Saturday, March 15, 2025

Cepen Lomba | Christya Dewi Eka | Pagertarian

Cerpen Christya Dewi Eka 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Pager 0 km


Jika kukatakan aku mendapat wangsit, kau pasti mengernyitkan dahi. Itu sungguh terjadi. Aku bermimpi menjadi bambu tertinggi di laut. Kaku menyundul langit. Sekelilingku, bambu-bambu kecil berlutut menyembah. Sebentar, jangan buru-buru menghakimiku terobsesi dengan Yusuf yang disembah matahari, bulan, dan sebelas bintang. Jangan pula kau patahkan ceritaku dengan logika bahwa karena bambu tidak punya lutut, maka bambu tidak bisa menyembah. Jadi dengarkan baik-baik sampai selesai supaya jelas duduk perkaranya. 


Dengan mata sehat—mata yang tetap terbuka meski aku tidur—aku melihat bambu berbaris seperti laskar perang di garis depan, meski tidak mengenakan seragam dan sepatu lars. Musuh di seberang sana, samar menggeliat seperti monster laut, tidak jelas siapa jenderalnya. Benteng kami, tidak jelas posisinya. Satu hal yang pasti, kami bukan bagian tentara Ratu Selatan yang bisa datang dan pergi tiba-tiba. 


Air asin menyelusup ke serat-seratku. Tidak masalah karena bambu antikorosi,  walau tidak antipeluru. Peperangan meletus. Seru! Aku, dalam bentuk bambu, meski tidak sesakti tongkat Sun Go Kong, punya jurus hebat. Menusuk. Menghajar. Berkelit agar tidak dicacah menjadi rebung pengisi lumpia. 


Laskar bambu menunggang ombak. Ombak besar menghampiri. Ombak kecil menyusul. Menggulung musuh kami. Satu musuh jatuh, seribu musuh datang. Kami kewalahan. Semangat masih menyala, tapi energi mendekati nol. Beberapa bambu hanyut ke cakrawala. Bambu lainnya roboh menuju palung. Lalu, satu dentuman hebat melubangi tubuhku. Akhirnya, kami kalah, meski hampir lolos babak final. Ironis dan dramatis. 


Aku terbangun dengan jantung nyaris copot dan napas pendek-pendek. Adegan mimpi menempel di kepala, terbawa ke dunia nyata. Sisa laskar bambu menjadi patung. Berbaris memanjang ke kiri dan kanan laut, menghormat pada jendral lawan. Sebelum difoto oleh wartawan, kami harus tersenyum ceria seolah tidak ada perang, seolah sukarela tunduk pada lawan. 


Sejak saat itu, aku kejatuhan ilham: membuat monumen penghormatan tanda belasungkawa pada bambu yang gugur, di sela-sela waktu senggang mencari ikan. Jika kau melewati pesisir, akan tampak barisan bambu memagari laut. Itu karya seniku. Jangan pikir mereka menjaga sesuatu. Mereka sedang merayakan kehilangan. 



Pager 5 km


Aku berdiri di atas karang pinggir laut. Sesekali ombak menampar wajahku. Pasir masuk ke mulut dan enggan kukeluarkan. Aku suka mengunyah tanah dan minum air garam. Meresapi langu dan asin sebagai rasa alamiah penawar racun makanan ultra proses. Persis cara hidup penakluk laut. 


Memandang dunia dari posisi terbalik kupikir bisa membuat otak lebih waras. Sebuah ingatan yang mengguncang iman tayang di kepala. Pertambahan drastis jumlah uang di rekeningku. Syaratnya, aku harus memasang pagar bambu sepanjang laut. 


Syarat tambahan dari Tuan Kepiting, “Jangan bilang siapa-siapa.” 


Kubalas sesuai kode umum mafioso internasional bahwa aku paham, “Jangkrik, Bos!”


Senyum Hanifah merekah mendengar transaksi berbau cuan. Skincare baru, katanya sambil memerosotkan sarungku. Selanjutnya, dimulailah ritual adegan dewasa antara aku dan Hanifah dengan latar langit biru tak berbatas dan laut berbatas pagar. 


“Kau kaku,” rutuk Hanifah kesal. 


“Tentu saja. Aku kan bapaknya bambu.”


Tanganku menyangga kepala. Tumbuh akar dari sana. Terus menancap pasir semakin dalam. Semakin dalam. Tubuhku sekaku batang. Bulu-bulu halus di kakiku serupa miang. Bambu tumbuh dari selangkanganku dan begitu kulebarkan kedua kakiku, lahirlah pagar bermeter-meter. Jika aku tidak lelah, aku bisa melahirkan pagar lebih dari lima km. 


