut ini. Dan laut ini akan menjadi saksiku.”
Alun berdiri. Ia pandangi beberapa kapal nelayan yang lapuk. Pagar bambu itu tak bisa dilalui oleh kapal nelayan. Ombak semakin berang. Gemuruh laut bercampur baur dengan suara kendaraan.
"Ayah mestinya tahu. Ibu tak dimakamkan di sini. Sejak konflik memuncak itu, kami memilih pergi. Tapi tali pusarku tertanam di sini. Aku ingin kembali untuk membayar lunas kenangan kita."
Alun mendongak ke langit. Matahari kian terik. Sinar matahari yang jatuh dipantulkan lagi, menghasilkan kilatan sesilau menatap lampu-lampu mobil pengangkut bambu di malam hari. Laut tak pernah bercerita, tapi ia punya caranya sendiri untuk membalas perbuatan orang-orang itu. Buktinya, makam ayah tenggelam. Bahkan setelah mati, warga setempat tak memiliki ketenangan.
"Sama seperti ketika engkau dan orang-orang berdemo, kita cuma dapat letih. Sisanya, tak ada artinya. Suara kita terlalu kecil bagi orang-orang congkak itu. Apa mereka tak punya malu telah merampas hak-hak rakyat kecil? Bahkan mata pencaharian satu-satunya yang menjadi harapan itu mereka renggut! Mereka rendahan!"
Gaun belelnya sedikit basah. Percik ombak itu seolah-olah menyambutnya untuk tenggelam lebih dalam. Untuk meninggalkan duka jika di atas tanahnya sendiri ia selalu merasa terluka. Biarkan laut yang menggantikan. Biarkan samudra yang melarungkan kecemasan.
Mendadak Alun tersenyum melihat anak-anak berlarian. Lalu, di sisi lain ada tumpukan bilah-bilah bambu yang siap di tancapkan. Entah akan seberapa panjang lagi pagar itu ditanamkan. Laut berwarna cokelat. Jaring-jaring nelayan tersangkut. Ikan-ikan menjauh. Rasa lapar membuat mereka tak memiliki pilihan selain menggadai warisan nenek moyang.
Alun tertawa.
"Tuhan? Hahaha! Ke mana dia saat kita menderita? Katanya suara rakyat adalah suara Tuhan, tapi kenapa doa-doa kami kalah dengan orang-orang tamak itu? Kenapa Tuhan membiarkan ayah terkapar saat konflik terjadi? Kata mereka ayahku provokator! Petugas keamanan katanya, tapi mereka meletupkan senjata seenaknya. Ah, di mana letak keadilan Tuhan saat kami hanya memperjuangkan sedikit hak untuk bertahan?!"
Pagar laut akan tetap dibangun, tak peduli para demonstran memadati jalanan. Bahkan banyak korban yang dirugikan. Alun tak habis pikir. Ia lebih suka berkawan dengan orang gila daripada melihat pemimpin yang buta, tuli, dan bisu.
"Tragis juga nasibmu, Ayah. Laut tempat mencari makan, di sana pula kau dimakamkan. Dan besok semuanya hilang. Kami tak bisa melawan pagar laut. Kadang terus melawan membuat jiwaku sakit. Bolehkah aku menyerah, Ayah? Kampung kita sudah tiada. Aku tak punya tempat pulang. Bahkan aku tak tahu di mana aku harus berziarah setelah pantai ini dibangun resor mewah, hotel berbintang, pusat hiburan. Semua akan berdiri megah di atas laut yang dulu menjadi tempat para nelayan pulang. Masa depan? Masa depan satu-satunya sudah dipagar. Aku tak bisa menjangkaunya."
Kali ini Alun terdiam lebih lama. Ia berusaha mengatur napas. Ia tatap ombak yang datang perlahan. Lalu pandangannya beralih ke batu-batu kecil yang terserak. Selanjutnya ke sisa perahu yang teronggok di ujung pantai. Tatapan itu berhenti di sana.
"Yang lainnya sudah pergi ke rusun. Sisanya kembali ke kampung halaman setelah menerima uang ganti rugi."
Alun melangkah menuju laut. Ia tak mungkin mencabuti pagar bambu seorang diri, tapi ia merasa perlu melakukan sesuatu.
"Aku ingin menjadi laut."
Ari laut perlahan semakin dalam. Buih-buih lautan terasa dingin. Dari ketinggian yang semata kaki, sejengkal, kemudian selutut.
"Aku akan menjadi laut dan mengamuk!" gerutunya.
Sejurus kemudian, deru mobil truk berbaur dengan bising ombak. Mereka berhenti di tepi pantai. Ribuan bilah bambu diturunkan lagi. Beberapa laki-laki tampak berbincang-bincang di tepi dermaga.
“Di sinilah akan kita bangun resor itu, Pak. Proyeknya sudah berjalan. Sisanya menunggu dana investor.”
“Di situ? Bukankah itu dermaga nelayan?” suara dengan logat asing menyela.
“Benar, Pak. Tapi Bapak tenang saja. Semua sudah diatur. Sudah kami berikan dana kompensasi untuk para nelayan.”
"Tiga puluh kilometer?"
"Lebih, Pak."
"Bagus, bagus."
Mereka berdua menyisir tepi pantai, memantau beberapa pagar bambu yang telah dipancangkan. Lalu sebuah pemandangan aneh mengusik mereka. Seorang perempuan berdiri di tengah-tengah laut.
"Nelayan?"
“Dia, Pak? Dia kayaknya orang gila. Kata pekerja kami, dia sudah tiga hari mondar-mandir di pantai ini, menabur bunga di bekas pemakaman sana.”
Salah satu dari mereka merespon dengan 'oh' yang panjang.
Alun terus melangkah menuju lautan.
“Ya, aku memang gila. Aku gila karena hartaku, lautku, keluargaku satu-satunya kalian ambil. Aku gila karena masa depanku kalian pagari. Sedangkan kalian gila karena ingin membangun kemewahan tanpa melihat penderitaan orang lain. Kalian lebih jalang dari binatang!”
Alun ditarik-tarik gelombang. Tubuhnya ditelan laut.[]