Cerpen Endang Wardani
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tersebutlah di suatu perkampungan antah berantah yang tak terjamah tangan-tangan kotor. Kampung dengan minat membaca nol persen dan bermata pencaharian di laut sejak nenek moyang dahulu kala. Tempat bernama Kampung Gundulmu, berupa daratan sempit di tepi laut yang tenang. Ikan dan sampahnya banyak. Kepolosan para warga terhadap edukasi dan literasi telah melahirkan sifat masyarakat yang sangat terbelakang . Hal inilah yang sangat menjadi daya tarik para ‘Boss Pelonco’ untuk menjejakkan kaki baunya di tanah perkampungan tersebut.
Akhir-akhir ini para nelayan di Kampung Gundulmu mengeluhkan cuaca lautan yang tak menentu. Kadang cerah kadang hujan kadang hanya mendung bahkan bisa badai tiba-tiba. Sangat labil seperti perasaan remaja yang berubah-ubah dengan drastis. Hal ini memengaruhi kinerja mereka untuk mencari ikan di tengah laut sehingga pasokan ikan di daratan pun berkurang. Meski begitu, penduduk yakin cuaca tidak bersaudara ini akan segera berlalu.
Malam itu Bapak-bapak pengangguran sibuk main catur yang tiada ujung kelarnya. Sementara Ibu-ibunya nampak bercengkrama di teras-teras rumah ditemani teh dan kerupuk lembek. Di ujung persimpangan kampung, seorang lelaki berperut buncit dan berkemeja kotak-kotak mirip serbet warteg, sedang menatap sekeliling dengan senyum menyeringai ala Siluman Serigala. Dia KaDes Gundulmu.
Dengan memakai jasa hansip berseragam hijau kacang bubur maka segeralah ia mengumpulkan para warga untuk mengadakan rembugan penting di sebuah Pos Kamling reot. Penduduk kampung yang keheranan pun berduyun-duyun bak anak bebek mendatangi Sang Pemimpin dengan hormat.
“Gawat para warga! Nyai Roro Kidul sedang mengamuk di Lautan Utara!” ucap Pak KaDes dengan heboh yang membuat warga sontak membelalak dan menganga bersamaan.
“Apa?! Yang benar Pak KaDes?” tanya mereka dengan naifnya.
“Isss … benar ! Kalian tau ‘kan cuaca sekarang tidak menentu? Karena penasaran, maka saya suruh Mbah Muh menerawang apa yang sebenarnya terjadi …,” terang beliau dengan semangat.
“Terus … terus Pak?” potong para warga dengan mimik gemetar ketakutan.
“Terus saya dapati Nyai Roro Kidul adalah dalang dibalik cuaca buruk itu.” Mbah Muh yang dimaksud Pak KaDes tau-tau muncul di keramaian secara ajaib bak jin keluar dari botol.
“Beliau bilang bahwa akan mengirimkan bala sebulan kemudian dikarenakan Nyai Roro Kidul marah … sebab para nelayan enggan memberi sesajen lagi kepadanya,” imbuh kakek tua berjanggut lebat bak sapu ijuk itu penuh keyakinan.
“Haaaa!” Penduduk kampung terperangah dan semakin ketakutan. Mereka khawatir akan keselamatan dan mata pencaharian mereka jika benar Si Ratu Pantai itu benar mengirimkan bencana.
“Maaf Pak KaDes, bukannya Nyai Roro Kidul itu Ratu Laut Selatan ya? Lah kita ‘kan di pesisir Laut Utara, kok Nyai Kidul malah pindah kesini?” tanya seorang warga yang otaknya agak encer dibanding yang lain di kerumunan itu.
“Eh jangan salah, Nyai Roro Kidul ‘kan jin bisa pindah-pindah tempat tinggal masa cuma menguasai Laut kidul saja tapi juga menguasai utara, timur dan barat.” jawab KaDes bergigi runcing itu dengan kesal. Ia paling jengkel jika ada orang ‘rada pintar’ yang mengganggu hasutannya.
“Lalu gimana dong Pak KaDes biar bala itu gak datang?”
“Gampang! Kita harus lawan Nyai Roro Kidul dengan membuat pagar laut!” pungkas beliau dengan lantang.
