Cerpen Andi Aulia Qalbi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Laut selalu menjadi bagian dari kehidupan Yusuf. Sejak kecil, ia tumbuh dengan suara ombak yang berdebur, mencium aroma asin yang terbawa angin, dan menyaksikan perahu-perahu nelayan berangkat sebelum fajar untuk mencari nafkah. Ia menyukai bagaimana warna laut berubah seiring waktu, dari biru kehijauan saat pagi hingga keemasan saat senja mulai tenggelam.
Bagi Yusuf dan masyarakat Kepulauan Selayar, laut bukan hanya hamparan air, tetapi juga kehidupan. Laut adalah rumah bagi masyarakat Selayar, terutama para nelayan, sumber makanan, dan warisan yang mereka jaga turun-temurun.
Semuanya berubah sejak wisatawan asing bernama John datang ke Pantai Astrum sepuluh tahun yang lalu. Awalnya, ia hanya seorang turis yang mengagumi keindahan perairan Selayar. Namun, seiring waktu, ia mulai bertingkah seolah-olah laut itu adalah miliknya sendiri.
Hari ini, Yusuf menatap hamparan laut dengan perasaan asing. Laut yang selama ini terasa seperti sahabat kini berubah menjadi tempat yang menimbulkan keresahan bagi masyarakat. Ada sesuatu yang salah.
Laut yang Tak Lagi Bebas
"Abah, kenapa kita tidak boleh memancing dan berenang di sana lagi?" tanya Yusuf, sembari menunjuk perairan Pantai Astrum yang dulu selalu menjadi tempat melepas penat dan tempat para nelayan mencari nafkah.
Pak Arman, abahnya, menghela napas dengan berat. "Karena John, Nak. Pria Jerman itu menganggap pantai ini miliknya."
Yusuf mengernyitkan dahi dalam-dalam. "Tapi bukankah laut ini milik kita semua, Abah? Bukankah ini bagian dari Kepulauan Selayar?"
Pak Arman mengangguk dengan pelan. "Dulu memang seperti itu, Nak," kata Pak Arman. “Namun, semenjak John menetap di sini, segalanya berubah. Hak kita sebagai masyarakat di perairan ini seakan dirampas tanpa alasan yang jelas.” Setiap kali ada nelayan yang melintas, ia akan mendatangi mereka dan menuduh bahwa mereka berniat merusak ekosistem bawah laut dan melakukan pengeboman, lalu mengusir mereka secara paksa dari perairan itu.
Ia mengaku sebagai pegiat lingkungan. Katanya, ia ingin melindungi terumbu karang dari tangan-tangan perusak. Tapi nyatanya, tidak ada bukti bahwa nelayan merusak ekosistem seperti yang ia katakan. Yang terjadi sebenarnya hanyalah mereka yang mencari nafkah dengan cara yang telah dilakukan turun-temurun.
Namun, tak jarang pula ada nelayan yang berani melawan tuduhannya. Mereka menegaskan bahwa laut itu adalah wilayah mereka, tempat mereka mencari nafkah. “Jika kau membatasi akses kami, lalu bagaimana nasib kami?” tanya mereka. Mendengar perlawanan itu, John semakin murka. Ia bahkan pernah mencoba menenggelamkan kapal nelayan yang tetap bertahan di wilayah perairan tersebut. Tak seorang pun diperbolehkan beraktivitas di sana.
Yusuf mengepalkan tangan dengan erat. Ia pernah mendengar cerita dari masyarakat Selayar, terutama para nelayan yang mengalami hal serupa. Laut yang seharusnya menjadi sumber kehidupan kini terasa seperti rantai pengikat. Pemerintah sudah sering menerima laporan masyarakat, tetapi tak ada tindakan nyata. Mengapa mereka memilih bungkam? Apakah mungkin ada sesuatu yang disembunyikan?
Ancaman yang Tak Kasat Mata
Di malam-malam berikutnya, suasana desa semakin mencekam. Beberapa nelayan mengaku pernah menerima ancaman. Kapal-kapal mereka ditemukan dalam kondisi rusak. Ada yang mendengar suara-suara aneh di malam hari, seolah ada orang yang tengah mengintai.
Bahkan Pak Idris, nelayan yang paling lantang menentang John, pernah mengalami kejadian yang membuat bulu kuduk meremang. Suatu malam, ia mendengar langkah kaki di luar rumahnya. Saat ia keluar untuk memeriksa, ia menemukan seekor ikan mati tergantung di depan pintunya—sebuah peringatan bahwa ada pihak yang ingin ia diam.
