Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Assy | Di Balik Pagar, Laut Mengingat

Cerpen Assy 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di pesisir pantai yang tak lagi tenang, ombak berdebur tanpa irama seolah bingung mencari jalan pulang. Angin membawa aroma asin, tapi terasa lebih pengap dari biasanya. Di teras rumah kayu yang mulai lapuk, Tangerang duduk diam, matanya kosong menatap laut yang laksana semakin menjauh.


“Tiga puluh enam belas,” gumam Tangerang berulang kali, suaranya seperti gema yang terpantul di udara.


“Apa sih, Rang? Ada apa dengan ‘tiga puluh enam belas’?” tanya Banten, kesal.


“Hahaha!” Tangerang tertawa lepas, tapi tawanya hampa. Seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.


“Gila!” teriak Banten, jengah.


“Enggak gila!” suara Tangerang meninggi. “Keserakahannya yang gila! Tiga puluh enam belas kilometer!” 


Tak lama, perbincangan mereka terhenti begitu saja. Pak Kholidun lewat di depan mereka, entah keberapa kalinya. “Eh, Pak, mau ke mana? Dari tadi kok muter-muter?” tanya Banten, penasaran.


“Mau nangkap ikan, tapi jalan biasa dipager, euy.” Pak Kholidun terdengar lelah.


“Hah, dipager? Bercanda, Pak!” 


Pak Kholidun menoleh ke laut. “Enggak, Nak. Dipager beneran. Tiap pagarnya 1,5 meter dari anyaman bambu. Seperti laut ini bukan punya kami lagi.”


Banten terdiam. Tangerang masih menatap kertas di depannya. Seakan ada yang lebih besar dari sekadar pagar bambu. Tidak ada sedikit pun perhatian kepada Pak Kholidun. “Kamu, Rang, parah. Gak nyapa Pak Kholidun.”


Tangerang malah menjawab dengan santai, “Tenang. Kamu gak sadar dari tadi, kertas di depan kita kayak bernapas?”


“Fiks, sih, aku harus balik. Sudi banget punya temen ODGJ,” ujar Banten geleng-geleng kepala.


“Perhatikan baik-baik, dia juga kayaknya punya mulut,” jawab Tangerang dengan serius, meski senyum tak hilang dari wajahnya.


Kertas itu bergerak, melompat seakan hidup, dan mulai berbicara dengan suara serak. “Ubur-ubur ikan lele, hayu ngobrol dong le,” ujarnya, suaranya seperti dua kertas yang digesekkan. 


“Gila! Gila! Sumpah gila!” Banten melompat mundur, nyaris menabrak pintu. “Kamu siapa? Kemasukan setan apa, hah?!”


Sertifikat tertawa, suaranya seperti kertas yang diremas. “Aku ini saksi sah! Aku ini pengesah! Semua ditandatangani, disegel, dan resmi! Aku yang bilang laut bisa dibatasi! Aku yang bilang siapa yang boleh lewat, siapa yang tidak!”


Tangerang menatapnya tajam. “Laut gak bisa dibeli!”


Sertifikat tertawa lebih keras. “Oh, bocah, kalian gak paham. Tiga puluh enam belas kilometer pagar! Bak dari Monas sampai Bandara Soekarno Hatta! Hahaha! Biar nelayan gak bisa seenaknya. Biar ikan tetap di dalam, dan orang-orang besar tetap kaya!”


Banten melongo. “Rang …”


Tangerang menatap sertifikat dengan wajah yang sulit ditebak. Kertas itu masih terkikik, berjoged seperti menikmati kekuasaannya.


Ombak yang tadinya hanya berbisik kini terdengar seperti erangan panjang. Di kejauhan, suara dentingan besi beradu samar-samar.


Krekk … Krekk …


Tangerang dan Banten menoleh ke arah laut. Samar-samar, di batas pagar yang membentang di tengah samudra, sebuah bayangan muncul.


“Rang … lihat itu …” suara Banten pelan, seperti tercekat.


