Cerpen Devika Sari
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Aku duduk berselonjor di lantai kayu yang beralaskan tikar plastik. Sembari bersandar pada dinding yang juga terbuat dari kayu, kupejamkan mata, menikmati suara deburan ombak dan gemerisik atap rumbia khas pesisir yang terkena angin.
Begitu mendengar suara pintu dibuka, aku menoleh. Ayah masuk membawa jaring dan keranjang bambu. Kulitnya yang gelap akibat sering terkena paparan sinar matahari mengkilap karena keringat. Ia tersenyum lebar padaku. Sepertinya hari ini Ayah mendapat tangkapan ikan yang banyak.
“Rangga, kamu sudah dengar ada proyek pembuatan pagar laut? Setiap warga yang membantu akan diberi upah besar dari Kepala Desa,” ujarnya begitu duduk di sampingku.
“Apa itu pagar laut? Aku baru dengar.”
“Ayah juga gak terlalu paham. Tapi kata Kepala Desa, pagar laut merupakan bagian proyek modernisasi desa yang akan membawa investasi besar dan fasilitas baru. Ayah ingin ikut membantu, tapi mencari ikan seharian saja sudah membuat ayah lelah.”
Aku langsung paham maksud Ayah. “Baik, aku akan ikut membantu jika memang ada upah besar. Kapan pembuatannya dimulai?”
“Malam ini, di pinggir pantai dekat warung kopi Bu Anne. Cepatlah kamu ke sana! lumayan upahnya untuk nambah-nambah penghasilan. Kalau bisa, ajak teman-temanmu juga, kata Kepala Desa kalau berhasil mengajak orang lain, akan mendapat upah tambahan.”
Semangatku semakin menggebu mendengarnya. Udara malam menusuk tubuh begitu aku keluar dari rumah. Aku berjalan tergesa-gesa, debu pasir beterbangan, sebagian masuk ke sela-sela jari kaki.
Gelap menyelimuti pantai. Dari jauh aku melihat cahaya dari senter kepala yang dipakai beberapa orang. Sepertinya mereka orang yang sedang membantu membuat pagar laut, bisa kutebak dari beberapa bambu yang menjulang tinggi di sekitar mereka.
“Rangga, kamu mau membantu membuat pagar laut juga?” tanya Pak Joni begitu aku di dekatnya.
“Iya, Pak.”
“Bagus! Kalau begitu ayo segera masukan bambu-bambu ke dalam karung berisi semen yang sudah diberi air! Kami ingin beristirahat dulu sebentar di warung kopi. Kamu gak perlu takut sendirian, sebentar lagi anak saya akan datang ke sini untuk ikut membantu juga.”
Mereka pun berjalan pergi setelah aku mengangguk.
Aku mendekati pagar laut yang sudah jadi, menyentuh bambu yang menancap kuat di sekarung semen yang mengering. Tiba-tiba kudengar suara gemuruh ombak yang sangat keras. Baru saja aku menoleh ke arah laut, ombak setinggi dua meter seketika menghantam tubuh. Aku terjatuh dan terseret. Untuk beberapa saat aku tenggelam di air laut yang asin. Air menyurut perlahan. Aku terduduk di pasir yang basah dengan jantung berdegup kencang. Pakaianku basah kuyup, dingin semakin menusuk. Sepertinya aku harus mengganti pakaian terlebih dahulu.
Saat bangkit berdiri, aku baru menyadari jika bahan-bahan untuk membuat pagar laut telah menghilang, termasuk yang sudah jadi. Apa ombak tadi yang membawanya? Aku tidak akan disalahkan karena ini, bukan? Buru-buru aku berlari menuju rumah.
Sepertinya hantaman ombak membuatku linglung. Mendadak aku tidak bisa menemukan rumahku. Sepertinya aku salah jalan tapi rasanya tidak mungkin. Aku berjalan dengan gelisah sambil melihat sekeliling, hanya ada pasir yang luas, tidak ada rumah penduduk yang biasa kulihat, tidak ada perahu dan kapal milik nelayan yang biasa berlabuh di pinggiran pantai.
Senyumku merekah begitu melihat lelaki yang kukenal berjalan ke arahku. Itu Andre, anak Kepala Desa. Kemeja bermotif kotak membungkus tubuhnya yang gemuk. Raut wajahnya nampak kesal.