Anak-anakku menggeliat kecipratan air garam. Sebentar saja mereka sudah beradaptasi dengan dunia. 


“Berbarislah!”


Dengan patuh, mereka membentuk formasi pagar laut, seperti kapal-kapal Paletehan berjejer rapat menghadap kiblat agar jin tidak menyusup. Ah, tidak, kupikir lebih mirip kapal VOC memagari laut sebagai validasi bahwa merekalah penguasa nusantara yang berhak mengeruk rempah, dan pribumi hanya kacung yang memandang keelokan laut nun jauh di sana dengan mata berkaca-kaca. 


Kembali ke posisi tegak lurus dengan langit, aku memotret mereka dengan kualitas HD, pagar laut yang kokoh, dan langsung mengirim gambar ke nomor asisten direktur pabrik cuan, “Tuan Kepiting, hari ini sampai di titik 5 km.”


“Oke. Setengah jam lagi saya transfer. Jangan sampai bocor.”


Bagaimana bisa? Seperti perahu tua, rahasia sejarah bisa bocor. Dalam film mafia, tembok punya kuping, dan bayangan pun bisa jadi pengkhianat. 


Aku masih merasakan darah dari selangkangan. Itu satu-satunya pertanda bahwa aku masih hidup. Besok, aku bisa membayar iuran RT, membeli token, melunasi kredit motor, dan mengajak Ijam jalan-jalan ke muara. 


Aku menutup mata, telinga, dan mulut, sambil menebak dengan jantung berdebar, bisakah rahasia pagar bocor? 


“Hanya setan yang bisa memviralkan balon bocor.”



Pager 10 km


Jika, dan hanya jika ada kesempatan, aku menyaru mata-mata di antara serikat nelayan. Minum kopi dan makan ubi goreng, berbicara tangkapan jaring yang kian sedikit, menggosok daki leher dengan topi kumal, adalah sepantasnya. Berbusa-busa bertanding keluh: siapa yang paling sial, ikan siapa yang paling sedikit? Begitulah seharusnya kehidupan yang wajar. 


Aku punya kuping burung hantu. Bambu punya kuping. Pagar laut juga punya banyak kuping. Siap menggosok informasi akurat, berbahaya, terbaru, terkini, terpanas. Semakin panas, semakin mahal, semakin asoy.


Berkurangnya tangkapan jaring, desis halus generator kapal-kapal pencuri di hari buta, letusan senapan di bawah meja, gosip laut berpagar akan jadi Perumahan Kapuk Premium milik artis dan pengusaha. Nelayan dan kelasi membicarakan rahasia dengan suara sekeras geledek. Mereka sehati memaki anjing atau babi, dan mencipratkan ludah campur dahak di tanah seolah ditujukan pada si penyebab masalah. Tidak jelas pada siapa: laut, penguasa, atau negara?


Tuan Kepiting beberapa kali menelepon, berkali-kali menekankan, “Hari ini harus sampai 10 km!”


Apalah jawabanku selain, “Siap, Bos!”


Apa jadinya kalau mereka tahu transaksiku dan Tuan Kepiting? 


Transferan kemarin sudah cukup membayar tagihan bulanan. Semua lunas. Mau disimpan di mana ya uang sebanyak itu supaya aku tidak dicurigai? 


Percayalah, sebanyak apa pun upahku, tidak mungkin sanggup mencicil rumah di Perumahan Kapuk Premium, tempat di mana segala mimpi hedon jadi nyata. 



Pager 20 km


Aku punya sebatang bambu sakti yang tumbuh dari selangkangan. Istriku, Hanifah, begitu memujanya, lebih tepat mencanduinya. Beberapa malam sekali, ia bermain-main dengan bambuku: membelainya, menciuminya, menjilatinya. Kata Hanifah, bambuku adalah pegangan melawan stres. 


Di masa aku baru akil baligh, bambuku pernah mengalami intimidasi dan intervensi dari Mang Roji: disunat dengan kapak bila tidak menyampaikan salam manis dari Mang Roji ke Teh Sani. Aku tertawa. Tidak takut. Bambuku tidak bisa digertak begitu saja.


Di laut, aku memasang pagar bambu yang lebih tinggi daripada bambuku. Kuanggap mereka adalah anak-anakku. Demikian mudahnya memasang pagar. Seolah semua sudah dipersiapkan. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang melarang. 