Di tengah kabut tipis yang turun, seorang pria tua berdiri di perahu kecilnya, menatap mereka dengan mata kosong. Wajahnya dipenuhi garis-garis kelelahan, tangannya kasar seperti kulit kayu yang telah lama terpanggang di bawah matahari.


Namun ada yang aneh.


Pria itu tidak benar-benar di atas air. Ia seolah melayang, atau lebih tepatnya, separuh tubuhnya menyatu dengan laut. Seperti terperangkap di antara dunia manusia dan samudra. “Kalian … masih bisa mendengarku?” suara pria itu serak, seakan berbicara dari dalam air.


Banten mundur selangkah, bulu kuduknya meremang. “Siapa … siapa kamu?”


Pria itu tidak langsung menjawab. Tangannya mengangkat sesuatu—seutas jaring koyak, berlubang di sana-sini, basah oleh air garam. Setetes air menetes dari jaring itu, jatuh ke permukaan laut … lalu menghilang, seolah tersedot oleh sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar air. “Inilah yang tersisa dariku … setelah lautku dipenjara.”


Angin semakin menggigit kulit.


Tangerang mengerjap, lalu bergumam, “Pak … Pak Kholidun?”


Pria itu tersenyum tipis. “Dulu, iya. Tapi setelah pagar itu datang … aku hanya tinggal separuh.”


Sertifikat mulai bergeser gelisah. “Aduh, duh! Udah-udah, jangan drama! Yang penting kan sekarang aturan udah sah, laut udah punya batas! Enak, kan? Rapi, tertib!”


Pak Kholidun menatap sertifikat tajam, lalu kembali ke Tangerang dan Banten. “Dengar baik-baik. Pagar itu bukan sekadar kayu. Ia mengikat laut … dan semua yang ada di dalamnya. Jika dibiarkan, kalian juga akan menjadi seperti aku.” 


Banten menelan ludah “Maksudnya …”


Pak Kholidun tidak menjawab. Perahu kecilnya mulai menghilang, perlahan-lahan larut dalam ombak. Tetapi sebelum benar-benar lenyap, suara berbisik di udara, lebih dingin dari angin laut yang mengelilingi mereka.


“Laut selalu menyimpan apa yang hilang. Kalian hanya perlu menemukan cara membukanya kembali …”


Dan dalam sekejap, ia benar-benar lenyap.


Sertifikat masih tergelak, suaranya menggema seakan bercampur dengan suara ombak yang menghantam pagar bambu di tengah laut. Namun, Tangerang tetap diam. Matanya menatap laut yang semakin jauh dari jangkauan, seperti ada yang menelannya perlahan.


Banten mulai menelan ludah, masih belum bisa mencerna apa yang baru saja terjadi. “Rang, kita barusan ngomong sama hantu?”


Tangerang tak menjawab. Ia justru meraih sertifikat yang masih melayang di udara, meraih ujungnya dengan tangan yang gemetar. “Kamu bilang laut ini punya batas?” suaranya dingin.


Sertifikat tertawa kecil. “Iya, dong! Hitam di atas putih! Sudah ada tanda tangan dan segel resmi! Gimana? Mau aku bacain isinya?”


Sebelum Tangerang menjawab, tiba-tiba angin kencang berembus. Ombak naik lebih tinggi, seakan laut sedang berontak.


Blar!


Air laut meledak ke udara. Dari dalamnya, muncul tangan-tangan yang terbuat dari jaring ikan yang koyak, memanjang seperti tentakel gurita. Mereka bergerak liar, meraih udara, seakan mencari sesuatu.


Salah satu tangan itu meluncur cepat—mengarah pada Sertifikat!


Cras!


Sertifikat menjerit. “Tidak! Aku resmi! Aku sah!” Tapi tangan laut itu menggulungnya, menariknya ke dalam air yang gelap.


Banten membeku, sementara Tangerang hanya bisa menyaksikan bagaimana kertas itu menghilang di kedalaman laut, di telan oleh apa pun yang bersembunyi di bawah sana.


