Cerpen Farid Aziz
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Langit gelap mulai menyelimuti sebagian pesisir barat pulau Jawa.
Nampak cahaya lentera menerangi gubuk-gubuk pinggiran pantai desa widodaren.
Disalah satu gubuk, terlihat seorang lelaki paruh baya sedang mempersiapkan diri untuk menjemput rezeki.
“Nem,,, saya tak berangkat dulu, do'akan biar dapat banyak tangkapan”
“Oh, iya tentu pak, hati-hati ya pak”
“Pak tobil” adalah seorang nelayan kecil didesa widodaren. Ia hidup berdua bersama istrinya, “ngatinem” Sebenarnya pak tobil mempunyai seorang putera yang sudah dewasa, tetapi sejak anaknya pergi merantau, belum sekalipun pulang untuk sekedar menengok bapak dan ibunya.
Alhasil, pak tobil masih harus bekerja keras diusia yang sudah tak lagi muda.
“Akhir-akhir ini hasil tangkapan ikan makin berkurang” Gumam pak tobil didalam hati.
sambil menarik perahu kecil dengan seutas tali menuju bibir pantai, setelah itu berlayarlah pak tobil dengan sejuta harapan menuju tengah lautan.
Dan benar saja, sudah hampir dua jam berlayar, pak tobil baru mendapat beberapa ekor ikan saja. Namun tiba-tiba ujung perahu pak tobil seperti menabrak sesuatu.
“Ah sial, apa lagi ini” Ucap pak tobil dengan nada kesal.
“Haah, ini seperti jeruji bambu, bagaimana bisa ada disini?” Kata pak tobil dengan merasa terheran-heran.
Terlihatlah pagar bambu melintang panjang, dari pantai batas desanya menuju jauh ke perbatasan tetangga desa lainya. Pagar itu terlihat sangat kokoh memagari pantai karang getas kira-kira sejauh 37 km.
Memang, baru kali ini pak tobil mencari ikan menuju kesini, biasanya ia berlayar ke arah yang lainya. Dan rupanya pak tobil tidak sendiri, ada tiga nelayan juga yang terjebak dipagar laut tersebut. Menyadari akan hal itu, segera pak tobil mendekat menuju ke para nelayan yang sama-sama terjebak dalam situasi itu.
Ketiga nelayan itu bernama saprol, kasmidi, dan kartubi. Dan ketiganya juga memang teman senasib seperjuangan dengan pak tobil. Sudah hampir dekat dengan ketiga kawannya, segera pak tobil melambaikan tangan dan menyapa mereka bertiga.
“ini kenapa prol, kok ada pager bambu gini, yang masang siapa, prol?” Tanya pak tobil kepada saprol.
“waduh, saya juga nggak tau pak” Jawab saprol.
“iya, saya juga kaget, tadi malah tak kira jalur naga” Sahut kartubi.
“Mmm, ini memang jalur naga kok, hehe” Ucap kasmidi sambil tertawa kecil.
“Kok bisa yah, saya baru lihat, soalnya baru kali ini saya lewat sini” Kata pak tobil.
“Tapi, kalau dilihat memang pager ini dikerjakan sudah beberapa bulan, soalnya sangat panjang juga pagernya” Ucap pak tobil meneruskan.
“Saya sempat dengar, kalau pager bambu ini adalah sebuah proyek. Dan nantinya akan di aklamasi, di urug pakai tanah” Kata kasmidi menjelaskan.
“Maksudmu Reklamasi?,,, dari mana kau tau?” Tanya pak tobil penasaran.
“Oh iya, maksudnya Reklamasi, hehe” Jawab kasmidi sambil tersenyum malu.
“Jadi, sebulan yang lalu saya lewat kesini, dan melihat beberapa orang sedang membuat pagar ini, dan saya tanyakan ke mereka katanya ini proyek dari cukong tanah, mereka dibayar per harinya itu 150 ribu. Rata-rata yang kerja itu orang sini, orang kampung karang getas. Malahan, saya ditawari buat ikut proyek, tapi saya menolak.” Kata kasmidi menjelaskan.
“Oh begitu ceritanya, memang sialan” Ucap pak tobil dengan nada kesal.
Kemudian setelah mendengar cerita dari kasmidi, pak tobil pun pamit pulang, katanya percuma juga jika harus melanjutkan, sudah terlanjur dongkol, kata pak tobil.
