Cerpen Amita Syahrini
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku selalu percaya bahwa laut tidak hanya memisahkan, tetapi juga menghubungkan. Ombak yang datang dan pergi adalah bukti bahwa sesuatu yang pergi tidak selalu benar-benar hilang. Tapi bagaimana jika laut justru menjadi pagar yang tak bisa kami seberangi?
“Aku akan kembali, Rena. Laut ini tidak akan memisahkan kita selamanya.”
Aku masih ingat kata-kata itu. Masih terngiang di telingaku, seperti ombak yang tak pernah berhenti membisikkan rahasia pada pasir.
Aksa berjanji akan kembali. Lima tahun lalu, dia pergi ke seberang lautan untuk mengejar mimpinya. Aku, seperti perempuan pesisir lainnya, menunggu. Bukan karena aku tidak punya pilihan, tapi karena aku percaya.
Namun, kenyataan selalu punya cara untuk mengubah segalanya.
Hari ini, Aksa benar-benar kembali.
Aku melihatnya dari jauh, berdiri di dermaga dengan kemeja putih yang berkibar tertiup angin. Wajahnya masih sama, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang baru—sesuatu yang tidak lagi kumiliki.
Dia tidak datang sendirian.
Di sampingnya, seorang wanita berdiri dengan anggun, menggandeng lengannya dengan penuh keyakinan. Jantungku mencelos saat melihat cincin yang melingkar di jari manisnya.
Aku tersenyum pahit. Ternyata benar, laut bukan hanya menghubungkan, tetapi juga bisa menjadi batas yang tidak bisa dilewati.
Kami tumbuh bersama di desa pesisir ini. Dulu, kami selalu percaya bahwa tak peduli sejauh apa ombak membawa kami, pada akhirnya kami akan kembali ke pantai yang sama.
“Kamu tahu?” kata Aksa saat kami masih remaja, duduk di atas perahu kecil yang terombang-ambing oleh ombak kecil. “Suatu hari nanti, aku akan membangun jembatan di atas laut ini. Agar kita tidak perlu berpisah.”
Aku tertawa waktu itu. “Kenapa tidak tetap di sini saja, jadi kita tidak perlu repot membangun jembatan?”
Dia tersenyum, tapi sorot matanya penuh impian. “Aku ingin melihat dunia, Rena. Tapi aku janji, aku akan kembali.”
Dia menepati janjinya. Tapi tidak dengan cara yang kuharapkan.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Angin laut berembus lembut melalui jendela kamarku, membawa aroma asin yang selalu mengingatkanku padanya.
Tanpa sadar, kakiku membawaku ke pantai. Aku berdiri di sana, membiarkan ombak membasahi jemariku.
“Aku tahu kamu akan ada di sini.”
Suara itu membuatku membeku. Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—sendirian kali ini.
“Aksa…”
Dia melangkah mendekat, berdiri di sampingku, menatap laut yang bergelombang tenang di bawah cahaya bulan.
“Maaf,” katanya akhirnya.
Aku tertawa pelan, meskipun rasanya pahit. “Untuk apa?”
“Untuk semuanya. Untuk pergi, untuk kembali dengan cara yang berbeda… untuk tidak bisa memenuhi janji.”
Aku menghela napas. “Aku tahu kamu akan kembali, Aksa. Aku hanya tidak tahu bahwa kamu akan membawa seseorang bersamamu.”
Dia terdiam. Hanya suara ombak yang menjadi saksi diam di antara kami.
Aku ingin marah, ingin menyalahkannya. Tapi bagaimana bisa? Dia tidak pernah menjanjikan cinta, hanya kebersamaan. Dan sekarang, kebersamaan itu pun sudah berlalu.
“Dia wanita yang baik,” kata Aksa pelan. “Aku bertemu dengannya di negeri seberang. Aku mencintainya, Rena.”
Aku tersenyum, meskipun hatiku sakit. “Kalau begitu, aku senang untukmu.”
Mungkin ini akhirnya. Mungkin ini saatnya aku berhenti menunggu ombak membawanya kembali.
“Aku akan menikah bulan depan,” lanjutnya. “Tapi sebelum itu, aku ingin bertemu denganmu.”
Aku mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Laut telah menjadi pagar di antara kami. Dulu, kami percaya bisa menyeberanginya. Tapi sekarang, aku tahu bahwa ada batas yang tidak bisa kami langgar.
Aku melangkah mundur, membiarkan angin laut menyapu wajahku. “Selamat tinggal, Aksa.”
Dia tidak mencoba menahan. Hanya tersenyum tipis, lalu berbalik pergi.
Aku menatap ombak yang terus datang dan pergi. Aku tahu, seperti air yang selalu menemukan jalannya, aku juga akan menemukan caraku sendiri untuk melanjutkan hidup.
Karena laut tidak hanya memisahkan. Ia juga mengajarkan bagaimana caranya melepaskan.