Cerpen Cerine Eagleen
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Di garis dulunya laut dan langit bertemu, berdiri sebuah pembatas. Ayah memberitahuku bahwa bambu-bambu tersebut dimaksud untuk melindungi kami dari ancaman abrasi dan gelombang besar. Namun, aku mendengar dari warga desa lain saat kami berkumpul di sore hari di sebuah pondok yang menghadap ke arah laut, angin sepoi-sepoi meniup kami, aroma laut menusuk penciuman kami, kami menyaksikan permainan catur antara Mbah Langkisau, orang tertua di desa kami, bersama dengan kak Pandu, seorang nelayan.
“Lagi-lagi tidak ada hasilnya,” ujar seorang nelayan tua. Ikan-ikan di laut merupakan sumber pendapatan terbesar bagi masyarakat di desa kami, sejak dibangunnya pagar laut, jumlah ikan yang dibawa pulang oleh nelayan kami pun berkurang drastis. “Kita tidak bisa terus seperti ini, bagaimana aku akan menghidupi istriku yang sakit?”
“Pagar laut itu, aku sudah memiliki firasat buruk sejak awal, mereka datang memaksa kita untuk menyetujui proyeknya, menjanjikan omong kosong. Mereka tahu ini akan terjadi pada kita. Terlebih lagi, aku mendengar bahwa para investor telah lama merencanakan untuk mengubah desa kita menjadi tempat pariwisata.”
“Kita sudah tidak memiliki apa-apa, tetapi mereka masih ingin merebutnya.”
Sebuah bidak catur raja berwarna putih telah jatuh. Mbah Langkisau telah memenangkan permainannya.
“Yah, seperti biasa,” kata kak Pandu. Yang lainnya juga tidak merasa aneh lagi, tidak ada dari mereka yang bisa menang melawan Mbah Langkisau.
Mbah Langkisau hanya diam menatap ke arah laut, ia tidak akan melakukan apa-apa lagi setelah ini selain melamun, biasanya, kali ini kak Pandu berkata, “Aku akan pergi keluar pagar laut malam ini.”
Semua orang terkejut mendengarnya. Mbah Langkisau mengalihkan pandangannya pada kak Pandu dengan spontan, memperingatinya.
Pandu tersenyum dengan lembut. “Mbah, apakah aku pernah memberitahumu?”
Mbah Langkisau tidak menjawab.
“Aku berencana untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi di luar kota. Aku butuh uang untuk merantau, aku sudah belajar sungguh-sungguh untuk mempersiapkan tes masuk ke universitas yang aku inginkan. Aku tidak bisa menyerah setelah semua usaha yang telah kulakukan.”
Mbah Langkisau tidak berkata apa-apa, raut wajahnya berubah, tentu saja para pemuda ingin meninggalkan desa ini. Tidak ada yang mereka bisa dapatkan di sini. Namun, mengatakan hal seperti itu kepada Mbah Langkisau yang sangat menyayangi desa dan laut ini bukankah terlalu berlebihan? Aku juga sangat menyayangi desa dan laut ini, aku juga penasaran dengan kehidupan di kota, tetapi tidak mungkin bagiku untuk meninggalkan laut. Bagiku laut adalah segalanya, laut adalah hidupku. Apakah kak Pandu tidak berpikir hal yang sama?
“Aku akan memberikanmu uang,” kata Mbah Langkisau, mengejutkan semua orang.
Pemuda itu membalasnya dengan kilat, “Aku tidak akan menerimanya. Aku akan mencari uangku sendiri. Setelah mendapatkan pendidikan yang cukup, aku akan kembali ke desa dan lautku. Aku akan mencabut pagar laut itu.” Kata-katanya terdengar begitu tulus, serius.
Mbah Langkisau menatapnya untuk sejenak, kak Pandu menginginkan persetujuannya. Mbah Langkisau kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke laut tanpa mengatakan apa-apa. Kak Pandu tampak lega.
“Tetapi, Pandu, itu tetap saja berbahaya,” ujar nelayan lainnya.
Kak Pandu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. “Tidak apa-apa, bukankah dulu kita sudah pernah menyusuri lautan lebih jauh lagi? Dengan pagar laut maupun tanpa pagar laut, aku sudah mengenali lautku sejak kecil.”
