Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Alvina Lailiyatul Ngazizah | Belenggu Pesisir

Cerpen Alvina Lailiyatul Ngazizah 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Bangku bagian belakang ramai dengan cerita seperti biasa, hanya saja hari ini bukan lagi kisah tentang alur cerita sinetron remaja atau info aneh tentang anak kelas lain. Kerumunan itu terasa semakin menggebu, sehingga aku yang duduk di bangku depan sambil menggambar asal di bagian belakang buku pelajaran dapat menyimak dengan jelas, entah suara mereka memang sekeras itu atau ukuran kelas sederhana kami yang memang kecil.


“Betulan! Pagar-pagar itu selalu bertambah panjang, sekali kamu lengah dan menolehkan kepala ia akan bertambah dua kali lipat lapangan bola” anak berseragam merah-putih pemilik meja kerumun itu terlihat serius, seolah ia sedang membocorkan rahasia negara. Meski kemungkinan besar ia hanya menguping gerombolan pos ronda yang kebetulan mangkal di samping rumahnya.


“Jika secepat itu seharusnya langsung jadi dalam satu malam, kemungkinan bangsa jin yang membanggunnya” salah satu anak di kerumunan yang mengatakan itu terkikik sendiri sebelum ditimpuk dengan buku oleh teman di sampingnya.


Aku hanya menghela nafas mendengar potongan percakapan, akhir-akhir ini pembahasan semua orang selalu tentang pagar-pagar bambu yang secara tiba-tiba membentegi garis pantai. Apa yang menjadikannya lebih menarik adalah tidak ada yang tahu siapa atau bagaimana semua itu dibangun. Pecinta seri mistis sudah memberi spekulasi macam-macam tentangnya, dan tentu saja masih ada yang percaya pada hal semacam itu. Sebenarnya bukan masalah jika itu hanyalah pagar ghaib atau semacamnya, hanya saja efek yang ditimbulkan terlampau nyata. Kenyataan bahwa mayoritas dari masyarakat kampung kami hidup dengan mengandalkan perairan, sehingga efek yang ditimbulkan signifikan terhadap sektor ekonomi.


Aku sebenarnya tidak terlalu mengerti tentang cara kerjanya ataupun bagaimana dampak yang ditimbulkan, hanya saja para nelayan termasuk ayahku seringkali pulang dengan perahu yang ringan. Artinya, tidak banyak ikan yang bisa ditangkap. Keanehan berlanjut dengan jaring yang sering koyak dan perahu yang berulang kali harus ditambal. Sebenarnya para nelayan telah melakukan cara lain untuk menangkap ikan di laut dengan memutari pagar, hanya saja mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk menambah persediaan solar.



Beberapa minggu telah berlalu, namun bukannya menemukan kejelasan, pagar-pagar bambu itu semakin memanjang. Saat ini orang-orang bahkan lebih suka menyebutnya sebagai belenggu dibandingkan sebuah pagar. Pada lain hal, aku mendapati ayah menyaksikan televisi lebih sering dibanding biasanya. Membuat jatah menonton kartunku berkurang, meski setidaknya aku menjadi tahu jika kasus pagar bambu ini telah sampai ke stasiun televisi. Raut wajah ayah terlihat tenang, namun jelas sorot matanya memandang harap-harap cemas. Mengerti jika hal langka seperti inilah yang membuatnya penting, aku memutuskan untuk ikut menonton berita bersama ayah meski penuh dengan debat kusir yang tidak sepenuhnya kuketahui maknanya. Hanya saja aku memahami bahwa teori-teori aneh anak kelasku yang sejak awal tidak masuk akal itu tidak benar satu bagian pun. 