"Kita harus segera bertindak," ujar Pak Idris saat pertemuan di balai desa. "Kalau kita tidak bertindak dari sekarang, sebentar lagi kita takkan punya tempat untuk melaut."
Namun, perlawanan mereka penuh dengan konsekuensi. Beberapa orang mulai kehilangan keberanian. Mereka takut melawan seseorang yang punya uang dan koneksi.
"Aku dengar John sering bertemu pejabat daerah," bisik seorang nelayan lain. "Dia memiliki pengaruh besar."
"Kalau begitu, kita harus mencari cara agar suara kita didengar lebih luas," jawab Yusuf penuh keyakinan.
Perlawanan Lewat Media
Dengan bantuan beberapa penggiat lingkungan, mereka merekam kesaksian para nelayan dan menceritakan bagaimana kehidupan mereka berubah sejak John menguasai perairan itu. Video-video tersebut diunggah ke media sosial, dengan harapan adanya perhatian dari masyarakat luas.
Ternyata, harapan mereka tak berakhir sia-sia. Beberapa minggu kemudian, video-video tersebut mulai viral. Banyak orang mengecam ketidakadilan yang terjadi. Jurnalis dari kota-kota besar mulai datang untuk meliput.
Namun, John pun tidak tinggal diam. Ia mencoba membela diri. Dalam sebuah wawancara, ia mengatakan bahwa ia hanya ingin melindungi ekosistem laut dan bahwa para nelayan adalah perusak lingkungan.
Namun, masyarakat tidak tinggal diam. Mereka mengumpulkan bukti bahwa nelayan selalu melaut dengan cara tradisional, tanpa merusak terumbu karang atau menggunakan bahan peledak.
Tekanan pun semakin besar. Pemerintah mulai didesak untuk turun tangan.
Aksi di Laut dan Kejatuhan John
Akhirnya, mereka memutuskan untuk melakukan aksi damai. Dengan perahu-perahu kecil, mereka mendekati perairan yang dikuasai John, membawa spanduk yang bertuliskan "Laut adalah hak rakyat!" dan "Jangan rampas sumber kehidupan kami!".
John tentu saja tidak tinggal diam. Dengan wajah merah padam, ia berteriak-teriak, mengancam akan memanggil pihak berwajib. Namun, kali ini masyarakat tidak mundur. Mereka tetap berdiri tegak, mempertahankan hak atas laut yang telah menjadi sumber kehidupan mereka.
Aksi itu akhirnya menarik perhatian media nasional. Beberapa jurnalis datang meliput, dan dalam hitungan hari, kasus ini menjadi viral. Tekanan publik semakin besar, memaksa pemerintah pusat untuk turun tangan.
Tak lama setelahnya, pejabat kementerian kelautan dan aparat hukum turun ke lapangan. Setelah investigasi mendalam, terkuak bahwa status kepemilikan tanah John memang ilegal. Ia hanya menyewa sebidang tanah, tetapi mengklaim seluruh kawasan pantai sebagai miliknya.
Keputusan ditetapkan. John diperintahkan untuk meninggalkan kawasan tersebut. Akses masyarakat ke laut kembali dibuka.
Laut yang Kembali Menjadi Milik Rakyat
Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi warga pesisir. Para nelayan akhirnya bisa kembali melaut tanpa rasa takut. Mereka merayakan kemenangan kecil itu dengan syukur dan harapan.
Yusuf berdiri di tepian pantai, menatap laut yang kembali menjadi milik mereka. Ombak berdebur seperti biasa, tetapi kali ini terasa lebih indah.
Pak Arman menepuk pundaknya. "Kau lihat, Nak? Selama kita bersatu, kita bisa mengubah keadaan."
Yusuf tersenyum. Ia tahu bahwa perjuangan tak berhenti di sini. Masih banyak hal yang harus mereka lakukan untuk menjaga laut mereka, memastikan tak ada lagi pagar-pagar tak kasat mata yang membelenggu hak mereka.
Pagar laut itu akhirnya runtuh, bukan karena kekerasan, melainkan karena suara dan keberanian rakyat. Laut kembali menjadi milik mereka yang menggantungkan hidup padanya.
Laut bukan hanya hamparan air. Ia adalah sumber kehidupan, rumah, dan harapan. Ia menyimpan ribuan rahasia, membawa kesejahteraan bagi mereka yang bergantung padanya. Di tiap gelombangnya, ada nyawa yang berharap, di tiap semilir anginnya, ada doa yang terucap.
Laut adalah warisan, laut adalah hak. Sebab tanpa laut, tak ada kehidupan.