Cerpen Saladin Hamzah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Kesiur ombak terasa halus di tanganku. Pasir yang menari-nari seiring digiring satu-persatu oleh ombak. Burung camar yang bertengger di atas permukaan laut, berharap ikan datang dari bawah bagaikan pesulap yang mengeluarkan bunga dari topinya, ajaib. Dan untuk kesekian kalinya, tongkat sombong yang menjulang di kejauhan sana, berdiri dengan tatapan yang entah bagaimana saya deskripsikan dalam buku catatanku. Namun yang saya tahu, tatapan itu adalah tatapan mengejek seolah berkata, “Tidak ada ikan bagimu hari ini.”
Tubuhku beranjak bangun lagi. “Hoaam—ini kan masih tengah malam.” Kulihat sekitarku masih gelap, hanya diterangi oleh lampu LED. Bagi yang belum tahu, rumahku tidak jauh dengan pesisir jadi saya sering mengunjungi pantai jika sedang luang. Atau kalau misalnya sedang diganggu dengan pikiran aneh biasanya pantai menjadi tempat terapiku. Dalam hal ini aku masih terganggu oleh pikiran si tombak yang entah sudah berapa bulan sejak pertama kali bertemu. Menjengkelkan.
Karena masih malam, aku hanya menatap pantai dari kejauhan. Batu karang yang terhantam sayup-sayup terdengar. Rasanya selalu aneh ketika terjaga di malam hari. Serasa aku terhempas ke dunia lain, yang tidak jelas juga perasaan apa itu. Bintang-bintang kian bersinar bertemanan dengan terang rembulan. Seperti teman lama yang tidak akan terpisah. Ah, mataku masih terasa berat digerakan.
Semenjak laut ini ditancapkan benteng kokoh tersebut, rasanya alam sedang berlibur, menjauh dari kampung halaman. Di tengah sana sudah tidak terlihat nelayan yang asyik menunggu pancingannya. Dan.. astaga!
“Malam-malam gini masih bangun, gak baik buat kesehatan dra.” Lihat siapa yang datang. Si paling tidak tahu waktu No. 2 di sekitar sini. Tidak perlu tahu siapa yang pertama. “Gak ada kerjaan banget si no ngagetin orang.” Aku masih kesal saat dia tidak memberi peringatan kalau dia bakal datang ke pertemuan yang seharusnya berlabel “privasi”.
“Gak usah kesal dong.. salah sendiri juga lu gak ngajak. Kebiasaan Indra banget.” Astaga, dia masih bisa bercanda di saat seperti ini. Aduh, mukaku kelihatan deh sama Dono. “Mau apa lu kesini? Ganggu waktu sendiri gua aja.” Walaupun begitu, aku merasa lebih tenang karena ada teman yang benar-benar nyata di sampingku. Akhirnya semua ocehan tidak guna bisa aku buang di tempat sampah.
Di antara kesiur angin yang menusuk badan, si kribo akhirnya mengutarakan maksudnya untuk menjengukku. “Aku dengar kalau lu sedang resah soal si biang kerok di tengah sana.” Si kribo ini, kapan dia tahu kalau aku resah dengan si pengejek dari jauh ini? Ah masa bodoh dengan itu, dia pasti tahu bagaimana perasaanku saat ini. Aku masih ingat saat masih kelas 12, sedang panas-panasnya memikirkan cara agar keterima SNBT dan tiba-tiba tanpa pemberitahuan angin, datanglah ia dengan solusi yang selama ini aku cari. Bagaikan malaikat yang siap membantu kapanpun waktunya.
“Entahlah, gua hanya jengkel aja.” Dono hanya menyimak dengan kadang-kadang menganggukan kepala, menandakan bahwa telinganya terbuka lebar. “Ya mungkin gua sedikit bohong kalau cuma jengkel doang. Ini serius no, kapan terakhir kali gua melihat ikan berkeliaran? udah seabad kalau gua hitung.” Emosiku sudah tidak tertahan sejak tadi, tidak, bahkan jauh sebelum itu. Aku harus mengambil napas sebelum oksigen di dalam tubuhku terlanjur keluar semua. Dono hanya menyimak dengan seksama sejak tadi.
