Cerpen Ranang Aji SP
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pertama kali Budi melihat, pagar tersebut hanya berupa garis hitam di tengah kabut pagi. Dia bangun sebelum fajar, seperti saban harinya setelah minum kopi, dia segera mengambil bekalnya dan menarik jaringnya di atas bahunya, lalu berjalan tanpa alas kaki menuju perahunya. Namun, saat dia mendorong perahunya dari pantai, dayungnya seperti membentur sesuatu yang keras, lalu terdengar suara di dalam air. Dia mengangkat dayungnya untuk melihat, tapi untungnya tak ada yang patah. Setelah itu, dia mendayung perahunya menjauh untuk menghindari, dan mengamati dari jauh. Dari posisinya, matanya menangkap bayangan dalam air. Bayangan itu kemudian terlihat bentuknya, muncul sebagai barisan pancang besi yang ditancapkan jauh ke dalam dasar laut, Setelah itu, dia mencoba tetap menebar jaringnya, hingga membentang di antara pancang yang terlihat seperti tulang rusuk ikan yang sudah mati.
Perutnya mengeras karena peraasaan sebal dan marah. Sebenarnya, selama ini dia telah mendengar desas-desus yang terus berkembang. Orang-orang di warung kopi berkasak-kusuk memperbincangkan semua itu, bahwa ada orang-orang kuat di Jakarta, perusahaan-perusahaan dengan nama besar dan dompet tebal telah menyogok para pejabat korup untuk membangun pagar di sepanjang laut. Lantas mereka akan menguruk dengan tanah dan membangun perumahan di atasnya Tapi rumor hanyalah kata-kata, dan kata-kata hanyalah angin yang tak bisa dipegang.
Ini nyata...
Budi semakin penasaran. Dia mendayung lebih dekat, merasakan tarikan perahunya saat air pasang melawan berat pagar yang tak terlihat. Sebuah rambu yang terpasang di salah satu tiang besi menghadap ke daratan, bukan ke wajah laut. "Milik Pribadi. Dilarang Masuk". Dia mengulurkan tangan, jari-jarinya menyentuh kawat. Dingin, tajam. Sengatannya merasuk ke tulang jarinya.
Di belakangnya, desa itu bergejolak. Perahu-perahu lain merangsek masuk ke perairan dangkal, tapi dayungnya melambat saat orang-orang itu mulai menyadari. Budi berbalik. Satu per satu dari mereka membeku. Keheningan menyelimuti air. Keheningan para nelayan yang selama ini mengenal laut sebagai milik mereka, kini dihadapkan pada bukti bahwa laut bukan lagi milik mereka.
++
Hari-hari berlalu, dan pagar itu tidak bergerak. Hanya angin dan kebisuan alam. Orang-orang perusahaan datang sekali waktu, berdiri dengan kemeja mahal di atas kapal, tampak terlalu bersih untuk perairan ini, menunjukkan dokumen-dokumen yang tidak ada artinya bagi mereka yang tinggal di tepi pantai. Mereka menjelaskannya dengan kata-kata yang sarat dengan aturan-aturan. Mereka tunjukkan izin, kontrak, dan rencana reklamasi ke depan. Kata-kata mereka sungguh tidak masuk akal di telinga para nelayan, tetapi memiliki bobot yang tak bisa ditanggung dan ditolak.
“Di mana kita akan mencari ikan sekarang?” tanya seseorang.
Pria berjas itu tersenyum, seperti buaya sebelum mengatupkan rahangnya. “Ada perairan lain. Kalian masih bisa lewat.”
Tentu saja itu omong kosong. Semua yang dikatakannya seolah mudah, seperti meludah dari mulut ke tanah. Mereka tak pernah melaut, mencari ikan. Tapi, para nelayan, mereka merasakan kesulitan itu. Faktanya, mereka kebingungan mencari ikan yang ternyata tidak ada. Laut seperti tanah daratan, tidak semua jenis tanaman cocok, tidak semua ikan yang dibutuhkan ada di tempat yang berbeda. Semua itu tidak mudah. Tentu tidak bagi para nelayan yang hanya punya perahu dengan lambung yang ditambal dan jaring yang ditenun oleh tangan mereka sendiri. Tidak bagi mereka yang telah menghabiskan beberapa generasi untuk memetakan arus bawah laut dengan kulit mereka sendiri, bukan dengan peta yang disuluh kapital. Lautan yang dalam bahkan sudah lama menjadi milik kapal pukat, mesin-mesin yang mengikis habis lautan. Dan, kini, tanpa hamparan air ini, mereka tak akan lagi mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Ini realitasnya...
Semula, istri Budi menjual anting-anting emas mereka terlebih dahulu. Sebulan kemudian, cincin kawinnya. Tetangga mereka, Pak Darmin, bahkan berhenti melaut sama sekali. Anak sulungnya, remaja laki-laki berusia 14 tahun, akhirnya harus pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.
