Cerpen Budianto Sutrisno
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Fajar masih merona remang ketika Pak Supri mengikatkan tali perahunya ke sebatang bambu yang tertancap di tengah gelombang laut. Batang bambu itu hanyalah salah satu dari jutaan tiang yang membentang seperti rimba belantara tanpa daun di sepanjang kawasan pesisir. Pagar-pagar tersebut berdampingan dengan tiang-tiang beton yang tegak mencacak, yang ditancapkan oleh PT Nusa Bahari Persada sejak tiga bulan terakhir. Suara gelombang dan desau angin berpadu dengan suara alat-alat berat yang bekerja siang malam. Tak terdengar lagi suara camar yang semula riang berdendang di angkasa.
”Coba lihat, Rid,” ujar Pak Supri kepada Ridwan, anak bungsunya yang berusia sepuluh tahun. ”Dulu, waktu ayah seumur kamu, laut ini bersih sekali. Tapi sekarang? Seperti sawah yang dipagari bambu dan tiang beton. Ayah khawaitr, ikan-ikan tak akan bisa bertahan hidup di lingkungan seperti ini.”
Batang-batang bambu itu membentang di sepanjang pesisir. Deretan pagar panjang itu membelah laut menjadi petak-petak labirin yang harus ditelusuri oleh setiap nelayan yang hendak mencari ikan.
Ridwan melemparkan pandangannya jauh ke depan. Di bawah rona cahaya fajar yang mulai merekah, ribuan, bahkan jutaan batang bambu itu membentuk bayangan panjang di permukaan air laut. Ada yang tegak, ada yang miring, ada pula yang patah diterjang gelombang. Keadaannya seperti gigi yang berantakan yang mencuat dari mulut raksasa laut.
”Kenapa mereka memasang bambu-bambu ini, Yah?” tanya Ridwan sembari membantu ayahnya menurunkan jala.
”Katanya sih, untuk membangun sebuah pulau baru yang modern,” jawab Pak Supri dengan mengernyitkan dahi. ”PT Nusa Bahari Persada perlu membuat pagar bambu sebagai batas wilayah yang harus diuruk.”
”Tapi pagar panjang ini membuat kita harus menempuh jalan yang lebih jauh untuk menjala ikan, Yah!” Hamdani berkomentar dengan nada heran.
”Benar Rid, dulu kita hanya butuh watu setengah jam untuk menuju tempat mencari ikan. Tapi sekarang, kita butuh waktu hampir dua jam, karena harus menghindari pagar bambu penghalang. Perlu bahan bakar dua kali lipat, sementara hasil tangkapan terus merosot. Pagar bambu ini telah mengusik habitat kawanan ikan.”
”Tapi apakah penduduk semuanya setuju?” Mimik Hamdani menunjukkan rasa ingin tahu yang besar.
”Pak Lurah bilang bahwa ini semua untuk kemajuan kampung kita,” lanjut Pak Supri. ”Katanya bakal dibangun mal, hotel bertingkat, dan tempat wisata yang dapat menyerap banyak tenaga kerja. Dengan demikian, dapat ikut mencegah terjadinya pengangguran. Kalau Pak Lurah sudah bilang begitu, mana ada penduduk yang berani bilang tidak setuju?”
”Tapi ini berarti kita tidak bisa lagi bebas melaut dan memperoleh hasil yang baik, Yah?
Boros bahan bakar lagi.”
Pak Supri tersenyum getir. Ternyata anaknya yang masih sangat belia telah memahami inti persoalan yang faktanya tak mampu dipahami oleh para pejabat tinggi. Atau sebetulnya mereka paham, tapi kalah dengan iming-iming komisi? Entahlah.
Sementara itu, di sisi sana, suara dentuman mesin pemasang tiang pancang membahana, menggetarkan permukaan air sampai ke tepian. Proyek reklamasi giat dilaksanakan. Setahap demi setahap, tiang-tiang beton menggantikan pagar bambu yang lebih dulu ditancapkan.