“Tetapi laut sudah berubah, kamu tahu itu.”
“Jangan khawatir, aku tidak akan pergi terlalu jauh. Aku akan kembali setelah mengisi seluruh keranjangku. Kalian boleh menantikan kepulanganku saat matahari terbit.”
Laut biru pun menyambut senja. Pada saat malam tiba, sudah waktunya bagi para nelayan untuk pergi ke laut. Mbah Langkisau sudah kembali ke rumahnya, sebelum aku juga kembali, aku pergi mencari kak Pandu, aku menemukannya sedang mempersiapkan jaringnya.
“Kak Pandu,” panggilku. Ia menoleh, tampak terkejut dengan kehadiranku. “Hati-hati.” Kami tidak dekat, hanya sesekali bertemu, tetapi aku menyukai keberanian dan ambisi yang ia tunjukkan hari ini.
Ia tersenyum. “Terima kasih, Iluka.”
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terus memikirkan bagaimana keadaan kak Pandu. Aku bangkit dari tempat tidurku dan membuka jendela kamarku yang menghadap ke arah laut. Aku duduk di dekatnya dan membiarkan angin mengusap wajahku. Aku mengamati bagaimana ombak datang dan pergi, sejenak, aku merasa mereka sedang berbicara padaku. Mereka terdengar gelisah.
Lalu pada saat itu, aku mendengar sebuah nyanyian. Itu bukan suara seorang manusia. Nyanyian itu berasal dari laut, suaranya tidak stabil, sejenak ia terdengar tenang, selanjutnya ia berteriak. Semuanya terdengar campur aduk, seolah aku mendengar seluruh isi perut laut. Lalu aku tidak mendengar apa-apa lagi. Aku mencondongkan kepalaku keluar jendela untuk memastikan apa yang barusan terjadi. Tetapi aku tetap tidak mendengar apa-apa. Apakah tadi hanyalah perasaanku? Karena aku terlalu mengkhawatirkan kak Pandu dan terlebih lagi dalam keadaan kekurangan tidur?
Aku menutup jendelanya dan kembali ke kasur. Suara ombak masih terdengar walaupun aku telah menutup jendelanya dan membungkus wajahku dengan selimutku. Pada akhirnya, aku berpindah ke ruang tamu. Malam itu, aku tertidur di sana, ditemani oleh sebuah nyanyian.
Aku terbangun oleh Ibu yang memanggilku, dan hal pertama yang ku tanyakan adalah, “Apakah Ibu mendengar sebuah nyanyian semalam?”
“Nyanyian?”
Sedangkan Ayah berkata, “Pasti hanya suara angin.”
Aku ingin ke pantai untuk memastikan. Saat aku keluar, langit masih gelap, tetapi matahari akan segera terbit, para nelayan pun akan segera kembali. Sudah ada banyak orang yang menunggu kepulangan mereka.
Aku berjalan di tepi pantai, waktu demi waktu, aku dapat samar-samar melihat para nelayan yang kembali dengan perahu mereka. Mereka membawa pulang hasil yang sama. Keranjang mereka bahkan tidak terisi setengahnya. Melihat itu membuatku semakin menunggu kedatangan kak Pandu, tampaknya warga desa lainnya juga ikut menantikan, harapan terpancar di mata mereka.
Saat matahari telah terbit, aku pergi untuk berenang. Aku mengayuh lebih jauh dari tepi pantai dan setelah menarik nafas yang panjang, aku menyelam. Dunia menjadi hening selain dari suara gelembung dan gerakan air. Cahaya matahari menyinari jalanku. Aku menyelam lebih dalam, di sekitarku lewat sekelompok ikan-ikan yang dulunya sekelompok besar, kini mulai berkurang. Mereka berenang tanpa arah, kebingungan dan tersesat.
Aku menghampiri dasar laut, di mana karang-karang tumbuh. Karang-karang yang dulunya tumbuh dengan subur dengan warnanya yang indah sekarang memucat, kebanyakan patah, tertutup lapisan tipis alga coklat yang menjalar seperti penyakit.
Lapisan pasir di dasar laut terangkat, berputar dalam pusaran kecil karena arus yang tidak seharusnya ada di sini. Pagar laut berdiri di kejauhan, memotong arus alami yang dulu merupakan sumber kehidupan bagi ekosistem ini. Aku melihat bagaimana air di satu sisi pagar tampak lebih tenang, sementara di sisi lain, arusnya bergejolak, membawa lumpur dan puing-puing yang mengendap di dasar laut.