Laut berubah. Ikan tidak lagi mencapai perairan dangkal. Pagar yang membelah arus laut membingungkan mereka, memaksa mereka menjauh. Dasar laut di bawahnya menjadi pucat, menyesakkan dalam keheningan. Hutan bakau di dekatnya, yang dulunya dipenuhi kepiting dan belut, mulai layu.
Pertemuan desa berubah menjadi gumaman putus asa. Beberapa orang ingin merobohkan pagar itu, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana caranya. Tiang-tiang pancangnya menancap dalam, disemen menjadi batu. Kawatnya diperkuat. Memotongnya berarti berisiko ditangkap. Dan penangkapan berarti pengadilan, denda, hutang yang tidak bisa dibayar oleh nelayan.
Seorang pria bernama Udin mencoba berenang di bawahnya pada suatu malam, dengan pisau di antara giginya. Esok paginya, dia ditemukan terdampar di pantai, tersangkut di jaring, anggota tubuhnya membengkak karena air pasang. Tidak ada yang tahu apakah dia tenggelam atau ada hal lain yang terjadi. Laporan polisi tidak menyebutkan apa-apa.
Budi duduk di depan pintu rumahnya malam itu, memandangi air. Laut tidak berbicara. Tak ada kata-kata. Hanya kebisuan bersama alam yang gugup.
++
Badai datang di bulan ketiga, liar dan tiba-tiba. Langit menghitam, dan angin berhembus kencang ke seluruh desa. Budi berlari bersama yang lain, menyeret perahu ke tempat yang lebih tinggi, mengikat atap-atap rumah ketika hujan datang menyamping, mengiris udara seperti golok tajam. Ombak naik, menghantam pagar, menelannya utuh sebelum mundur lagi ke laut. Pancang-pancang mengerang karena beban dan tamparan angin.
Kemudian-sesuatu terjadi. Sebuah retakan terdengar, pecah dan terpelintir. Sepotong pagar terlepas, hingga terbuka sebuah celah, cukup untuk lewat satu perahu. Potongan itu bergerigi dan sempit, mengarah ke laut terbuka.
Budi yang pertama kali melihatnya. Dia tidak berpikir. Tubuhnya bergerak lebih cepat dari pikirannya, mendorong perahunya ke dalam air yang bergejolak. Dia sudah berada di dalam air sebelum istrinya sempat menghentikannya, dayungnya bergerak melawan angin.
Dia menyelinap melalui celah, menuju kebebasan. Dia berpikir saatnya menjaring ikan. Dan untuk sesaat, keadaan tetap terlihat seperti biasanya. Laut di sekelilingnya, luas dan angker. Jalanya tenggelam ke kedalaman lautan, tempat di mana ikan-ikan yang dibutuhkan biasa berenang dan disediakan. Untuk sesaat, Budi merasa bisa bernapas. Dia bisa bekerja.
Tapi, kemudian kilatan cahaya terang seperti matahari menyorot dari pantai. Sebuah lampu sorot terlihat menyapu ombak. Lantas, sebuah kapal besar melaju membelah permukaan air. Mereka, orang-orang perusahaan. Budi melihatnya dengan mata cemas. Tubuhnya terkulai. Lemas. Dia sadar, tidak ada tempat untuk lari.
++
Badai berlalu. Desa itu dipenuhi orang dari perusahaan untuk menyelidiki reruntuhan. Pagar berdiri, bengkok tapi sudah diperbaiki, patahannya ditutup dengan kawat baru, bahkan lebih kuat dari sebelumnya. Tak ada lagi celah bisa dilewati perahu. Sebuah tanda ditambahkan di bawah tanda pertama.
"Penyusup akan Ditindak."
++
Perahu Budi ditemukan terapung di dekat pantai, dalam keadaan kosong.
Istrinya menunggu di tepi pantai selama dua hari. Pada hari ketiga, dia pergi ke polisi. Mereka tersenyum, seperti buaya.
“Dia tenggelam,” kata mereka. “Badai sangat kuat. Nanti kita cari.”
Penduduk desa tidak percaya. Namun, kepercayaan bukan berarti apa-apa bagi mereka, hanya semacam bau kentut yang lewat dan menghilang. Tidak ada yang mencari. Tidak ada yang berani. Budi menghilang begitu saja dalam kebisuan laut.
++
Seminggu kemudian, kapal perusahaan yang bersih dan bercat terang datang. Kemudian disusul yang lain. Warga nelayan semakin resah, tak berdaya. Satu-satu mereka mengemasi apa yang mereka miliki, meninggalkan rumah-rumah yang tak lama lagi akan menjadi milik entah siapa. Desa itu menyusut. Seperti laut yang mongering. Sepi. Perahu-perahu mereka membusuk di tempatnya. Tapi, pagar itu tetap ada, membelah laut seperti bekas luka. Dan di bawahnya, air tenang, berat karena beban barang-barang yang tenggelam.
Seorang bocah tujuh tahun berdiri di samping ibunya. Setelah melihat hamparan biru laut, wajah mungilnya mendongak, memandang ibunya, dan bertanya: “Sebenarnya laut ini milik siapa?