Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Dwi Setiyawan | Pagar Laut

Cerpen Dwi Setiyawan



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Pagar Laut……


Ombak menggulung ganas, menerjang pantai dengan amarah yang tak tertahankan. Angin laut berdesir kencang, membawa serta pasir yang menusuk kulit. Langit kelabu menaungi Desa Kohod, banyak para nelayan-nelayan sekecil yang sedang berjuang mempertahankan hidup dari hasil laut. Di tepi pantai, berdiri kokoh sebuah pagar laut, hasil kerja keras warga desa selama bertahun-tahun. Pagar laut itu bukan sekadar tumpukan batu dan beton. Ia adalah simbol harapan, perlindungan, dan persatuan. Setiap batu yang terpasang, setiap tetes keringat yang jatuh, adalah bukti cinta warga desa pada tanah kelahiran mereka. Mereka menyebutnya "Pagar Harapan", sebuah benteng melawan abrasi yang mengancam menelan desa mereka.


Di balik pagar laut itu, hidup seorang nelayan tua bernama Pak Kholid, tubuhnya renta, kulitnya keriput, namun semangatnya tak pernah padam. Ia adalah salah satu penggagas pembangunan pagar laut, saksi bisu perjuangan melawan alam. Matanya yang sayu selalu menatap laut, mencari tanda-tanda perubahan, membaca bahasa ombak.


"Laut itu seperti ibu," kata Pak Kholid suatu hari, pada seorang pemuda bernama Andi yang datang dari kota. "Kadang ia lembut, memberi kita rezeki. Kadang ia marah, menguji kekuatan kita." 


Andi, seorang arsitek muda yang kembali ke desa setelah lama merantau, terkesima dengan kata-kata Pak Kholid. Ia melihat ketegaran di mata nelayan tua itu, ketegaran yang lahir dari pengalaman hidup yang keras. Ia melihat pula kerapuhan desa, ancaman abrasi yang semakin nyata.


"Pagar laut ini tidak akan bertahan lama, Pak," kata Andi, setelah mengamati kondisi pagar yang mulai retak di beberapa bagian. "Kita butuh solusi yang lebih kuat, lebih berkelanjutan."


Pak Kholid mengangguk. "Kami tahu itu, Nak Andi. Tapi kami tidak punya pilihan lain. Kami hanya punya ini, hasil kerja keras kami."


Andi terdiam. Ia tahu, warga desa telah melakukan yang terbaik dengan sumber daya yang terbatas. Ia tahu, mereka membutuhkan bantuan, tidak hanya dari pemerintah, tapi juga dari orang-orang seperti dirinya, yang memiliki pengetahuan dan keterampilan. 


Malam itu, Andi tidak bisa tidur, pikirannya dipenuhi dengan gambar-gambar pagar laut, ombak yang menerjang, dan wajah-wajah penuh harap warga desa. Ia teringat akan masa kecilnya, bermain di pantai, menangkap ikan bersama teman-teman. Ia teringat akan janji yang pernah ia buat, untuk kembali dan membangun desa. 


Keesokan harinya, Andi menemui kepala desa, Pak Arsin. Ia menawarkan diri untuk membantu merancang solusi jangka panjang untuk masalah abrasi. Ia mengajukan ide untuk membangun breakwater, pemecah gelombang yang lebih kuat dan efektif.


"Tapi itu butuh biaya besar, Nak Andi," kata Pak Arsin, ragu. "Dari mana kita dapat uang sebanyak itu?"


"Kita akan cari bersama-sama, Pak," jawab Andi, mantap. "Kita akan ajukan proposal ke pemerintah, kita akan cari dukungan dari donatur. Yang penting, kita punya rencana yang jelas, rencana yang bisa kita perjuangkan."


Andi pun mulai bekerja. Ia membuat sketsa, menghitung anggaran, dan menyusun proposal. Ia mengajak warga desa untuk berdiskusi, mendengarkan masukan dan ide-ide mereka. Ia ingin semua orang merasa memiliki, merasa terlibat dalam proses ini. Perlahan tapi pasti, harapan mulai tumbuh di Desa Kohod, warga desa kembali bersemangat, bekerja bahu membahu, menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan. Mereka percaya, dengan persatuan dan kerja keras, mereka bisa menghadapi tantangan apa pun. 


Suatu hari, berita baik datang. Proposal mereka diterima. Pemerintah pusat setuju untuk mendanai pembangunan breakwater. Warga Desa Kohod bersorak gembira. Mereka merayakan kemenangan ini dengan syukuran di tepi pantai, di depan Pagar Harapan. Pembangunan breakwater pun dimulai. Andi memimpin proyek ini, dibantu oleh para ahli dan warga desa. Mereka bekerja siang dan malam, mengejar target, mengatasi kendala. Di tengah pembangunan, badai besar datang. Ombak mengamuk, menerjang pantai dengan dahsyat. Pagar Harapan yang sudah rapuh tidak mampu menahan terjangan ombak. Air laut meluap, membanjiri sebagian desa. Warga desa panik, ketakutan, mereka berlarian mencari tempat yang lebih tinggi, membawa serta barang-barang berharga. Pak Kholid yang sudah terlalu lemah untuk berlari, terjebak di rumahnya yang mulai terendam air. Andi dan beberapa orang warga desa bergegas menyelamatkan Pak Kholid. Mereka menerjang ombak, menembus derasnya hujan. Mereka berhasil membawa Pak Kholid ke tempat yang aman, namun rumahnya hancur diterjang ombak.


Badai berlalu, meninggalkan kerusakan yang parah. Namun, semangat warga Desa Kohod tidak luntur. Mereka bangkit kembali, membersihkan puing-puing, memperbaiki kerusakan. Mereka tahu, ini adalah ujian, bagian dari perjuangan mereka.


Pembangunan breakwater dilanjutkan. Dengan semangat yang berlipat ganda, mereka bekerja lebih keras, lebih cepat. Mereka ingin segera menyelesaikan proyek ini, agar desa mereka terlindungi dari amukan laut. Akhirnya, breakwater selesai dibangun. Ia berdiri kokoh di tengah laut, memecah gelombang, melindungi pantai. Warga Desa Kohod bersorak gembira. Mereka merayakan kemenangan ini dengan pesta rakyat, pesta syukur. Pak Kholid, yang sudah pulih dari sakitnya, berdiri di tepi pantai, menatap breakwater dengan mata berkaca-kaca. Ia melihat Pagar Harapan yang hancur, namun ia juga melihat harapan baru, benteng baru yang lebih kuat.


"Ini bukan akhir dari perjuangan kita," kata Pak Kholid, dengan suara serak. "Ini adalah awal dari kehidupan baru kita. Kita telah belajar, bahwa dengan persatuan dan kerja keras, kita bisa menghadapi tantangan apa pun. Laut mungkin marah, tapi kita lebih kuat."


Andi berdiri di samping Pak Kholid, tersenyum. Ia pak…Alhamdulillah


Perjalanan mereka masih panjang, tapi ia yakin, Desa Kohod akan terus berjuang, terus membangun, terus berharap. Pagar laut mereka, baik yang lama maupun yang baru, adalah simbol dari semangat itu, semangat yang tidak akan pernah padam.