Tidak seperti ayah ataupun ibu yang terkadang ikut menyimak dari arah dapur dengan sesekali mengangguk setuju ataupun berdecak kesal karena tayangan, sesuatu yang dapat kutangkap saat menontonnya hanyalah waktu dimana pria paruh baya dengan kain di leher dan topi bucket yang lusuh beradu argumen dengan pria bersetelan rapih dengan dasi di leher. Dengannya aku hanya dapat menyimpulkan bahwa pria bertopi bucket itu adalah nelayan karena penampilannya mirip dengan ayahku dan bapak-bapak lain dikampung, lagipula ia terus mengatakan tentang pagar laut, perahu, dan juga pesisir.


Sedangkan pria berdasi itu tampak meluruskan kaki acuh tak acuh sembari sesekali mendengarkan, sadar jika kamera masih mengintainya. Nah, sayangnya aku tidak yakin siapa dia, karena cara berpakaian seperti itu sangat jarang kulihat secara langsung, anak seusiaku barangkali hanya akan menduga bahwa dia adalah seorang pejabat. Pejabat seperti apa aku pun tidak paham. Kemudian aku menyadari bahwa banyak orang dengan pakaian rapih seperti pria berdasi yang pertama. Aku menyipitkan mata, mengapa ada banyak sekali pejabat? Lagi-lagi aku tidak mengerti, padahal yang memakai pakaian nelayan hanya satu, namun tak tampak terintimidasi. Seolah ia memang sengaja memakai pakaiannya sehari-hari bahkan saat diundang ke stasiun televisi, dan bukannya terlihat karena ia tidak diberi tahu, justru malah seperti sebuah kesengajaan.


Aku mengangkat bahu, mungkin nelayan itu memang berniat untuk mewakili teman-temannya, atau mungkin untuk membawa kebangaanya dan mempertahankan harga dirinya. Apapun itu, aku yakin dengan penampilan yang terlampau kontras antar dua kubu akan membuat berita terlihat lebih menarik. Aku menguap, beranjak lebih dulu ke dipan karena esok hari akan kembali mendengar teori aneh lanjutan, semoga saja anak-anak itu memiliki jawaban tentang apa yang dibicarakan di berita tadi, itupun jika mereka menonton.



Cerita-cerita di kelas semakin ngawur, beberapa hari ini telah beredar kabar bahwa terdapat saksi mata melihat truk yang menurunkan tumpukan bambu di ujung desa, lalu beberapa orang tak dikenal membawanya ke tengah laut di malam hari dan diam-diam memasang pagar. Memang, cerita pertama berjalan demikian. Tapi kemudian saksi mata lain yang menyaksikan kejadian serupa, mengklaim bahwa bambu untuk pagar dipasang di sore hari, kemudian saksi lainnya mengatakan saat pagi menyingsing. Kupikir saat itu anak-anak yang terlalu labil hanya menelan informasi mentah-mentah atau bahkan tidak memahami apa yang dikatakan orang dewasa, sehingga aku kembali memasukkan kisah itu kedalam catatan kisah tidak jelas lainnya. Sebelum kemudian aku mendapati orang dewasa benar-benar mendebatkan tentang garis waktu pagi, sore, siang, dan malam saat pagar itu dipasang. Jadi apakah cerita aneh itu sungguh benar?



Setelahnya rentetan kejadian terjadi begitu cepat, kampung kami semakin ramai, namun bukan untuk membeli ikan tangkapan. Banyak orang berseragam mengarungi perairan untuk memantau pagar laut yang semakin memanjang. Terlihat masalah itu memang dianggap serius. Dari posisiku di bagian pantai, aku hanya melihat bentuk pagar bambu itu melalui foto, karena jaraknya cukup jauh di garis peisisir. Media sosial semakin ramai, para nelayan semakin sering berkumpul, yang membahas tentang kerugian satu dengan kerugian yang lain. Namun justru pasar ikan yang menjadi tak seramai biasanya, seolah masalah ini telah memindahkan seluruh keramaian pasar ke dermaga dan perkampungan nelayan.