Seekor penyu kecil berenang mendekat, gerakannya lambat, kelelahan. Cangkangnya terlihat kusam, dan tubuhnya bergerak gelagapan, tersesat di arus yang kacau. Aku ingin membantunya, tapi aku tidak bisa.
Aku mendongak, melihat ke atas. Cahaya matahari yang biasanya masuk dengan bebas kini tampak lebih redup, terganggu oleh kekeruhan air. Aku merasa ada sesuatu yang mati di sini, bukan hanya karang, bukan hanya ikan, tapi keseimbangan yang selama ini menjaga laut tetap hidup.
Lalu, pada saat itu juga, aku mendengar nyanyian itu lagi, kali ini lebih dekat, lebih jelas. Kali ini aku mengerti maksudnya. Aku tidak tahan lagi berada di sini, aku berenang ke puncak, saat mencapai permukaan, nafasku terengah-engah. Lalu, aku menyadari Mbah Langkisau yang berdiri di tepi pantai bersama dengan tongkatnya.
“Apa yang kamu lihat?” tanyanya. Ia sudah terlalu tua untuk berenang, tetapi ia tahu apa yang sedang terjadi di dalam sana.
“Laut kita sedang mati.”
“Begitu.”
“Mbah, apakah Mbah mendengar sebuah nyanyian?”
Mbah Langkisau terdiam. Matanya tertuju pada lautan. “Kamu mendengarnya?”
Aku hampir tidak bisa menjawab. Aku tidak tahu harus merasa lega atau takut. “Semalam, dan tadi.”
Ia bergumam, “Mereka sedang marah, dan kebingungan. Roda kehidupan terganggu. Mereka terjebak.”
“Siapa mereka?”
Belum sempat pertanyaanku terjawab. Perhatian kami telah teralihkan oleh para nelayan yang barusan pulang. Di antara mereka, aku tidak melihat kak Pandu. Mereka juga tampak gelisah, matahari sudah lama terbit, teriknya sudah mulai terasa.
Mereka memutuskan untuk menunggu sejenak. “Mungkin ia pergi terlalu jauh.”
Namun, siang hari telah tiba. Akhirnya para nelayan memutuskan untuk mencarinya, di luar pagar laut sana. Seluruh warga di desa merasa cemas. Aku mengalihkan perhatianku pada Mbak Langkisau. “Apa Mbah tahu apa yang terjadi pada kak Pandu?”
Ia berbisik, “Mereka membawanya pergi. Tetapi ia akan kembali, ia adalah satu-satunya harapan bagi mereka untuk menghilangkan tembok yang menghalangi mereka.”
Kami menunggu, hingga sore hari tiba, para nelayan kembali, wajah mereka tampak pucat. Kak Pandu tidak bersama mereka. Hanya salah satu dari mereka yang berani berbicara, “Ia tidak ada di sana, kami menemukan perahunya, berlayar di lautan tanpa arah, tetapi tidak ada dirinya.”
Aku menatap ke arah Mbah Langkisau, ia tidak membalas tatapanku.
Sejak kejadian itu, tidak ada yang berani pergi keluar dari pagar laut, para warga di desa mulai berpikir bahwa benar pagar laut itu dibangun untuk melindungi mereka dari malapetaka yang dibawa oleh laut. Jumlah nelayan pun mulai berkurang, mereka beralih pada profesi lain, beternak, bertani, dan beberapa pergi keluar desa dan tidak pernah kembali lagi.
Tidak, seharusnya tidak seperti ini. Bagaimana dengan laut yang mereka tinggalkan? Bagaimana dengan kehidupan di dalamnya? Bagaimana dengan kak Pandu? Bagaimana dengan mimpinya untuk mencabut pagar laut itu? Agar laut bisa kembali, pada kita.
Sejak hari itu, aku terus mendengar nyanyian dari laut setiap malamnya. Tangisan yang meminta tolong untuk melepas belenggunya tenggelam karena ia terlalu dalam. Dari semua orang, hanya aku yang bisa mendengarnya, dan aku tidak akan membiarkannya tenggelam.