“Andre, tolong, kayaknya aku linglung. Mendadak aku gak tahu dimana rumahku, bahkan aku gak yakin apa ini masih di daerah tempat tinggalku,” ucapku setelah berada di depannya.
“Bukannya kamu udah pindah rumah bersama keluarga nelayan lain?”
“Pindah rumah ke mana?”
“Mana aku tahu,” jawabnya. “Kalian pindah gara-gara adanya pagar laut yang membentang puluhan kilo meter. Para nelayan kesulitan melaut karena jalur mereka dibatasi, hasil tangkapan ikan menurun drastis. Mereka terpaksa pindah untuk mencari mata pencaharian lain, termasuk ayahmu. Memang ada beberapa nelayan yang masih bertahan, tapi mereka harus melaut lebih jauh, menghabiskan banyak bahan bakar dan biaya.”
“Apa maksudmu?” tanyaku masih bingung. “Semenjak kapan aku pindah? Baru beberapa menit yang lalu aku berangkat dari rumahku.”
“Semenjak beberapa bulan lalu.”
Aku ternganga.
“Kamu kenapa, sih? Kayaknya kamu benar-benar linglung, pakaianmu juga basah kuyup.”
Mendadak kepalaku terasa pening.
“Kayaknya selain merusak ekosistem laut, pagar laut juga membuat orang-orang yang terkena dampaknya menjadi stress, termasuk aku.” Andre kembali memasang wajah kesal. “Ayahku dipenjara karena proyek ilegal pembuatan pagar laut, dan harus membayar denda yang jauh lebih besar daripada uang yang diberikan perusahaan yang menyuruhnya. Sialnya, hanya Ayah yang dipenjara, sementara pemilik perusahaan besar itu tetap bebas.”
Andre membanting sebuah kertas yang sedari tadi digenggamnya ke atas pasir.
“Orang-orang yang ikut pembuatan pagar laut pun banyak yang menyesal karena mudah teriming-imingi oleh uang tanpa mencari tahu lebih lanjut dampak negatifnya.”
“Tunggu, Adre! Bagaimana mungkin pagar laut sudah memberikan dampak negatif, padalah baru saja dibuat malam ini?”
“Apa maksudmu? Pagar laut dibuat dua tahun yang lalu. Masa kamu gak ingat? Kamu juga ikut membantu, kan?”
Aku semakin dibuat pusing. Tiba-tiba aku menyadari sesuatu. “Andre, ini tahun berapa?”
“2027, masa kamu gak tahu. Kayaknya kamu benar-benar linglung,” ucap Andre sambil berlalu meninggakanku.
Aku terdiam. Masih membutuhkan waktu untuk mencerna ucapan Andre barusan. Bagaimana mungkin ia mengatakan jika sekarang tahun 2027? Seharusnya ini masih tahun 2025! Apa aku benar-benar berada di masa depan? Apakah ombak besar tadi yang membuatku terlempar ke sini?
Secarik kertas yang tadi dilempar Andre ke pasir menarik perhatianku. Aku mengambil kertas yang sudah diremas hingga membentuk bola itu, lalu perlahan membukanya. Ternyata itu adalah sebuah surat yang ditulis Kepala Desa dari dalam penjara untuk keluarganya di rumah.
Kepala Desa menuliskan penyesalannya karena telah membuat pagar laut. Selain merusak ekosistem laut dan merugikan warga di sekitar pantai, keluarganya kini harus berjuang mencari uang untuk membayar denda atas proyek tersebut. Ia hanyalah rakyat kecil yang dijadikan kambing hitam, sementara dalang sebenarnya di balik pembuatan pagar laut adalah perusahaan besar yang menyuruhnya. Jika ia bisa kembali ke masa lalu, ia akan menolak pembuatan pagar laut.
Setelah membaca surat itu, aku kembali terdiam. Tiba-tiba sebuah pemikiran melintas di kepalaku. Tanpa ragu, aku berlari menuju tempat dimana sebelumnya aku diterjang ombak besar. Sesampainya di sana, aku melangkah mendekati pantai, terus berjalan hingga air laut mencapai betisku.
