Cerpen Felisyiana
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Desa kecil di pesisir pantai selatan Jawa itu, memiliki seorang nelayan tua yang dikenal sebagai orang yang paling memahami laut. Mbah Kromo. Setiap pagi, sebelum matahari terbit, mbah Kromo sudah duduk di tepi pantai, mendengarkan bisikan ombak yang seolah menceritakan kisah-kisah lama. Ia percaya bahwa laut bukan sekadar air asin yang luas, melainkan sebuah entitas hidup yang memiliki jiwa.
Suatu hari, kabar buruk datang. Pemerintah setempat mengumumkan proyek besar-besaran, pembangunan pabrik pengolahan ikan modern yang akan mengambil alih sebagian besar wilayah pesisir, termasuk daerah tangkapan ikan para nelayan. Proyek ini dijanjikan akan membawa kemajuan ekonomi, lapangan kerja, dan pertumbuhan bagi desa. Namun, bagi Mbah Kromo dan warga lainnya, ini adalah ancaman terhadap ruang hidup mereka. "Laut kita akan mati," bisik Mbah Kromo pada cucunya, Rara, yang duduk di sampingnya. "Mereka tidak mengerti. Laut bukan sekadar sumber daya. Ia adalah ibu yang memberi kita kehidupan."
Rara, seorang gadis remaja yang baru pulang dari kota setelah menempuh pendidikan, mencoba memahami kegelisahan kakeknya. Ia tahu bahwa proyek ini akan mengubah segalanya. Tapi, ia juga bingung. Bukankah pembangunan itu penting? Bukankah kemajuan ekonomi akan membawa kesejahteraan?
Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Semakin dekat proyek pembangunan dimulai, semakin sering terjadi kejadian-kejadian ganjil. Jaring-jaring nelayan yang ditebar kembali ke pantai dalam keadaan robek. Perahu-perahu yang berlayar tiba-tiba kehilangan arah, meski cuaca cerah. Bahkan, suatu malam, warga desa dikejutkan oleh suara gemuruh dari laut, seolah-olah laut sedang marah.
Rara memutuskan untuk bertanya kepada sang kakak. Di dalam gubuk milik keluarganya, Rara mengajukan diskusi kepada Raden. " Ka Raden, mengapa pembangunan pagar laut sangat dikecam masyarakat? " Raden yang sedang duduk sambil menyeruput secangkir kopi melirik Rara. " Sini duduk" Titahnya pada Rara. Rarapun menuruti dengan duduk di samping kakaknya itu. "Hmmm.... Begini" Raden menggeser arah tubuhnya menghadap Rara. " Ada beberapa dampak negatif secara ekologis,sosial, maupun ekonomi"
" Pagar laut itu bisa mengubah arus alami air laut, yang nanti dampaknya ke ekosistem pesisir, kaya terumbu karang, mangrove, padang lamun itu bisa rusak karna sedimentasi dan perubahan arus, Rara uda liat kan kejadian ahir ahir ini? " Rara mengangguk
" Pagar laut juga biasanya malah mindah masalah abrasi ke wilayah lain, jadi ketika gelombang laut kan dihalangi tuh sama pagar, nah energi dari gelombang itu tuh bakal nyari jalan lain yang malah bikin erosi lebih parah di daerah sekitar. Ngga cuma itu. Pada akhirnya nanti pasti ngurangin akses warga pesisir ke wilayah tangkapan ikan, sering juga nanti bakal ada penggusuran sama pembatasan akses masyarakat ke pantai"
" Oooo gitu ya kak" Ucap Rara mengangguk paham sambil sedikit terkesan karna penjelasan kakanya yang dari dulu sangat gampang masuk ke otak Rara.
" Tujuannya kemana si ini pagar laut, apa mengarah ke kepentingan bisnis, berarti ini pasti jadi lahan praktik korupsi antara pejabat sama pengusaha. Siapa yang bisa jamin pembangunan kaya gitu ga bikin miskin desa. Kalo sampe banyak nelayan yang kehilangan mata pencaharian..... " Batin Raden melamun.
" Ka Raden " Panggil Rara setelah berkali kali memanggil. Raden menoleh " Mikir apa si kak? " Tanya Rara
" Engga, ngga papa" Jawab Raden " Yaudah lah, liat aja nanti perkembangannya gimana" Lanjut batinnya.
Keesokan harinya, Rara memutuskan untuk bertindak. Ia menggunakan pengetahuannya tentang teknologi dan media sosial untuk menyebarkan kisah desanya. Ia membuat video tentang kehidupan nelayan, tentang bagaimana laut bukan sekadar sumber daya, melainkan bagian dari identitas mereka. Video itu viral, menarik perhatian aktivis lingkungan dan media nasional.
Tekanan publik mulai membesar. Pemerintah setempat kebingungan. Proyek yang semula dianggap sebagai solusi, kini berubah menjadi masalah. Akhirnya, diadakanlah pertemuan antara warga, pemerintah, dan pihak investor. Suasana di balai desa tegang. Warga berkumpul, duduk melingkar di atas tikar anyaman. Di tengah lingkaran, duduk Mbah Kromo dengan wajah tenang namun tegas, sementara di seberangnya, sang Investor, seorang pengusaha dari kota bernama Pak Hendra, duduk dengan setelan jas rapi dan wajah yang mulai memerah karena emosi.
Pak Hendra membuka percakapan dengan suara lantang, mencoba meyakinkan warga.