Lalu, sesampainya di bibir pantai widodaren pak tobil mengikatkan tali perahu di ujung patok bambu, lalu tak lupa membawa ikan hasil tangkapan yang hanya beberapa ekor saja, dan bergegas turun dari perahunya kemudian berjalan dengan cepat menuju gubuk kecilnya itu.
“Tok-tok-tok,,, nem, ngatinem. Tolong buka pintunya” suara pak tobil memanggil istrinya.
“iya Pak, sebentar” Sahut istrinya dari dalam gubuk.
“Lho, pak tumben jam segini kok udah pulang, sepi lagi ya lautnya? Lagi pada rapat mungkin ikannya ya pak” Ucap istrinya dengan nada menggoda.
“Ah, jangan banyak bicaralah, tolong buatkan saya kopi, Kepala saya pusing” ucap pak tobil.
“iya Pak iya, gitu aja sewot, hehe” Sahut istrinya dengan nada bercanda.
Dalam hati pak tobil masih bertanya-tanya, sebenarnya ulah siapa yang memasang pagar bambu itu, dan untuk apakah tujuanya. Tiba-tiba pak tobil dikagetkan oleh suara lirih istrinya, sambil membawa kopi panas yang dimintanya tadi.
“ini pak kopinya” Ucap istrinya sambil menyodorkan segelas kopi panas.
“Oh,,, iya nem, taruh saja diatas meja” Ucap pak tobil dengan suara lirih.
“Bapak kok melamun, ada apa? Jangan cuma gara-gara tangkapan ikan sedikit bapak jadi sedih, mungkin rejeki kita cuman segini pak” Kata ngatinem menasehati.
“saya melamun bukan karena hasil tangkapan, nem. Tapi saya melamun karena kesal dan dongkol” Ucap pak tobil sambil meraih kopi yang dibuatkan istrinya.
“Lho, bapak jengkel kenapa? Sama siapa?, apa bapak marah sama saya yang menggoda bapak soal tangkapan ikan tadi?” Ucap ngatinem penasaran.
“Tidak, nem. Saya jengkel tadi pas nyari ikan, soalnya belum lama berangkat tiba-tiba perahu menabrak pagar bambu ditengah lautan” Kata pak tobil menjelaskan.
“Haah, apa? Ada pagar bambu ditengah lautan pak? Memang Siapa yang memasang pagar bambu itu pak?” Tanya ngatinem dengan nada terkejut.
“Ya saya nggak tau, nem. Kalau kata kasmidi sih pagar bambu itu persiapan buat Reklamasi pantai nantinya.” Jawab pak tobil.
“apa pak? Relkamasri.? Tanya ngatinem.
“Re-kla-ma-si nem. Jadi, Reklamasi itu adalah upaya untuk memperluas daratan dengan cara meng-urug pantai, agar nantinya bisa dibikin tempat tinggal atau semacam lahan bisnis dan lain-lainya nem” Kata pak tobil.
“Oh, gitu pak? Memang siapa yang mau tinggal disitu? Kok ada-ada saja, daratan saja masih luas, kok malah laut mau dibikin daratan” Kata ngatinem bernada kesal.
“Ah, nggak tau lah nem, sudahlah, lebih baik kamu tidur dulu sana, biar saya tak duduk dulu sambil ngabisin kopi” Ucap pak tobil sambil menyangga dagunya.
“Baiklah pak, saya tak tidur dulu, nanti bapak nyusul ya” Ucap ngatinem sambil beranjak.
Pak tobil masih diam dan tidak menghiraukan ucapan istrinya itu, ia masih saja duduk dan sesekali memejamkan mata sambil terus berfikir tentang pagar laut itu.
Hingga waktu menunjukan pukul 03:17 pak tobil segera bangkit dari kursinya, dan segera beranjak menyusul istrinya menuju kekamar tidur untuk melepaskan lelah dan kantuknya.
Selang beberapa jam kemudian terdengar suara kokok ayam jantan yang seakan berusaha membangunkan manusia dari peristirahatan, Sementara itu, pak tobil masih melanjutkan mimpinya, berselimutkan sarung lusuh yang sudah bertahun-tahun menemani hidupnya.
“Pak, bangun pak, ini kopinya sudah jadi!” Teriak ngatinem dari arah dapur.
Pak tobil yang masih tertidur pulas terlihat terperanjat, dan membuka lebar matanya.
“iya nem, biasa, taruh saja diatas meja” Kata pak tobil sambil bangkit menuju kamar mandi.