“Bagaimanapun, seandainya gua menemukan sosok dibalik semua ini, akan kuusahakan seluruh raga gua agar dia tidak lolos dari hukumannya!” Air mata yang membendung telah jebol pada malam ini. Sungguh malam itu akhirnya semua yang aku utarakan kepada, ah siapa lagi yang Sungguh aku merindukan keadilan yang datang dan menumpas dosa besar di hadapanku. Sungguh aku benci tiang itu!
“Udah semuanya?” Dono memotong lamunanku sesaat. Aku kembali dengan pikiranku yang entah mengapa lebih ringan dari sebelumnya. Dono hanya mengutarakan senyumnya untuk kesekian kali. “Gua harap gua tidak merusak momen lu, namun..” Dia memperbaiki posisi tubuhnya. “Lu sudah melepas apa yang sudah seharusnya pergi, Otsukare Indra-san.” Dono, harus berapa kali terima kasihku harus kulempar kepadamu?
“Ah, bisa aja lu.” Aku menyeka ujung mataku yang masih basah. “Tapi makasih banget ya sudah mendengar ocehan burung ini.” Dono tertawa mendengar itu. “Kapan-kapan kalau ada cerita kocak kayak gini lagi boleh lah ajak gua.” Kujawab pernyataan dia dengan anggukan kepalaku. Aduh, kepalaku sakit lagi saat menulis ini.
Esoknya
Matahari menyoroti mataku yang pelan-pelan terbuka. “Hoaam.. eh, udah pagi aja.” Tumben sekali. Terakhir aku bangun pagi itu kapan ya? Ah, mungkin karena kemarin malam ceritaku sudah tersalurkan dengan benar. Hmph! Dasar si Kribo. Tahu saja kalau temannya butuh tempat bersanding.
Aku menengadah ke luar rumahku dengan mata yang masih gelap. Ombak yang sedang beradu samar-samar terdengar di teras depan. Kicauan burung-burung di atas sana, seolah berkata bahwa hari ini adalah hari paling bahagia mereka. Cuaca tampak bergembira juga hari ini. Jelas ini tanda bahwa perutku masih keroncongan semenjak tadi malam.
Setelah perutku telah terisi, kulanjutkan rutinitas harian seperti biasa. Langkah kakiku terasa mantap menyusuri jalan. Tapi, tunggu dulu. Kenapa ada banyak warga lain yang menuju ke tempat yang sama dengan yang kutuju? Ada yang tidak beres. Perasaanku tidak mungkin salah untuk kali ini. Aku berlari menuju pantai yang semakin lama semakin banyak warga berkerumunan.
Mungkin mataku sedang demam lagi, atau ini hanya perasaanku saja. Pantai ramai dihampiri oleh penduduk. Kulihat mereka seolah bersorak? Hah? Ada yang luput dari pengamatan aku selama ini. Mereka terlihat sedang mengamati sesuatu di kejauhan. “Apakah..” Dengan kaki yang tertatih, aku mendekat dengan kerumunan. Sejenak aku mencari sekitar seseorang setelah di antara kerumunan. Kulihat salah satu temanku berada di kerumunan.
“Eh, lihat siapa yang kelewatan niih.” Si kribo langsung nimpal saat matanya menangkap cahaya yang dia kenal. “Ada apa ini sampai warga pada turun segala?” Aku tidak sabar untuk tahu apa yang terjadi, masih dengan ekspresi wajah yang belum dibilas dengan air.
“Mending lu lihat aja yang di depan itu yang bikin semua orang terpana.” Seraya menunjuk dengan tangannya pemandangan yang dimaksud. Mataku melebar tidak percaya dengan cahaya ini. Di depanku tidak ada lagi pasak menjulang yang selalu menatap penuh ejekan. “Apakah aku belum bangun? Tidak, ini terasa nyata.” Gumamku pada diri sendiri. Diriku terasa mematung di tengah haluan manusia.
Perasaan campur aduk berputar di badanku. Entah apa yang kurasakan saat itu. Mungkin senang, bercampur dengan ingin teriak bahagia. Mungkin sedih juga berada di sana waktu itu. Namun satu hal yang pasti. Tidak ada lagi tatapan mengejek di seberang sana.