Pada penghujung sumbu seperti halnya bom waktu, setelah seluruh perhatian berfokus pada belenggu di lautan, sesuatu akhirnya meledak. Dalang pengendali di balik tabir telah ditemukan. Dan ia merupakan seorang petinggi di kampung ini, bersama para antek bayarannya. Amarah meledak, para nelayan seakan ditikam dari belakang. Perlindungan serta pertolongan yang mereka minta, namun yang terjadi justru sebaliknya. 


Teror berbulan-bulan akhirnya berakhir dan kemudian belenggu itu telah dilepas, hamparan pagar puluhan kilometer panjangnya itu telah hilang. Para penduduk menonton di pantai saat menyaksikan beberapa orang dewasa kembali membawa tumpukan bambu dari lautan, bersama orang-orang berseragam yang dulu kami lihat untuk mengawasi perairan. Tentu saja ini lebih baik dibanding hanya menjadi cerita misteri yang samar. Jelas setidaknya jika pelakunya adalah manusia ia masih bisa ditahan. Aku yakin besok ini akan menjadi topik lanjutan yang menarik di sekolah, mematahkan spekulasi mereka setelah berbulan-bulan menyangkutkannya dengan makhluk halus ataupun penjahat misterius seperti di film-film.


Orang yang membangun pagar secara illegal itu telah ditangap dan dimintai ganti rugi, aku tidak dapat menghitung berapa jumlahnya karena terlalu banyak angka nol, namun yang pasti kata ayah uang itu bisa untuk hidup kami yang seperti ini selama ratusan tahun.


“Jika membangun pagar laut sepanjang itu membutuhkan uang yang banyak ayah, Apakah ia harus mengeluarkan uang untuk membangun dan tetap harus ganti rugi saat dihancurkan?” tanyaku pada lelaki dengan kulit kasar dan gelap, karena matahari dan arungan laut selama bertahun-tahun. Kami di dermaga, ikut menonton saat bambu-bambu itu dibawa kembali ketepian.


“Sudah resikonya nak, itulah mengapa kamu harus memanusiakan manusia dan tidak boleh mengambil apa yang bukan milikmu, meski sebenarnya ia hanya mengeluarkan uang untuk ganti rugi, karena ada yang membayarnya untuk pembangunan itu” kalimat terakhir ayah hanya seperti sebuah bisikan, seolah anak seusiaku tidak sepatutnya mendengar itu. Untungnya telingaku berfungsi dengan baik.


“Maksud ayah saat membuat pagar laut uangnya bukan punya dia? Lalu siapa yang memberinya uang? Kenapa tidak ikut ditangkap?” 


Mendengar pertanyaan beruntun itu ayah hanya mengelus kepalaku dan mengajak pulang dari dermaga karena sinar jingga dari senja perlahan menghilang. Mengatakan bahwa selalu ada bayangan dibalik bayangan. Aku hampir jengkel saat mengetahui ayah mengatakan hal membingungkan seperti itu agar aku tidak mengerti. Untungnya cahaya jingga menarik perhatianku. Senja di pantai selalu digambarkan untuk mengakhiri hari, seperti halnya misteri belenggu pesisir yang mungkin telah selesai. Jika mengingat tentang saksi mata yang meyaksikan pada pagi, siang, ataupun sore, kupikir mereka semua benar. Seluruh masalah ini rasanya hanya berlangsung selama satu hari penuh secara berurutan dan tepat berakhir di kala matahari terbenam. Sehingga pagi, siang, dan sore hari itu ada untuk sebuah tahapan.


“Pagar laut itu mungkin telah menghilang, namun belenggunya tidak. Selama kamu hidup di negeri ini, belenggu itulah yang akan selalu menantimu, meski dengan cara yang berbeda”. Kalimat terkahir ayah di perjalanan pulang semakin terdengar membingungkan. Hanya saja tanpa sadar aku menyadari saat bayangan kami perlahan menghilang di perjalanan pulang. Bahwa akhir dari cerita bukanlah senja, tetapi di gulita tepat di tengah gelapnya malam. Meski tidak ada yang tahu, apa yang akan menanti dalam fase gelap itu.