Tak lama, pak tobil keluar dari kamar mandi, segera menuju ke arah meja yang sudah terhidang kopi dan pisang goreng, camilan favorit pak tobil sebagai teman ngopi. Tapi baru beberapa tegukan kopi masuk tenggorokanya, tiba-tiba ada seseorang datang. Ternyata orang itu adalah kasmidi, teman nelayan yang tadi malam bertemu denganya di pinggiran lautan.
“Assalamualaikum, pak tobil, wiih asyik nih lagi ngopi rupanya” Ucap kasmidi basa-basi.
“Waalaikumsalam, eh kasmidi, iya nih, sini masuk kita ngopi” timpa pak tobil.
“Tumben sekali, pagi-pagi sudah kesini, ada kepentingan apa kas?” Tanya pak tobil.
“iya pak, saya cuma ngasih tau, di balai desa banyak orang, katanya lagi pada demo ke pak lurah, meminta pagar bambu yang kita lihat semalam agar segera dibongkar” Kata kasmidi.
“Lho, serius kamu kas?” Tanya pak tobil dengan wajah terkejut.
“serius pak, dan kalau bisa kita juga segera menuju kesana, kita minta penjelasan dan maksud pemasangan pagar bambu itu. Sepertinya pak lurah mengetahui semuanya” Ucap kasmidi.
“Baiklah, kita kesana, tapi tunggu dulu sebentar, saya mau ganti baju” Kata pak tobil sembari bangkit menuju kamarnya.
“Nem! Saya pergi dulu ke kelurahan sama kasmidi” Teriak pak tobil sambil terburu-buru.
Sekitar 10 menit perjalanan, akhirnya mereka berdua sampai didepan kantor kelurahan, dan benar saja,sudah banyak berkumpul warga nelayan widodaren yang sedang menyuarakan keluhannya terkait dengan segala kesulitan berlayar yang disebabkan oleh pagar bambu itu.
“Pokoknya, kami para nelayan tidak setuju dengan adanya pagar bambu, bongkar pagar itu secepatnya!” Teriak solikin, salah satu warga widodaren.
“Ya betul! Bongkar pagar bambu” Sahut para warga widodaren.
“mohon tenang semuanya, nanti usulan saudara akan saya sampaikan ke pihak terkait. Soalnya pagar bambu itu sudah ber-izin, jadi tidak bisa sembarangan” Kata kades widodaren.
“Hah, bagaimana? Bukankah pantai ini masih masuk wilayah widodaren pak? Terus siapa yang mengizinkan pembangunan pagar?” Tanya saprol yang dari pagi sudah ada dikelurahan.
“kalau demikian, apakah bapak yang memberikan izin!?” Tanya kasmidi lantang.
“Waduh, saya juga tidak tahu, yang jelas saya ada surat izinya, bahkan banyak nama petinggi lembaga negara yang sudah mengizinkanya” Kata pak kades menjelaskan.
“Wah, jika benar begitu, berarti memang sudah main lintas pejabat” Celetuk pak tobil.
“Ya, kemungkinan ini melibatkan dari kalangan atas sampai ke akar rumput” Timpa kasmidi.
“Tolong jaga mulut Anda berdua!” Sanggah kades widodaren.
“Loh ini memang sudah jelas pak, hanya saja tidak ada yang berani menjelaskanya” Ucap pak tobil kesal.
“Apakah kalian ada bukti? Jangan sembarangan bicara, bisa kena urusan hukum kalau nuduh tanpa bukti” Kata pak kades.
“Ah, kalaupun ada bukti juga percuma, jelas yang menang yang punya uang” Celetuk saprol.
“Sudahlah, cukup sampai sini saja. Sekarang juga saya akan pergi ke kantor camat buat melaporkan aduan warga. Jadi mohon jangan buat kegaduhan, tinggal tunggu saja keputusanya” Ucap pak lurah sambil bangkit dari kursinya.
Kemudian kades widodaren itupun segera pergi meninggalkan kumpulan warga, ia berlalu dan berpacu dengan mobil mewah yang harganya setengah M lebih itu. Warga hanya bisa menyaksikan dari dalam pendopo, pak tobil, saprol, kasmidi dan warga lainya pun segera pergi meninggalkan kantor kelurahan widodaren.
Kemudian para nelayan pun kembali beraktifitas seperti biasanya.
Hari demi hari, bahkan berbulan-bulan tak ada lagi kabar pelaku pemasang pagar bambu.
Kasus ini pun hilang tenggelam di tengah lautan, mungkin saja suatu saat akan muncul kembali ke permukaan, dan muncul kembali ketika sudah menjadi DARATAN.