Kemudian, suasana menjadi hening. Angin berhenti. Ombak kembali tenang, seolah tak pernah terjadi apa-apa. Tapi ada satu perbedaan. Pagar bambu di tengah laut … ia mulai retak. Tangerang menatapnya, lalu berbisik, “Jadi, laut menyimpan apa yang hilang, ya?”


Banten menghela napas berat. “Rang … ini baru permulaan, kan?”


Tangerang menatap lautan yang kini terasa lebih hidup. “Iya, Ten. Dan kita harus menemukan apa yang laut ingin tunjukkan.”


Tiba-tiba begitu banyak dokumen-dokumen asing yang mengguncang mereka. Nama Pak Kholidun ada di sana—tapi bukan sebagai pelaku utama. Ia hanyalah saksi yang dipaksa diam. Tangerang menggenggam kertas itu erat. “Mereka harus tahu ini.”


Sebelum Tangerang dan Banten sempat bergerak …


Krekkk! Pagar bambu runtuh satu per satu, dan ombak menggulung tinggi. Angin berdesir kencang, disertai suara rintihan. Siluet-siluet hitam muncul, wajah-wajah kosong, mereka bergerak perlahan, naik ke permukaan.


Nelayan-nelayan yang hilang. 


Banten mundur, terkejut. “Mereka kembali?”


Salah satu sosok melangkah mendekat, wajahnya penuh luka, kulit kebiruan, tapi matanya masih mengandung sedikit kehangatan. “Terima kasih sudah menemukannya,” katanya. Lalu mereka larut kembali, melebur dalam samudra yang menelan mereka sejak lama.


Sejenak, semuanya terasa tenang. Seolah badai telah berakhir.


Namun saat Tangerang menatap dokumen di tangannya, matanya menangkap sesuatu yang sebelumnya terlewat. “Tapi ingatlah, Tangerang. Yang menemukan ini juga akan menjadi bagian dari laut.”


Tangerang tersentak. “Apa maksudnya?”


Tiba-tiba Tangerang merasakan tangan kirinya basah, bukan keringat, tapi air asin merembes pelahan. “Rang, tanganmu … !” teriak Banten panik.


Angin berbisik di telinga Tangerang, “Kamu menemukannya, sekarang kamu jadi bagian dari kami.”


Tubuh Tangerang perlahan mulai berubah. Tangannya menjadi transparan, seperti air. Kakinya terasa berat, seolah ditarik oleh gravitasi laut. Suara ombak semakin mendekat, seakan memanggilnya pulang.


Banten berteriak, mencoba menariknya, tapi Tangerang hanya tersenyum. “Laut menyimpan apa yang hilang kan?”


Dan dalam sekejap, ia menghilang ke dalam ombak. Banten terduduk di pasir, tubuhnya gemetar.


Tangerang hilang, menjadi bagian dari laut. Saat Banten memeriksa dokumen itu lagi, ia menemukan catatan tangan lain, lebih tegas, lebih familiar. “Laut sudah mengikatku. Jika kamu membaca ini, aku telah menjadi bagian dari ombak.”


“Bungkam, atau sebentar lagi giliranmu.”


Nama di bawahnya membuat Banten terkejut—Tangerang.


Jari-jari Banten mencengkeram kertas itu lebih erat. Dingin. Basah. Seperti baru saja dicelupkan ke dalam laut. Napasnya tercekat.


Bagaimana mungkin Tangerang menulis pesan ini, jika ia baru saja menghilang? Seketika gelombang pasang menghempas pantai. Di kejauhan, batas laut tampak berubah. Tidak ada pagar bambu lagi. Tidak ada sekat. Hanya air luas yang menggulung tanpa batas.


Laut tetap berdebur pelan, seakan tersenyum dalam diam. Dan jauh di dalamnya, bayangan seseorang berdiri di antara ombak. Menunggu. Banten merasa napasnya tertahan.


“Bungkam, atau sebentar lagi giliranmu.”


Laut tidak pernah lupa.