“Haa! Pagar laut?” Kali ini tingkat menganga para warga makin lebar. Bagi mereka, bahasa Pak KaDes berkemeja kotak-kotak itu terlalu tinggi buat dicerna kepala.
“Yah pagar laut dengan memakai bambu kuning yang dipercaya mampu menghalau kekuatan makhluk astral untuk menghancurkan wilayah kita.” ujar dukun berpakaian serba putih itu lagi dengan nada sangat meyakinkan.
“Maka dari itu saya memohon kepada seluruh warga kampung untuk membantu saya membuat pagar laut dari bambu kuning agar Nyai Roro Kidul tidak mampu mendatangi kampung kita. Bagaimana para warga, setuju?!” serunya lagi dengan sangat berapi-api.
Tanpa pikir panjang kali lebar para penduduk polos tersebut segera bersorak ‘setuju’ atas ajakan pemimpin gendut tersebut. Mereka cemas jika memang benar kampung dalam bahaya disebabkan kemalasan mereka mengirim sesajen pada penguasa laut selatan itu. Wajar saja mereka malas, kehidupan miskin para orang-orangnya yang tentu lebih memilih memasak nasi untuk perut sendiri daripada harus dilarung ke laut jadi santapan ikan.
Mulailah keesokan harinya mereka bergotong royong satu sama lain mengumpulkan ratusan batang bambu kuning yang ditebang dari hutan pinggir sungai. Dibersihkan dan diruncingkan ujungnya dengan parang. Atas arahan Pak KaDes pun, para warga diminta menanam bambu itu di areal laut yang jaraknya lima ratus meter dari bibir pantai. Dengan menaiki perahu dan kapal speedboat ditancapkanlah satu persatu bambu itu ke tanah di laut tersebut. Setelah ditancapkan secara berjejer berdekatan, bambu-bambu itu pun dipalu dengan keras agar kuat menusuk tanah sehingga tidak mudah terlepas digerus ombak lautan. Pekerjaan membuat benteng laut tersebut dikerjakan setiap hari oleh para warga dengan sukarela tanpa uang kopi sehingga total panjang pagar yang mereka buat itu berkisar puluhan kilometer jauhnya. Membentang jauh mengitari areal laut milik kampung Gundulmu.
Dari kejauhan di tepi pantai, sambil memakan gorengan berminyak dan kopi hitam manisnya Si KaDes dan Mbah Dukun asik bersantai di balai-balai. Mereka tertawa menyaksikan kekompakan para anak buahnya membangun benteng laut ‘ghoib’ meski rela berbasah-basahan sampai menggigil dan demam.
“Sudah transfer toh, Pak KaDes?” tanya Mbah Muh menyedot tembakau miliknya.
“Sudah! Boss Tao Ming Tse telah menepati janji buat bagi-bagi transferan ke kita. Tinggal nanti kita buat proyek baru pembuatan resort dan pelabuhan kapal di areal pagar laut. Kita pekerjakan penduduk biar gak pada ngamuk.” terang Si KaDes mengunyah gorengannya dengan sambal pedas.
“Saat pagar laut ini rampung, penduduk yang jadi nelayan harus kemana Pak KaDes? Tidak ada celah bagi mereka untuk ke daerah tengah lautan.”
“Peduli apa kita, Mbah? Penduduk kita yang malas sekolah itu harus diubah pola pikir tradisionalnya. Mana kaya kalau jadi nelayan terus? Nanti kita akan buat program propaganda pembangunan wisata resort dan pelabuhan mewah disini. Kita tarik turis asing. Warga kita ajari bahasa Inggris sama Mandarin biar nanti kampung Gundulmu bisa jadi desa wisata yang maju.” tutur pria gemuk itu dengan pikiran berangan-angan.
“Wah! Pak KaDes benar-benar pemimpin yang cerdas dan maju! Kampung Gundulmu beruntung memilili Bapak. Kita akan majukan kampung tertinggal kita menjadi kampung yang berdaya saing tinggi,” puji Mbah Muh tertawa sumringah sambil menepuk-nepuk pundak Pak KaDes.