Ada suara yang tidak berbunyi dari warung nasi pinggir dermaga, dari celotehan mulut yang belum sikat gigi setelah pulang melaut seharian. Bila malam, ada kapal-kapal mendarat tanpa lampu, mesin-mesin menggeram seperti dengkur kucing, pasir dan semen dihanyutkan di tempat karang berakar. Aku masih saja memasang pagar dengan segala pikiran positif bahwa ini semua adalah demi kesejahteraan bangsa. 


Tanpa dikandung, pulau baru akan lahir dari laut berpagar, secepat lajunya perputaran uang di mesin pachinko. Padahal, Hanifah butuh waktu 3 tahun agar bambuku beranak. 


Ketika pagar itu sudah mengular, muncul banyak protes dan usaha merubuhkannya, bambuku ikut-ikutan lemas, terkulai. Kenapa begini? Bangun, Bambu! Ah, bagaimana aku bisa meladeni Hanifah nanti malam? 



Pager 25 km


Janggal rasanya melihat pagar berbiak: bertambah panjang dan banyak. Pagar itu menjepit gelombang dan menyesakkan arus. Akarnya menancap dalam seolah ingin melubangi laut. 


Di tengahnya, sebuah kapal terjepit, seperti lembaran daging sapi terjepit roti bundar. Tentu saja, itu kapal nelayan. Hanya kapal nelayan yang ditakdirkan menerima kekalahan di ruang mahasempit.

 

Ah, Tuan Kepiting, senang rasanya dipinjami kapal modern. Lebih keren, lebih bertenaga, lebih cepat, daripada kapal serikat nelayan warisan leluhur berpuluh-puluh tahun. 


Pagarmu yang kau desain keren, viral dan jadi trending topik. Lebih populer daripada kapalku yang baru saja menggempur perahu nelayan. 


Tapi, tidakkah Tuan dengar, lirih suara laut? Hatiku seperti teriris, mengembalikanku pada cita-cita kanak-kanak sebagai putra laut. Semua nelayan bisa mendengar laut dan penghuninya meronta minta dilepaskan dari belenggu pagar. Pasang kupingmu, Tuan! 



Pager 30 km


Mungkin aku keturunan nabi, atau aku dihantui penunggu pohon bambu. Mimpi buruk lagi. Aku berdiri di antara laskar pagar. Pandanganku absurd menatap laut yang silau ditimpa cahaya matahari. 


Ke mana makhluk laut? Seharusnya mereka berkerumun menonton sosokku yang tiwikrama menjadi raksasa pagar. Tubuhku tumbuh lebih tinggi daripada pagar laut. Aku beringas dan merampas pagar lain, mengunyahnya dengan kasar, menelannya dalam potongan besar, memakannya mentah-mentah, tentu saja tidak selezat lumpia isi rebung udang. 


Di laut lepas, kapal-kapal berbaris. Besar, kecil, seolah menjaga aku tidak keluar dari gelanggang pertempuran. Sekilas, aku melihat mata-mata kamera merekamku agar abadi sebagai pemakan pagar. 


Aku terbangun dengan napas satu, dua. Malam masih gulita. Angin darat menyampaikan bau limbah peradaban modern. Tubuhku berkeringat dingin. Aku menggigil. Aku tahu arti mimpiku. 


Sedari pagi aku mencabut pagar laut. Bambu demi bambu. Bukan semata-mata karena mimpi atau bisikan gaib. Tapi, melihat kenyataan bahwa ikan tersesat pulang dan gelombang kehilangan pamor. Pagar yang katanya untuk melindungi laut, ternyata menjadi jeruji bagi makhluk laut. 


Tanganku gemetar. Ini bambu yang kutanam berbulan-bulan. Anak-anak yang kulahirkan sepenuh harapan. Kini, aku harus mencabutnya. Memutus nadinya. Membunuhnya. Sepasang mata ikan kecil yang terjebak di bambu menatapku. Kosong. Lemah, namun menguatkanku agar segera memusnahkan pagar laut. 


Puluhan kapal berkamera mengerumuniku di kejauhan. Menurut berita televisi, aku adalah pahlawan lingkungan. Menurut Tuan Kepiting, aku adalah pengkhianat skenario. Menurut analisis psikolog, aku pengidap skizofrenia. Ndhasmu! Siapa peduli? Serapahku menjadi jargon viral: laut merdeka, tanpa pagar.