”Kenapa harus diganti dengan beton, Yah?” tanya Ridwan sembari membantu ayahnya menurunkan jala.
”Ada yang bilang, bambu itu tidak cukup kuat untuk menahan urukan tanah dan pasir yang didatangkan dari Bangka dan Belitung,” jawab Pak Supri dengan mata menerawang jauh ke depan. ”Tapi kau tahu? Ada batang-batang bambu yang sudah ada sejak zaman kakekmu masih muda. Para nelayan memasangnya sebagai tanda wilayah penangkapan masing-masing kampung, sehingga mereka tidak serakah dan saling berebut rezeki.”
Namun, ada bagian cerita Pak Supri yang tidak dijelaskan kepada anak tercintanya. Bagian itu adalah perihal bagaimana dia melihat sendiri uang dalam amplop cokelat berpindah tangan di kantor Pak Lurah. Bagaimana tiba-tiba muncul sertifikat tanah di atas laut atas nama pengembang, padahal itu adalah milik bersama sejak dulu. Bagaimana para pemuka agama mendadak getol berceramah tentang pentingnya pembangunan ekonomi di kawasan pesisir. Bagaimana pejabat berdasi menjelaskan bahwa kawasan pesisir ini akan berkembang pesat menggantikan peran Singapura lewat reklamasi. Bagaimana proyek reklamasi ini telah membuka lebar lapangan kerja. Juga tentang petuah seorang petinggi ormas yang bilang dengan lantang bahwa membiarkan tanah yang telantar itu adalah dosa. Pak Supri khawatir, jangan-jangan di kemudian hari bakal ada tokoh yang katakan bahwa membiarkan sungai, danau, gunung, dan langit telantar itu dosa tak terampunkan.
Impitan masalah ekonomi dan kesempatan memperoleh pekerjaan baru yang lebih menjanjikan sudah tersedia di depan mata. Itulah yang menyebabkan Hamdani, anak sulungnya, sudah sebulan ini bekerja di proyek raksasa reklamasi. Proyek yang menggiurkan.
”Gajinya lumayan, Yah,” jelas Hamdani., ”lima juta rupiah bersih sebulan; hasil yang lebih pasti daripada melaut.”
Pak Supri tidak bisa membantah apa pun terhadap kemauan anaknya. Dia paham bahwa Hamdani butuh penghasilan yang pasti. Apalagi anak sulungnya ini sudah punya anak kecil, butuh asupan makanan bergizi dan susu. Namun demikian, tetap saja ada rasa perih di hatinya setiap kali melihat anaknya memanjat tiang-tiang beton tanpa alat pengaman. Pekerjaan Hamdani telah menghapus sejarah pekerjaan yang sudah dijalani oleh keluarganya secara turun-temurun. Profesi nelayan mendadak digantikan dengan buruh bangunan.
”Yah,” Ridwan tiba-tiba angkat bicara sembari menunjukkan jarinya ke arah kanan, ”lihat bambu yang di sana itu!”
Pandangan Pak Supri mengikuti arah telunjuk anaknya. Di antara bambu-bambu yang tegak itu terdapat sebatang bambu yang berbeda. Terlihat lebih tua dan hitam warnanya, dibubuhi dengan ukiran di permukaannya.
Didorong oleh rasa penasaran, mereka mendekatkan perahunya ke bambu hitam tersebut. Pak Supri mengamati lekat-lekat ukiran pada bambu tersebut. Ukiran tersebut berupa deretan huruf Arab dengan penanda waktu hampir dua ratus tahun silam.
”Ini …,” ujar Pak Sukri dengan suara tercekat, ”ini adalah tanda makam keramat.”