"Bapak-bapak, Ibu-ibu, saudara-saudara sekalian. Saya mengerti kekhawatiran kalian. Tapi, mari kita lihat fakta-fakta ini. Pembangunan pabrik pengolahan ikan ini akan membawa kemajuan besar untuk desa kita. Ada ratusan lapangan kerja yang akan tercipta. Anak-anak muda tidak perlu lagi merantau ke kota untuk mencari pekerjaan. Mereka bisa bekerja di sini, dekat keluarga."
Beberapa warga mulai berbisik, ada yang mengangguk, ada pula yang masih ragu. Mbah Kromo, dengan suara tenang namun berwibawa, menyela.
"Pak Hendra, kami menghargai niat baik Bapak. Tapi, Bapak tidak mengerti. Laut ini bukan sekadar sumber ikan. Ia adalah hidup kami. Ia adalah warisan leluhur kami. Kalian datang dengan janji-janji, tapi apa yang akan terjadi setelah proyek ini selesai? Laut kami akan tercemar, ikan-ikan akan pergi, dan kami akan kehilangan segalanya."
Pak Hendra mencoba tetap tenang, tapi nada suaranya mulai meninggi. "Mbah Kromo, saya mengerti kekhawatiran Anda. Tapi, kita tidak bisa terus hidup di masa lalu. Dunia berkembang, ekonomi harus tumbuh. Kami akan memastikan bahwa pabrik ini ramah lingkungan. Ada teknologi modern yang bisa mengurangi dampak polusi. Ini demi masa depan anak cucu kita."
Mbah Kromo menggeleng pelan, matanya menatap tajam. "Teknologi modern? Bapak bicara tentang mesin-mesin yang Bapak sendiri tidak paham cara kerjanya. Tapi kami paham laut. Kami tahu ketika laut marah, ketika ia sedih, ketika ia bahagia. Bapak bilang ini untuk anak cucu kami? Justru kami sedang melindungi mereka. Jika laut rusak, apa yang akan mereka warisi? Beton dan pabrik?"
Beberapa warga mulai bersorak setuju. Pak Hendra merasa terpojok, tapi ia tidak menyerah. "Mbah, saya tidak bermaksud merusak. Tapi, mari kita realistis. Tanpa proyek ini, desa ini akan tetap tertinggal. Anak-anak muda akan pergi, dan desa ini akan mati perlahan. Apa Bapak mau melihat itu terjadi?"
Mbah Kromo tersenyum tipis. "Kami tidak takut tertinggal, Pak Hendra. Kami takut kehilangan jati diri. Laut ini adalah ibu kami. Ibu tidak pernah menuntut apa-apa, hanya memberi. Tapi, jika kita menyakiti ibu, apa jadinya? Bapak bicara tentang kemajuan, tapi kemajuan apa yang Bapak tawarkan? Kemajuan yang menghancurkan kehidupan kami?"
Pak Hendra mulai kehilangan kesabaran. Suaranya semakin keras. "Mbah, ini bukan soal perasaan atau kepercayaan. Ini tentang fakta! Fakta bahwa desa ini butuh pembangunan. Butuh uang. Butuh lapangan kerja. Kalian tidak bisa terus hidup dalam kemiskinan hanya karena takut perubahan!"
Mbah Kromo berdiri perlahan, tubuhnya yang renta terlihat kokoh. "Kemiskinan? Bapak pikir kami miskin karena tidak punya uang? Kami kaya, Pak Hendra. Kaya akan laut, kaya akan kebersamaan, kaya akan warisan leluhur. Uang Bapak tidak bisa membeli itu. Dan jika Bapak pikir kami takut perubahan, Bapak salah. Kami hanya tidak mau perubahan yang menghancurkan hidup kami. Warga mulai bertepuk tangan, sorak-sorai mengiringi kata-kata Mbah Kromo.
Pak Hendra merasa semakin terdesak. Ia mencoba mencari argumen lagi, tapi kata-katanya mulai tidak jelas. "Ini tidak masuk akal! Kalian tidak mengerti! Kalian hanya memikirkan diri sendiri!"
Mbah Kromo menatapnya dengan tenang. "Justru Bapak yang tidak mengerti, Pak Hendra. Kami memikirkan generasi mendatang. Kami memikirkan laut, yang sudah memberi kami kehidupan. Jika Bapak tidak bisa menghargai itu, silakan pulang. Tapi ingat, laut ini tidak akan pernah menjadi milik Bapak."
Pak Hendra berdiri, wajahnya merah padam. Ia mengumpulkan dokumen-dokumennya dengan kasar. Dia berbalik dan berjalan keluar balai desa, diikuti oleh timnya. Warga terdiam sejenak, lalu bersorak gembira. Mbah Kromo duduk kembali, menatap ke arah laut. "Laut akan selalu melindungi kita," bisiknya.
Di kejauhan, ombak terus bergulung, seolah mengiyakan kata-katanya. Laut kembali tenang. Ombak berbisik pelan, seolah berterima kasih. Mbah Kromo dan Rara duduk di tepi pantai, menatap cakrawala. "Kau lihat, Rara? Laut selalu punya cara untuk melindungi dirinya," kata Mbah Kromo.
Rara tersenyum. Ia kini mengerti bahwa pembangunan bukanlah segalanya. Ada hal-hal yang lebih penting, seperti kearifan lokal, keseimbangan alam, dan warisan budaya yang harus dijaga. Laut bukan sekadar air asin yang luas. Ia adalah rumah, ibu, dan jiwa mereka.
Dan di kejauhan, ombak terus berbisik, menceritakan kisah-kisah yang tak akan pernah lekang oleh waktu. Laut kini aman, untuk sementara....