Sebulan telah berlalu. Pembangunan pagar laut yang dibuat warga Kampung Gundulmu pun telah usai. Penduduk sangat senang karena kini mereka bisa hidup tenang tanpa dibayang-bayangi ketakutan pada penguasa Pantai Selatan. Benteng ghoib mereka telah terbentuk sangat panjang di pesisir. Bahkan kini lautan tak nampak lagi di depan sana. Berganti pemandangan pagar bambu kuning yang sangat rapat dan tinggi.
Tidak terlihat lagi matahari terbit dan terbenam. Tidak terlihat lagi kapal-kapal yang hilir mudik mengangkut penumpang dan sembako. Tak nampak lagi ikan-ikan yang biasa berlompatan di air. Benar-benar kampung gundulmu seolah terpenjara dari dunia luar sejak adanya pagar laut itu. Dan para warga pun perlahan baru menyadarinya saat mereka memulai aktifitas kembali untuk melaut.
Kapal nelayan tak kuasa berlayar karena tak menemukan jalur celah untuk ke tengah laut. Ikan-ikan yang biasanya banyak di sekitar laut dangkal kini mendadak hilang. Perahu-perahu motor dari daerah lain yang mengangkut bahan pokok pun tak kuasa merapat sehingga mau tak mau mereka membuang barang-barang tersebut ke air agar para warga mampu mengambilnya. Pernah satu kali mereka meminta pada Pak KaDes agar memberi ijin mencabut pagar laut itu namun Pak KaDes marah karena itu adalah pagar ghoib, tidak boleh dicabut sama sekali.
Beberapa waktu kemudian, para warga dikejutkan dengan kedatangan proyek dari seorang Boss bermata kecil. Mereka membawa banyak alat-alat berat seperti eskavator, buldoser, mesin pengaduk semen sampai puluhan karyawan berhelm seragam dan memikul sekop, cangkul dan linggis di pundak.
“Kalian siapa? Kenapa tiba-tiba mau membuat proyek di kampung kami?” tanya warga yang otaknya ‘rada encer’.
“Loh, lu olang tak dikasih tau sama Pak KaDes hah? Kami dari Tao Ming Tse Group akan membangun resort mewah dan pelabuhan kapal pesial disini.” sahut Boss nya yang sendirian memakai kemeja jas hitam.
“Apa?!” Lagi-lagi para warga terbelalak mendengarnya.
“Bagaimana bisa? Kami tidak pernah diberi tahu.”
“Laaah … itu ada pagal laut apa? Itu pagal laut pelmintaan dali kami sebagai dasal dan penanda aleal ployek kami.” Boss bermata kecil itu lalu segera berlalu dan mengarahkan anak buahnya untuk memulai proyek pembangunan saat itu juga.
Seluruh warga Kampung Gundulmu hanya mampu terdiam dan termenung melihat orang-orang intelek itu bekerja. Boss bermata kecil menunjukkan surat-surat tanda persetujuan pembangunan pada para warga namun tak satupun dari mereka memahami makna tulisan komputer diatas kertas putih berstempel tersebut. Mereka saling menganga berpandangan satu sama lain.
Pak KaDes datang dengan rombongan berpakaian rapih. Menyalami Sang Boss bermata kecil dan mengajak mengobrol. Para warga kampung diabaikan oleh beliau hingga memicu kemarahan dari banyak orang yang meminta penjelasan soal nasib mereka kedepan.
“Tenang para warga. Pagar laut ini justru membawa keuntungan buat kita. Akan dibuat penginapan besar dan mewah. Kapal-kapal besar dan turis asing akan berdatangan ke kampung kita. Para warga tidak perlu jadi nelayan lagi buat cari makan. Kita bisa jadi pelayan buat turis asing,” terang Pak KaDes mendinginkan suasana.
“Dari nelayan, kita jadi pelayan?” tanya mereka dengan polos.
“Lebih baik jadi pelayan ‘kan namun banyak uang daripada cuma jadi nelayan? Banyak ikan namun tetap miskin!”
“Lalu, isu Nyai Roro Kidul itu bagaimana Pak?”
“Hmm anu ….” Pak KaDes pura-pura sakit perut lalu izin pulang ke rumah untuk buang kotoran.