Setelah menghela napas, Pak Supri melanjutkan bicaranya. ”Menurut cerita orang tua dulu, di tengah laut ini terdapat makam seorang ulama besar yang tenggelam bersama perahunya ketika menyebarkan ajaran agama. Penduduk menandai makamnya dengan bambu hitam yang berukir ayat-ayat suci. Konon, barangsiapa berani mengganggu kawasan makam, bakal mendapat musibah besar.
Namun sebelum Pak Supri memberikan penjelasan lebih jauh, terdengar suara suara berdebam keras yang memecah pagi. Dari arah proyek reklamasi, tampak orang-orang berlarian serabutan. Sebuah tiang beton baru saja rubuh menimpa seseorang.
Pak Sukri mendekatkan perahunya ke arah proyek. Dia melihat sesosok tubuh di bawah tiang yang ambruk ….
”Hamdani!” jerit Pak Supri disertai linangan air mata.
Pak Supri sempoyongan, dunia seolah berhenti berputar. Tubuh Hamdani ditemukan tewas terjepit di bawah tiang beton.
Berita kematian Hamdani dan penemuan bambu keramat segera tersebar luas dengan cepat dari mulut ke mulut. Para tetua adat dan pemuka agama berkumpul untuk berunding. Proyek reklamasi diputuskan untuk dihentikan. Tidak ada satu pekerja pun yang berani mengusik kawasan keramat setelah terjadi peristiwa yang mengerikan itu.
PT Nusa Bahari Persada mencoba melakukan negosiasi dengan menawarkan sejumlah uang dalam jumlah besar untuk setiap kepala keluarga. Akan tetapi, kali ini tidak ada seorang penduduk pun yang berani menerima ’upeti’ tersebut. Mereka percaya, menerima uang negosiasi berarti harus juga menanggung risiko musibah berikutnya.
Satu per satu, tiang-tiang bambu lalu dicabut. Laut kembali terbuka untuk menyambut suasana baru yang terasa lega.
***
Beberapa minggu kemudian ….
”Mungkin ini memang sudah suratan takdir, Rid,” ujar Pak Supri setengah berbisik kepada Ridwan di dalam perahu.
Mereka telah melaut kembali. Kali ini mereka tidak perlu lagi menempuh jalan memutar untuk menghindari pagar bambu. Bahan bakar juga bisa dihemat.
”Dulu, nenek moyang kita telah meninggalkan tanda peringatan; tinggal kita yang harus jeli membaca dan mematuhinya,” imbuh Pak Supri tenang.
Ridwan menganggukkan kepalanya sembari menatap ke laut di depannya.
Tampak bambu hitam itu masih berdiri tegak mencacak, menjadi saksi bagaimana takdir mengukir jejaknya di tengah gelombang air asin.
”Nah, sekarang kita bisa melaut lagi dengan bebas, ya Yah?” seru Ridwan dengan nada optimistis dan wajah ceria.
”Ya, Rid. Semoga peristiwa yang kita alami ini dapat kau ceritakan kepada anak cucumu kelak sebagai bahan pelajaran yang sangat berharga. Cerita tentang laut yang pernah dipagari, tetapi diselamatkan oleh sebatang bambu tua yang menyimpan jejak takdir.”
Sore itu mereka berdua pulang dengan hasil tangkapan yang jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Langit tampak cerah merona jingga. Ombak berdebur berkilauan, seolah menari untuk merayakan hari kebebasan dari kurungan pagar.
Di tengah laut sana, bambu hitam berukir itu masih berdiri tegak—menjadi penjaga sunyi yang teguh menyimpan rahasia masa lalu dan harapan akan masa depan yang gemilang.
Di dekat bambu hitam itu tampak berdiri sebuah monumen pengingat bahwa laut tak bisa dipagar dan tak bisa dimiliki secara pribadi. Laut adalah milik warga bersama.
Sebelum pulang melaut, di depan monumen itu Pak Supri meletakkan sebuah karangan bunga berbentuk hati dengan sebuah tulisan indah: Untuk Hamdani, yang tubuhnya menjadi bagian dari laut yang dia cintai.