“Laut maafkan aku!” Aku berteriak sekuat tenaga. “Tolong kembalikan aku ke tahun 2025, akan kuperbaiki semuanya dengan segala yang kubisa.” Aku melangkah semakin jauh ke tengah laut. “Maafkan keserakahan manusia sehingga kau menjadi korban.”
Tiba-tiba kulihat ombak besar mendekat. Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang, bersiap untuk diterjang lagi. Ombak setinggi dua meter itu menghatam tubuhku dengan kuat. Aku terseret, tenggelam, dan sedikit menelan air laut yang asin. Perlahan air mulai surut, aku terkapar di atas pasir yang basah, tubuhku terasa lemah. Dari jauh kulihat beberapa pagar laut menjulang tinggi di tepi pantai, di sekitarnya terdapat bungkus-bungkus semen dan tumpukan bambu. Sepertinya... aku telah kembali ke tahun 2025.
Dengan napas tersengal, aku berusaha bangkit dari pasir yang basah. Sekarang pagar laut belum sepenuhnya berdiri, itu berarti aku masih punya waktu untuk mencegahnya. Tanpa ragu aku berlari menuju rumah. Aku harus memberitahu Ayah tentang kehancuran yang terjadi akibat pembuatan pagar laut.
Sesampainya di rumah, aku menemukan Ayah sedang duduk di lantai sambil menyantap makan malam. Ia nampak terkejut melihatku dengan pakaian yang basah kuyup.
“Ayah jangan buat pagar laut itu. Aku tahu akibatnya!”
“Apa maksudmu?” Ayah mengernyit. Piring yang tadi dipegangnya saat makan kini diletakkan di lantai. “Dan kenapa kamu basah kuyup?”
“Laut akan hancur. Nelayan akan kehilangan ikan. Kita gak boleh dibodohi dengan iming-iming uang yang tak seberapa. Sebelum melakukan sesuatu, kita harus tahu dampak negatifnya. Besok aku akan memberitahu warga lain. Aku juga akan mencari sumber informasi tentang dampak buruk pagar laut untuk lebih meyakinkan mereka.”
Tidak mungkin kuberi tahu orang-orang jika aku menjelajah waktu ke tahun 2027. Mereka akan mengira aku gila, lanjutku dalam hati.
Esoknya, aku pergi menemui teman-teman, berbicara dengan warga, memberitahu mereka agar jangan mau jika diiming-imingi uang untuk membuat pagar laut, kupaparkan dampak negatifnya. Aku memang bukan siapa-siapa, hanya anak remaja kelas 12 SMA, tapi aku akan terus mencoba. Jika tidak bertindak sekarang, masa depan akan tetap berakhir seperti yang kulihat.
***
Aku duduk berselonjor di tepi pantai, menikmati ombak kecil yang menghantam kakiku. Kutatap laut yang selama ini menjadi sumber mata pencaharian keluargaku. Sedih rasanya mengetahui laut ini akan dirusak karena keserakahan manusia.
Sepertinya masa depan akan sama seperti yang kulihat saat menjelajah waktu. Tidak semua warga mau mendengarkan penjelaskanku tentang dampak negatif pagar laut, termasuk Kepala Desa. Dia tidak percaya jika terus melanjutkan pembuatan pagar laut, dia bisa ditangkap dan hanya menjadi alat bagi perusahaan besar.
Tiba-tiba seseorang duduk di sampingku. Aku menoleh dan terkesiap begitu melihat Pak Kepala Desa. Dia memberikan secarik kertas lusuh. Itu surat miliknya dari masa depan yang sengaja kubawa dan kutinggalkan di rumahnya saat beberapa hari lalu bertamu. Tinta di surat itu sebagian luntur tapi masih bisa terbaca.
“Waktu kecil, saya pernah dihadang ombak besar saat sedang bermain di pinggir pantai, dan mengalami kejadian luar biasa yang tidak masuk akal. Dari kejadian itu, saya mengetahui, jika di masa depan, saya akan menjadi Kepala Desa,” ucapnya. “Apa kamu juga mengalami hal yang serupa?”
Aku mengangguk walau sedikit terkejut.
“Pembangunan pagar laut akan kubatalkan.”